Haji Mabrur atau Sekedar Mabur

author surabayapagi.com

- Pewarta

Senin, 03 Jul 2023 20:55 WIB

Haji Mabrur atau Sekedar Mabur

i

H. Raditya M Khadaffi

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Rabu (4/7/2023) besok, rombongan jemaah kloter awal gelombang pertama dari enam embarkasi utama Tanah Air akan diterbangkan kembali pulang ke tanah air, Indonesia. Ini karena puncak Ibadah Haji 2023 Berakhir.

Saat ini, jemaah haji Indonesia berangsur-angsur telah meninggalkan Mina menuju Makkah untuk selanjutnya akan diterbangkan kembali ke Tanah Air. Semua Jemaah, dari reguler, plus dan Furoda  Semuanya menjalani  tempaan fisik prosesi utama haji.

Baca Juga: Pilgub 2024, Khofifah Tanpa "Lawan Tanding" Sebanding

Pada saat 5 hari puncak haji di Mina-Arafah-Muzdalifah, fisik Anda sangat terkuras. Ini adalah rangkaian mabit, wukuf, lempar jumroh 4x (kami mengambil nafar tsani), dan tawaf-sai.

Jujur, seumur hidup saya sampai sekarang, mungkin baru saat lempar jumroh merasakan aktivitas jalan kaki yang paling puaanjaaaaang dan melelahkan.

Berjalan kaki disengat panas dan himpitan jemaah haji bertubuh besar, sampai rasanya kaki sudah tak berasa lagi. Perasaan saya, rasanya kaki saya berjalan secara otomatis. Rasanya tidak lagi digerakkan oleh sistem somatik tubuh, tapi sudah refleks saja berjalan teruuuss.. sampai di tujuan, gedung lempar jumrah. Hari itu, terasa badan remuk, tapi besoknya masih harus berjalan lagi dan beraktivitas seperti biasa.

Karena itu, saat di sana, pikiran saya mengirimkan sinyal-sinyal positif ke badan. Tempaan ini akan selesai, Insya Allah.. apalagi ini dalam rangka beribadah.

 

***

 

Pikiran saya sampai berpikir, baik jemaah haji reguler, plus dan furoda, sama-sama berkeinginan menyandang haji mabrur. Maklum, haji mabrur merupakan predikat yang diidamkan setiap jemaah yang melaksanakan rukun Islam kelima.

Ini karena setiap manasik, selalu dikumandangkan doa Haji mabrur. Harapannya, bisa jadi haji yang maqbul atau diterima dan diberi balasan berupa al-birr yang berarti kebaikan atau pahala.

Rasulullah SAW bersabda: “Dari sahabat Abu Hurairah RA, dari Nabi Muhammad Saw, ia bersabda: “Siapa saja yang berhaji, lalu tidak berkata keji dan tidak berbuat dosa, niscaya ia pulang (suci) seperti hari dilahirkan oleh ibunya,’” (HR Bukhari, Muslim, An-Nasai, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah).

Dalam hadis yang lain Rasul SAW menegaskan bahwa balasan bagi haji mabrur adalah surga.

Pesan spiritualnya, perjalanan menunaikan ibadah haji akan dan mau menuntun manusia untuk merenungi tujuan awal penciptaannya. Abstraksinya seperti gerakan tawaf. Gerakan ini akan dan mau menghilangkan identitas personal manusia.

Saya menyebut "akan" dan "mau", sebab sepulang haji akan menjadi mabrur atau mau rasakan capek fisiknya haji, tapi tak dapat predikat mabrur.

"Akan" artinya sesuatu yang akan terjadi, bisa  menjadi haji mabrur atau haji mabur.

Sedangkan "mau" kehendak atau sungguh-sungguh menjadi haji mabrur.

Baca Juga: Pak Jokowi, Ngono Yo Ngono, Ning Ojo Ngono

Saat tawaf, saya bayangkan, semua orang berkumpul pada tujuan yang sama, berputar dalam arah yang sama tanpa ada perbedaan jabatan, ras, warna kulit, atau perbedaan lainnya.

Praktis menunaikan ibadah haji menurut pengalaman pribadi saya adalah wasilah peningkatan amaliah seorang hamba dengan sang pencipta dan juga menjadi wasilah hablu minan nas, (sarana mewujudkan kepedulian sesama). Usai tawaf, masih dengan nafas ngos ngosan, saya berpikir haji adalah momen perubahan seorang hamba untuk lebih baik, berakhlak, menghidupkan prinsip kemanusiaan, dan mematikan berhala hala kecil yang bersemayam dalam hati. Dan harapannya mau menjadi pribadi yang bermanfaat untuk umat.

Pengalaman spiritual saya, menjadi haji yang mabrur berarti juga memiliki kepedulian sosial, peka terhadap lingkungan, memiliki kerendahan hati dan dapat membawa diri di tengah pergaulan dengan orang lain.

Nah, cerita tentang kepedulian sosial saya petik dari kisah Abdullah bin Mubarak. Dikisahkan ada seorang tukang sepatu bernama Muwaffaq dengan ikhlas memberikan biaya haji yang telah dikumpulkannya untuk membantu tetangganya yang membutuhkan, hingga ia urung berangkat haji. Masya Allah. Adakah kisah ini terjadi saat ini?

Akal sehat saya kini ada amalan sosial seperti menyantuni anak yatim, orang miskin, membantu yang membutuhkan dan orang terlantar. Semuanya  merupakan amalan yang utama dan mulia. Artinya keridhaan Allah tidak semata di depan Ka'bah tapi juga ada dalam setiap amal kebaikan terutama sepulang haji, maukah jadi haji mabrur.

Amalan sosial semacam itu tergolong pendidikan akhlak dibalik amaliah ritualnya berhaji.

Tentang ‘pahala dan dosa, surga-neraka‘ sebagai reward haji mabrur,  menurut akal spiritual saya, tidak perli dipikirkan mendalam. Ini karena bukan ranah kita sebagai makhluk tapi kita pasrahkan sepenuhnya pada Allah sang Pencipta Yang Maha Kuasa dan Maha Adil.

Justru yang perlu kita pikirkan dan pahami sepulang haji adalah amalan yang diwajibkan Allah kepada kita tentang rukun islam yang lima tidak lain adalah pesan-pesan penting dalam ritual haji sebelum saya berangkat .

Apa? bekal ilmu dan pemahaman makna simbolik ritual hajinya. Spiritual dan perasaan yang tercipta saat berhaji saya rasakan hanya melibatkan makhluk tersebut dan Rabb-nya. Masya Allah.

Baca Juga: Jokowi vs Mega, Prabowo vs Mega = Kekuasaan

Berbeda saat saya shalat dan berdoa di Masjid Nabawi maupun Masjidil Haram. Rasanya pikiran hanya berpusat pada shalat itu sendiri. Ya pada bacaan shalat dan artinya dan gerakannya. Semua dinikmati satu-persatu. Mendengar bacaan imam-pun tanpa perlu usaha air mata rasanya sudah mengalir saja sendiri. Padahal paham arti surat yang dibacakan imam saja tidak. Saking merdunya suara imam. Apakah semua jemaah haji mengalami perasaan seperti saya. Belum tentu. Ini makna ibadah personal dan indivudual.

Jujur, selama menjalani prosesi haji, saya menangis, mengingat dosa-dosa, mengingat bahwa hidup ini hanya betul-betul fana, mengingat akhirat yang hakiki, mengingat mati, dan nanti dimanakah saya akan ditempatkan. Saat itu doa utama saya simpel, hanya meminta diampuni dosa, diberikan khusnul khotimah, dan dikumpulkan dengan seluruh keluarga saya di surga kelak agar pantas bertemu Allah, Rasulullah, para sahabat dan tabi’in.

Saat saya menatap Ka'bah, saya menangis karena merasa kecil, kecil sekali di hadapan Allah. Di antara banyaknya manusia saleh dan salehah di dunia ini, apalah saya ini. Begitu tingginya keimanan dan ketakwaan orang-orang terdahulu, apalah saya ini. Di antara luasnya kebesaran Allah atas langit dan bumi, bahkan semesta, saya tidak tahu seberapa besarnya. Inipun kadang masih kita lupa. Berharap hanya pada syafaat dan ridho Allah saja.

Saya merasakan, rasanya semua yang ada dalam diri kita sangat dikontrol ketika di sana, terutama ketika sedang ihram. Saat ihram, saya perhatikan  hal-hal terkecil yang melanggar larangan haji. Mengapa saat pulang haji hal-hal terkecil yang melanggar larangan Allah acapkali terlewatkan. Saya tahu dosa kecil pun hanya saya sendiri yang merasakan.

Dalam surat Al Baqarah 197 disebutkan bahwa dalam keadaan haji, maka seseorang tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Itu benar-benar dijaga. Kalau ada rasa kesal dan tidak sabar, banyak-banyak zikir dan istighfar, semoga tidak mengotori haji. Kalau ada hal-hal yang rasanya ingin dikomentari, ditahan jangan sampai jadi perkataan sia-sia.   Jadi seperti lebih “jaim” (jaga image).

Tapi kenapa sekeluar dari tanah suci, saya kadang berbuat fasik dan berbantah-bantahan? Apakah ini tipologi haji mabur? Bisa jadi kebiasaan itu tak bisa dihilangkan. Mereka sepulang haji masih tercampuri kemaksiatan . Mereka masih terkontanasi aneka motivasi duniawi.

Ia memang menjalankan ibadah hajinya “mabur” alias terbang ke Tanah Suci. Hajinya tidak membuatnya menjadi manusia yang lebih baik, baik di mata Allah SWT serta baik kepada manusia dan alam di sekitarnya.

Itulah ibadah haji.  Saya merasakan memang ibadah yang personal. Apa yang terjadi selama haji, hanya Allah dan dirinya yang tahu. Masya Allah. ([email protected])

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU