Prof Didik: Pemerintahan Jokowi Raja Hutang

author surabayapagi.com

- Pewarta

Rabu, 05 Jan 2022 21:10 WIB

Prof Didik: Pemerintahan Jokowi Raja Hutang

i

Prof Didik Rachbini

Kritisi Komposisi Utang Negara yang Sudah Rp 6.687,28 Triliun

 

Baca Juga: Jokowi Ajak PM Lee Kelola Kawasan Industri Halal Sidoarjo

Kementerian Keuangan RI mencatat posisi utang pemerintah per akhir Oktober 2021 sudah mencapai Rp 6.687,28 triliun. Utang ini setara dengan 39,69% Produk Domestik Bruto (PDB).

Jika dibandingkan dengan posisi September 2020, utang ini meningkat tajam yakni Rp 809,57 triliun. Pada tahun lalu di periode yang sama utang berada di level Rp 5.877,71 triliun dengan rasio 37,84% terhadap PDB.

Meski demikian, dalam laporannya Kementerian Keuangan memastikan komposisi utang masih aman dan tetap terjaga.

"Pembiayaan dikelola secara prudent dengan memperhitungkan kemampuan bayar pemerintah untuk mendukung kejadian extraordinary akibat Covid-19," tulis Kemenkeu dalam Laporannya yang dikutip, Selasa (30/11/2021). Mulai hari ini harian kita Surabaya Pagi menurunkan kritik terhadap komposisi utang negara dari beberapa pengamat ekonomi sebagai penyeimbang keterangan pemerintah.  Tulisan pertama menyajikan pendapat Prof. Didik J Rachbini, M.Sc., Ph.D., politisi PAN yang sejak Mei 2021 menjadi Rektor Universitas Paramadina, Jakarta.

Pembaca bisa menyampaikan pendapat dengan akal sehat di akun media sosial Surabayapagi. Berikut kritik dari akademisi, pengamat ekomomi dan praktisi:

Ekonom INDEF, Prof Didik Rachbini mengatakan pemerintahan era Presiden Joko Widodo (Jokowi) dijuluki sebagai raja utang. Sebab, utang dari tahun 2019 hingga kini terus bertumpuk.

"Pemerintah ugal-ugalan. Sejak 2019 zaman Jokowi utang itu terus bertumpuk-tumpuk tidak pernah dikendalikan," kata Didik Rachbini dalam diskusi daring Pergerakan Indonesia Maju (PIM) bertajuk 'Outlook 2021: National Economic Outlook' pada Kamis, (14/1/2021) seperti video yang beredar.

Video ini ada cover Menkeu Sri Mulyani dengan tambahan kalimat…. Lalu ada fofo Prof Didik disertai baner : “Pemerintahan Jokowi, raja Hutang.”

Menurut Didik, utang yang terus membengkak itu bahkan ada yang disembunyikan dan nyaris tidak dipermasalahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).  

"Ini disembunyikan Rp 921,5 triliun, tidak dibahas di DPR, tetapi yang dibahas Rp 446,3 triliun SBN (Surat Berharga Negara). Sedangkan Rp 475,2 triliun untuk membayar jatuh tempo," ungkapnya.

"Negara ini makin otoriter, pada tahun 2020 tanpa persetujuan DPR tidak apa-apa, utang diteruskan hingga Rp 1530,80 triliun. Mengubah utang tidak ada woro-woro di DPR, senyap," imbuhnya.  

Atas dasar itu, Didik menyatakan bahwa rezim Jokowi pantas disebut sebagai pemerintahan yang menjadi raja utang.

"Jadi, Jokowi ini raja utang, pemerintahan Jokowi dengan data ini adalah raja utang," tegasnya.

Mirisnya, kondisi tersebut tidak bisa diubah oleh pemerintah. Pemerintah melalui Kementerian Keuangan seakan kehabisan akal untuk membereskan beban negara yang yang kunjung selesai tersebut.

Menteri Keuangan Sri Mulyani ngerti, ini bukan tidak ngerti. Tapi dia tidak bisa apa-apa dengan tekanan politik. Jadi kalau dikritik dia marah-marah, salah dia," tegas Didik.

 

Negara Defisit

Didik mengimbuhkan,  selama masa pemerintahan Joko Widodo defisit keseimbangan primer makin berat.  “Defisit keseimbangan primer itu seperti rumah tangga yaitu penerimaan dan pengeluaran,’’ ujarnya.

Ia mengatakan bahwa defisit merupakan basic dalam ekonomi, dalam suatu negara ada yang namanya penerimaan dan pengeluaran.

‘’Nah, kalau kita tidak menerima dan membayar hutang itu defisit. Artinya untuk membayar keperluan kita saja tidak cukup. Jadi harus berhutang untuk mencukupi defisit kita,’’ jelasnya.

Ia menjelaskan, akibatnya negara sekarang punya hutang, dan akan berhutang lagi untuk membayar bunganya yang tiap taun semakin banyak.

‘’Setelah itu munculah jadi jatuh tempo. Jadi, APBN merupakan warisan untuk presiden yang akan datang,’’ ungkapnya.

Dia menilai, Jokowi akan mewarisi utang yang sangat besar bagi penerusnya. Untuk itu, pemerintah harus bersiap – siap untuk menanggung defisit dan utang yang semakin besar pada tahun 2024.

Baca Juga: Apple Investasi Rp 1,6 Triliun, Microsoft Rp 14 Triliun

Didik menyindir bahwa utang ini merupakan prestasi sejak yang memang dari dulu selalu diturunkan oleh presiden sebelumnya ke presiden yang kan datang. Namun ia mengungkapkan bahwa pada jaman Jokowi semakin menurun.  ‘’Tax rasio terhadap PDB semakin turun,’’katanya.

Didik mengungkapkan tax rasio angka Indonesia mencapai 10 persen ,Thailand dan Vietnam sebesar 2 kali lipat yaitu 18 persen, Skandinavia 30 persen. ‘’Jadi kita punya masalah di pendapatan, punya money pengeluaran dan pengeluaran yang boros,’’ jelasnya.

 

Rp 300 Triliun per Tahun

Ia pun menyampaikan pembayaran utang Indonesia mendekati angka Rp 300 triliun setiap tahunnya.’’Itu belum termasuk bunga,dan itu semakin banyak,’’ungkapnya.

Selain itu, tokoh dari PAN ini mengajak masyarakat melihat bagaimana perilaku pemerintah dan DPR pada masa Jokowi yang ugal - ugalan.

Berdasarkan data yang Didik miliki sejak 2019 jaman pemerintahan Jokowi utang terus bertumpuk dan tidak pernah dikendalikan dan ada utang yang tidak dimasukkkan ke dalam APBN.

‘’Untuk utang yang disembunyikan itu tidak dibahas di DPR, penerbitan utang yang disembunyikan digunakan untuk membayar yang jatuh tempo,’’jelasnya.

Untuk utang sisanya, kata Didik, digunakan untuk desifit dan pembangunan. Tapi rencana sebelum covid-19 tahun 2020 utang diharapkan turun jadi Rp 651 triliun . ‘’Tapi apa yang terjadi negara makin otoriter,’’sindirnya.

Di tahun 2020, tanpa persetujuan DPR utang diputuskan sendiri menjadi Rp1.530 triliun. Ia pun mengungkapkan di DPR tetap saja terlihat senyap meski utang tumbuh Rp 1.000 triliun.  ‘’Jadi pemerintahan Jokowi dengan data ini adalah raja hutang,” pungkasnya.

 

Kasihan Generasi Selanjutnya

Baca Juga: Kemenkeu Bakal Perbaiki Proses Impor Barang

Pelabelan "Raja Hutang" yang diberikan oleh Didik pun mendapat respon dari pakar ekonomi dan bisnis Universitas Brawijaya Malang, Iswan Noor.

Dengan logika sederhana, ia pun menghitung bila utang Indonesia yang saat ini telah mencapai Rp 6.711triliun dibagikan kepada 270 juta penduduk di Indonesia, maka beban utang yang ditanggung tiap orang terbilang sangat besar.

"Ya secara otomatis setiap orang di Indonesia harus menanggung 24 juta. Ini angka yang tidak sedikit. Bahkan setiap bayi yang baru lahir, sudah dibebankan utang. Jadi ngeri-ngeri sedaplah," kata Iswan Noor kepada Surabaya Pagi, Rabu (05/01/2022). 

Di masa pandemi seperti saat ini kata Iswan, memang dalam mendorong kembali pertumbuhan ekonomi negara harus menginvestasikan dana secara besar-besaran. 

Mulai dari anggaran untuk kesehatan, jaminan sosial, subsidi, hingga anggaran pemulihan ekonomi khususnya bagi UMKM. 

Untuk membiayai sejumlah sektor tersebut, anggaran akan diambil dari APBN. Celakanya, di tahun 2020 APBN mengalami defisit anggaran. Hal inilah yang membuat negara mengambil langkah lain untuk menutupi kekurangan anggaran tersebut.

"Salah satunya ya dengan utang," katanya singkat.

Kendati begitu, negara kata Iswan juga tidak boleh ugal-ugalan saat berutang. Batasan pinjaman negara sebetulnya diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) 72/2020. Batasan utang yang diatur tersebut adalah sebesar Rp1.220,5 triliun.

Anehnya, Tahun 2020 realisasi utang Indonesia justru melampaui batas maksimal yang telah diatur atau sebesar Rp1.226,8 triliun. Jumlah ini terdiri dari penerbitan SBN neto sebesar Rp1.177,2 triliun dan Rp49,7 triliun.

"Naiknya itu cukup besar sampai 180%. Jadi kalau Prof. Didik sebut raja utang ya sah-sah saja. Evidennya ada. Presiden sudah tetapkan batasannya, tapi beliau sendiri yang ugal-ugalan melanggar," katanya.

Oleh karenanya Iswan meminta agar ke depan pemerintah dapat memperhatikan rambu-rambu atau batasan utang yang telah ditetapkan. Di samping itu, pemerintah juga wajib mendorong kebijkan fiskal sehingga tidak terjadi kesenjangan antara belanja dan pendapatan negara.

"Saya kira harus perkuat kebijakan fiskal kita. Soal pembiayaan juga harus dilakukan secara hati-hati, lebih fleksibel, terukur dan transparan, dengan mengoptimalkan sumber pembiayaan yang efisien. Jangan sedikit-sedikit utang. Kasihan generasi selanjutnya yang tanggung," pungkasnya. sem/cha/ana

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU