Home / Politik : Analisis Politik

Anak Buah SBY, Menggeliat Seperti Goyang Jokowi

author surabayapagi.com

- Pewarta

Senin, 29 Mei 2023 21:00 WIB

Anak Buah SBY, Menggeliat Seperti Goyang Jokowi

i

H Raditya M Khadaffi

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Siapa yang menggeliat? Denny Indrayana! Ia mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) era pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu II yang dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Penulis buku "Negara Antara Ada dan Tiada dan Negeri Para Mafioso" terbitan Kompas tahun 2008 ini mengaku mendapat bocoran putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait gugatan pemilu legislatif kembali ke sistem proporsional tertutup.

Geliat Denny Indrayana kali ini reka-reka politik, spekulasi politik atau fitnahan tingkat elite? Menko Polhukam Mahfud Md minta Polisi periksa Denny Indrayana. Masuk akal permintaan Mahfud. Ini karena Denny, bukan sekedar advokat. Ia juga pernah jadi staf hukum SBY. Juga seorang Guru besar Ilmu Hukum UGM. Apa geliatnya ini ingin mengoyang Jokowi? Walahualam. Geliatnya seperti orang santun menyapa publik bernada informatif. Tak ada kata dalam ciutan yang menyebut bocoran ini menyangkut rahasia negara. Apakah Denny kali ini berperan sebagai pengacara yang ditugaskan oleh kelompok invisible hand untuk menjadi pembela kepentingan elite pemuja sistem pemilih terbuka? Kita tunggu hasil penyelidikan dan penyidikan Polri.

Baca Juga: Jokowi Ikut Siapkan Program Makan Siang Gratis

Dalam cuitan Denny Indrayana, Minggu (28/5/2023) pagi itu, Denny mencuit kalau pemilu legislatif akan kembali ke sistem proporsional tertutup.

"Pagi ini (hari Minggu 28 Mei 2023, red) saya mendapatkan informasi penting. MK akan memutuskan pemilu legislatif kembali ke sistem proporsional tertutup, kembali memilih tanda gambar partai saja," kata Denny lewat cuitan di akun Twitternya @dennyindranaya, Minggu, (28/5/2023).

Dalam cuitannya Denny juga sempat menyinggung soal sumbernya di Mahkamah Konstitusi. Meski tidak menjawab dengan gamblang Denny memastikan sumbernya bukan hakim konstitusi. "Siapa sumbernya? Orang yang sangat saya percaya kredibilitasnya, yang pasti bukan Hakim Konstitusi," ujarnya.

"Maka, kita kembali ke sistem pemilu Orba: otoritarian dan koruptif," kata Denny lewat cuitannya.

Denny mengaku mendapat informasi penting terkait gugatan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sistem Proporsional Terbuka di MK. Ia menyebut MK akan mengabulkan sistem Pemilu kembali menjadi proporsional tertutup alias coblos partai.

Bocoran ini membuat gaduh sampai direspon Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD.

 

***

 

Berdasarkan data, Denny Indrayana, seorang aktivis dan akademisi Indonesia. Saat ini tercatat sebagai Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada. Gelar akademik yang disandangnya, Prof. H. Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D.

Sejak September 2008, Denny menjadi Staf Khusus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam bidang Hukum, HAM dan Pemberantasan Korupsi Kolusi dan Nepotisme.

Menariknya, publikasi bocoran putusan MK ini tidak hanya dicuitan di akun Twitternya @dennyindranaya, tapi juga disusuli keterangan tertulis pada hari Minggu itu juga (28/5/2023).

Sebagai guru besar bidang hukum, Denny pasti sudah mempertimbangkan implikasi bocoran putusan MK, yang belum dibacakan di depan publik. Bahkan menurut jubir MK, kesimpulan dari beberapa pihak baru dibahas, Rabu (31/5/2023) besok.

Saya sebut implikasi penyampaian bocoran putusan MK, sedikitnya menyentuh dampak politiknya. Selain berdampak pada integri tas Mahkamah Konstitusi dan hakim -hakim konstitusi.

 

***

 

Gugatan permohonan uji materi (judicial review) ini terkait Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu terkait sistem proporsional terbuka yang didaftarkan dengan nomor registrasi perkara 114/PUU-XX/2022 pada 14 November 2022.

Pemohonnya enam orang, yang selama ini tidak dikenal tokoh politik. Mereka terdiri Demas Brian Wicaksono (Pemohon I), Yuwono Pintadi (Pemohon II), Fahrurrozi (Pemohon III), Ibnu Rachman Jaya (Pemohon IV), Riyanto (Pemohon V), dan Nono Marijono (Pemohon VI).

Baca Juga: Politisi Jalin Politik Silaturahmi

Atas gugatan ini, delapan dari sembilan fraksi partai politik di DPR RI menyatakan menolak sistem pemilu proporsional tertutup. Mereka Fraksi Golkar, Gerindra, Demokrat, NasDem, PAN, PKB, PPP dan PKS.

Dan hanya satu fraksi yang menginginkan sistem pemilu proporsional tertutup yakni PDI Perjuangan.

Catatan jurnalistik saya sejak akhir November 2022, mayoritas elite parpol masih menginginkan sistem pemilu proporsional terbuka dipertahankan. Argumentasi yang saya catat termasuk urusan politik uang.

Terungkap dalam rapat rapat di Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Periode 2017-2022, persoalan yang sering terjadi dalam suatu pemilu adalah tingginya politik uang. Dalam Pemilu 2019, terdapat sebanyak 69 putusan pengadilan terkait pelanggaran pidana politik uang.

Gagasan pemilu dengan sistem propostional tertutup, menjadi salah satu cara efektif untuk menghilangkan politik uang dalam proses pemilu.

Bila ternyata putusan MK benar mengabulkan sistem propostional tertutup, yang kecewa delapan fraksi di DPR-RI. Delapan fraksi ini campuran partai pendukung Jokowi dan Koalisi Perubahan. Sementara yang bersorak hanya PDIP.

Ini disebabkan sistem pemilu proporsional terbuka dengan penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak, tidak sesuai kehendak konstitusi. Sehingga patut dinyatakan inkonstitusional.

Sedang sistem pemilu proporsional terbuka ada yang menganggap melemahkan pelembagaan organisasi partai politik (parpol) di negara demokrasi. Bentuk pelemahan pelembagaan parpol dari bangunan sistem proporsional terbuka, antara lain calon anggota legislatif (caleg) yang terpilih dalam pemilu tidak berperilaku dan bersikap terpola untuk menghormati lembaga parpol, karena merasa yang menentukan terpilihnya bukan melalui organisasi parpol melainkan berbasis suara terbanyak.

Dan ternyata dalam praktik penyelenggaraan Pemilu legislatif tahun 2009, 2014 dan 2019 di Indonesia, ada pakar yang menilai sistem terbuka tidak sesuai kehendak konstitusi sebagaimana ketentuan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945. Mengingat, peserta pemilu bukan parpol melainkan individu atau caleg. Praktis organisasi Parpol kehilangan perannya secara signifikan dalam sistem pemilu proporsional terbuka.

Masih menurut seorang pakar politik, sistem pemilu proporsional terbuka telah mendorong parpol untuk berlomba-lomba merekrut caleg yang memiliki modal dana yang besar dan popular agar dipilih oleh pemilih bukan merekrut caleg berdasarkan pada ikatan ideologi dan struktur partai politik. Apalagi memiliki pengalaman dalam mengelola organisasi partai politik atau organisasi berbasis sosial politik.

Baca Juga: Jokowi vs Mega, Prabowo vs Mega = Kekuasaan

Sementara pemilu dengan sistem proporsional tertutup akan membuat para pemilih hanya melihat logo partai politik (parpol) pada surat suara, bukan nama kader partai yang mengikuti pemilihan legislatif (pileg).

Tercatat sejak Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2003 disahkan, sistem proporsional tertutup diubah menjadi sistem proporsional terbuka. Sistem ini dipakai hingga sekarang. Namun mendekati Pemilu 2024, wacana menggunakan sistem proporsional tertutup kembali menyeruak.

Penulis Muhammad Nizar Kherid dalam bukunya yang berjudul "Evaluasi Sistem Pemilu di Indonesia 1955-2021" juga menuliskan, implementasi sistem proporsional tertutup pada era Orde Baru melahirkan kekuatan oligarki kepartaian. Ini membuat nilai-nilai demokrasi kian terkikis.

Makanya, ketua DPP Partai Nasdem, Willy Aditya tegas menolak diberlakukannya kembali sistem proporsional tertutup untuk Pemilu 2024. Menurutnya, sistem proporsional terbuka telah menjadi bentuk kemajuan dalam praktik berdemokrasi.

Sebagai jurnalis muda independen, jujur saya anggap dua pilihan sistem pemilu lebih banyak bersentuhan dengan caleg dan parpol. Maka, akal sehat saya mengajak warga yang punya hak pilih dalam pemilu 2024, terutama pemilih muda seusia saya, tak ada manfaatnya terbawa dua arus gelombang ini. Why? Keduanya sama-sama politik pragmatis. Emangnya gue pikirin.

Kabar bocoran putusan MK lebih menyentuh rasa keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.

Ditemukan oleh ICW berpotensi korupsi saat hakim konstitusi memeriksa dan mengadili penyelesaian sengketa pemilihan umum (pemilihan presiden, parlemen, dan kepala daerah) dan uji materi terhadap UU. Potensi ini terkait aturan bahwa putusan MK yang bersifat final dan mengikat mendorong tidak sedikit pihak berupaya menyuap hakim agar perkaranya menang di MK.

Modus yang sering digunakan adalah pengaturan putusan sesuai permintaan dan membocorkan naskah putusan yang belum resmi dibacakan. Nilai transaksi suap yang diterima jumlahnya beragam. Dalam kasus Akil Mochtar, nilai suap terkecil Rp 500 juta dan paling tinggi Rp 19 miliar.

Isyarat korupsi di MK dapat muncul karena inisiatif dari pihak yang beperkara atau karena adanya permintaan ataupun pemerasan dari hakim konstitusi kepada pihak yang beperkara atau terkait perkara.

Nah, geliatnya Denny Indrayana, saya teringat peristiwa 10 tahun lalu. Pada 2013, Susilo Bambang Yudhoyono, saat berkuasa menunjuk Patrialis Akbar sebagai hakim konstitusi dari jalur Presiden. Padahal keputusan penunjukan ini dipersoalkan dan digugat oleh Koalisi Masyarakat Sipil. Persoalannya sampai ke pengadilan tata usaha negara. Koalisi menilai proses pemilihan Patrialis oleh SBY tidak dilakukan secara terbuka dan partisipatif. Meski digugat dan dipertanyakan integritasnya, Presiden SBY tetap saja melantik Patrialis. Nah, dengan katakan ada info kebocoran ini, apakah Anwar Usman, Ketua MK yang adik ipar Jokowi, akan jalan terus seperti SBY tahun 2013. Mari kita kawal. ([email protected])

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU