Yuk, tak Mudik! Kita bukan Kaum Urban

author surabayapagi.com

- Pewarta

Jumat, 14 Apr 2023 19:46 WIB

Yuk, tak Mudik! Kita bukan Kaum Urban

i

H. Raditya M Khadaffi

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Judul ini ada narasi provokasi ke publik. Dugaan ini ada benarnya. Judul ini hanya mengajak kita untuk tidak melestarikan mudik berdalih tradisi. Terutama anak anak muda yang sudah menetap lama di kota.

Saya berpikir logis, meski nenek dan ibu saya berasal dari sebuah desa di Magelang dan Ngawi, saya tak mau dianggap anak urban. Saya adalah produk orang kota. Mulai TK sampai kuliah dan jadi wartawan, berKTP Surabaya. Saya tak pernah berpindah rumah dari Surabaya ke kota Kabupaten. Nenek dan ibu juga sama, sudah menetap di Surabaya. Beliau sudah tak punya hubungan emosional dengan desa tempat kelahirannya. Maklum, orang tuanya sudah meninggal dunia.

Baca Juga: Aib Eks Mentan SYL, Dibeber di Ruang Sidang

Pikiran saya ini terbangun saat pemerintah menyeru masyarakat agar mudik lebih awal. Hal ini demi menghindari kemacetan panjang.

Imbauan itu diutarakan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi. Budi menyebutkan lalu lintas masih lancar jika mudik tidak mendekati hari "H" idulfitri.

Budi juga menyampaikan keuntungan apabila masyarakat mudik tidak mepet saat lebaran. Menhub iming imingi diskon tarif tol dan sejumlah moda transportasi.

Padahal 4-5 tahun belakangan ini, banyak perubahan terjadi pada kebiasaan masyarakat. Perubahan mulai dari kerja dari rumah atau Work From Home (WFH), rapat virtual, hingga seminar online (webinar).

Terakhir ada pesan dari perubahan-perubahan tersebut yaitu mencegah penyebaran Covid-19 yang terus meningkat setiap harinya. Publik diingatkan pandemi yang terjadi sejak awal 2020 terus mengubah banyak hal di sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia, tak terkecuali pada kebiasaan mudik.

Tahun 2022 lalu, saya amati ada keseruan mudik dan drama kemacetan di jalan. Menjelang Idul Fitri 2021, pemerintah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 13 Tahun 2021 tentang Peniadaan Mudik Hari Raya Idul Fitri 1442 H yang mulai berlaku pada tanggal 06 s.d. 17 Mei 2021. Kebijakan tersebut adalah upaya untuk mencegah dan menghentikan penyebaran Covid-19.

Konon banyak masyarakat yang merasa berat untuk tidak mudik ke kampung halaman.

 

***

 

Bagaimana dengan anak milenial hasil perkawinan orang orang tua yang asalnya kaum urban, seperti saya?

Salah satu faktor utama yang mempengaruhi perubahan tersebut tak lain adanya perkembangan teknologi yang semakin canggih. Bahasa birokrasinya revolusi industri 4.0.

Saya menyerap dari kawan-kawan seusia, persoalan urban juga memunculkan perubahan motif yang berbeda.

Urban di kalangan anak muda yang saya kenal tidak sebagiamana tahun-tahun sebelumnya. Urban alasan kemiskinan.

Urban anak muda karena adanya dorongan untuk mengekpresikan pentingnya perubahan. Terutama untuk membuka peluang dan wacana baru dalam kontestasi ekonomi perkotaan. Dalam realitanya, juga terjadi banyak anak muda lebih melirik negara lain yang menurut imajinasi mereka dianggap lebih baik dan sejahtera.

Padahal ada referensi yang menyebutkan banyak faktor yang menjadi alasan seseorang memilih untuk menjadi kaum urban.

Alasan urban orang tua dulu bisa karena suatu tren, hijrah, atau disebakan keputusasaan. Hal ini telah mengubah sistem budaya masyarakat pedesaan pada umumnya.

Umumnya keinginan untuk mengubah nasib. Terutama masyarakat yang hidup dalam lingkaran kemiskinan dan daerah yang minim fasilitas.

Persoalan kemiskinan ini berhubungan dengan tingginya tingkat pertumbuhan penduduk dan sempitnya ketersediaan lapangan pekerjaan.

Baca Juga: MiChat, Sudah Jadi Media Eksploitasi Seksual

Nah, sebagai anak dari orang tua dan nenek urban, saya bertahun tahun tidak mudik .

Bagi saya, tidak mudik saat idul Fitri adalah pilihan terbaik. Ini demi kebaikan bersama.

Secara rasional, tidak mudik bukan berarti saya kehilangan momentum merayakan hari raya Idul Fitri dengan saling memaafkan dengan keluarga, sahabat, dan juga teman.

Tali silaturahmi "tahunan" masih bisa terus tersambung dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi. Terutama melakukan video call. Komunikasi dengan video call, memang terasa berbeda. Ada rasa tidak dapat menggantikan pertemuan secara langsung. Jujur, video call setidaknya bisa mengobati rasa rindu saya.

Saya pernah membaca penjelasan Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) Bondan Kanumuyoso, fenomena pulang kampung memang sudah berlaku sejak terjadi perpindahan manusia dari daerah pedalaman menuju urban.

Secara etimologis, Bondan membenarkan teori kata 'udik' yang berasal dari bahasa Melayu kuno yang berarti selatan/hulu.

Ia merujuk ketika Jakarta masih bernama Batavia. Di masa itu, wilayah di luar tembok kota bagian selatan menyuplai hasil bumi untuk kota Batavia.

"Banyak orang yang ketika itu bermigrasi masuk ke Jakarta melakukan urbanisasi. Nah di kota besar kan budayanya sangat berbeda jauh dengan kehidupan di desa sehingga ada rasa kerinduan," jelas Bondan ketika dihubungi CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.

Tapi menurut Bondan, fenomena tersebut belum cukup kuat untuk menggambarkan definisi mudik seutuhnya.

Bagi Bondan, mudik di era kolonial tidak mesti dikaitkan dengan perayaan Idul Fitri karena berbenturan dengan nilai kolonial yang diterapkan kala itu.

Baca Juga: Wanita di Koper itu Hasil Perselingkuhan dan Bisnis Seks

"Sebelum itu ya mana ada mudik, mana mungkin dulu pemerintah kolonial mengakomodir transportasi sebegitu masif?" sambungnya.

Bondan mencatat mudik di era modern baru populer tahun 1970-an.

Kini makin dahsyat. Orang mudik tidak hanya dari Jakarta ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tapi Pemerintah Provinsi Jatim juga mengatur mudik.

Saya berpikir benarkah mudik seperti yang pernah digambarkan Umar Kayam (2002).

Menurut Umar Kayam, mudik hadir sebagai warisan para leluhur dan terkait dengan kebiasaan petani Jawa berziarah ke makam para pendahulunya.

Tradisi mudik, menurut Umar Kayam, merupakan kebiasaan masyarakat Nusantara yang sudah ada sejak kerajaan Hindu-Buddha. Namun perlahan luntur karena masuknya pengaruh Islam. Dan hadirnya Islam ke tanah Nusantara disebut Kayam memupuskan beberapa tradisi yang dianggap syirik, termasuk ziarah kubur.

Jadi ajakan tak mudik, bukan semata kita bukan kaum Urban.

Saya tidak mau berpikiran kebanyakan pemudik, kota tempat tinggal saya hanyalah tempat tinggal sementara. Saya tak merasa rumah saya masih berada di desa asal orang tua dan nenek.

Termasuk saya mesti melupakan tradisi yang dianggap syirik yaitu ziarah kubur.

Selain saya tak mau merepotkan pemerintah kelola tol, rest area, kemacetan lalu lintas. Masya Allah. ([email protected])

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU