Hakim Mahkamah Konstitusi yang Periksa Gugatan Malah Nasihati Penggugat
Baca Juga: Sah! Menang Putusan MK, Khofifah-Emil Jadi Pemengan Pilgub Jatim 2024
SURABAYAPAGI.COM, Jakarta - Dua WNI berharap bunga pinjaman ke bank dihapus. Harapannya diajukan dalam gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Keduanya menggugat pasal riba karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Gugatan diajukan warga Kota Bekasi, Edwin Dwiyana dan warga Kabupaten Bogor, Utari Sulistyowati. Keduanya menggugat KUHPerdata tentang bunga pinjaman ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan alasan bertentangan dengan konstitusi.
"Menyatakan materi muatan Pasal 1765 KUHPerdata, Pasal 1766 KUHPerdata, Pasal 1767 KUHPerdata, dan Pasal 1768 KUHPerdata bertentangan dengan Pasal 1 ayat (1), Pasal 29 ayat (2), Pasal 1 ayat (1) Aturan Peralihan, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat "
Menanggapi gugatan itu, hakim MK Arief Hidayat menasihati pemohon agar hidup bertoleransi.
"Saya kebetulan seorang muslim, kemudian Pak Daniel Yusmic dan Pak Manahan itu seorang yang beragama non-muslim. Kristen, Katolik. Di Indonesia ini sudah diakomodasikan kehidupan bertoleransi. Misalnya saja sekarang produk makanan, ditulis halal atau haram, halal. Sudah jelas di situ," kata Arief Hidayat dalam sidang yang tertuang dalam risalah sidang sebagaimana dilansir website MK, Kamis (6/7/2023).
KUHPerdata Tetap Berlaku
Begitu juga di lapangan perbankan. Saat ini sudah muncul bank syariah untuk mengakomodasi masyarakat yang meyakini perekonomian berdasarkan syariah.
"Sekarang bermunculan, menurut Undang-Undang Perekonomi Syariah dan Perbankan Syariah sudah ada. Jadi, tidak perlu yang kayak begini, yang bukan untuk Islam juga disilakan. Pengaturan pasal-pasal ini adalah berkaitan dengan perekonomian dan perbankan yang bersifat konvensional," kata Arief Hidayat.
Ia tegaskan KUHPerdata yang berasal dari Belanda tetap berlaku beradasarkan aturan Peralihan UUD 1945. Namun bila ada masyarakat yang tidak mau memakainya, bisa menggunakan UU tentang Perekonomian Syariah.
"Nah, kalau semuanya dikatakan begitu, ya, berarti kita tidak bertoleransi kepada saudara- saudaranya yang non-Muslim. Saudara-saudara non-Muslim, silakan saja dengan menggunakan bank konvensional, perekonomian konvensional," ucap Arief Hidayat.
Percaya Riba, Pindah ke Syariah
Bagi yang mempercayai bunga bank adalah riba dan haram, maka bisa memakai sistem syariah yang sudah berlaku.
"Yang Muslim ini harus menghindari riba, bunga, kayak gitu, karena itu dianggap haram, ya, kita sudah diakomodasikan oleh undang-undang tersendiri yang bersifat lex specialis. Ini lex generalis-nya, hukum perdata ini. Yang lex specialis kita ada bank syariah, tidak dapat bunga," ungkap Arief Hidayat.
Arief Hidayat mencontohkan di MK bila ada pegawai yang tidak mau memakai bank konvensional, dibolehkan memakai bank syariah.
"Kan berarti Pemohon ini merasa 'Saya itu seorang Muslim, harus menjalankan syariah dengan baik. Dalam perekonomian, saya juga kalau punya uang, saya simpan di bank. Kalau bank yang konvensional, saya dapat bunga. Berarti, itu saya haram hukumnya'. Ya, kalau gitu, ya, itu enggak usah dibubarkan enggak apa-apa karena kita sudah diakomodasikan kepentingan kita yang Muslim ini dalam perekonomian syariah atau bank Syariah. Kita simpannya ke bank syariah, BRI Syariah sudah ada, Mandiri Syariah sudah ada, malah Bank Jawa Barat, Bank DKI juga yang syariah juga sudah ada," kata Arief Hidayat menasihati pemohon.
Baca Juga: Laut Dipagari Bambu 30,16 Km, Ber-HGB, Langgar Hukum
Pikirkan Ulang Permohonannya
Hakim konstitusi Manahan Sitompul juga menasihati pemohon agar memikirkan ulang permohonannya. Bila dikabulkan, bisa kacau sistem perbankkan.
"Kalau dihilangkan itu 4 pasal itu, bagaimana jadinya nanti nasib dari perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh agama lain, misalnya. Ke mana nanti mereka mendasarkan segala perbuatan perjanjian yang dilakukan mereka? Kan enggak ada lagi. Vakum, recht vacuum nanti jadinya kalau itu dihilangkan. Ini lima pasal lagi, hilang sama sekali dari KUHPerdata. Wah kacau, Indonesia punya hukum bolong, kira-kira nanti internasional punya banyak nanti komentar," ujar Manahan Sitompul.
Pasal-pasal yang Digugat
Berikut pasal yang digugat. Pasal 1765 KUHPerdata: Untuk peminjaman uang atau barang yang habis dalam pemakaian, diperbolehkan membuat syarat bahwa atas pinjaman itu akan dibayar bunga.
Pasal 1767: Ada bunga menurut penetapan undang-undang, ada pula yang ditetapkan dalam perjanjian. Bunga menurut undang-undang ialah bunga yang ditentukan oleh undang-undang. Bunga yang ditetapkan dalam perjanjian boleh melampaui bunga menurut undang-undang dalam segala hal yang tidak dilarang undang-undang. Besarnya bunga yang ditetapkan dalam perjanjian harus dinyatakan secara tertulis.
Pasal 1768: Jika pemberi pinjaman memperjanjikan bunga tanpa menentukan besarnya, maka penerima pinjaman wajib membayar bunga menurut undang-undang.
Pasal 1769: Bukti yang menyatakan pembayaran uang pinjaman pokok tanpa menyebutkan sesuatu tentang pembayaran bunga, memberi dugaan bahwa bunganya telah dilunasi dan peminjam dibebaskan dan kewajiban untuk membayarnya.
Baca Juga: KPU Kota Blitar Siap Hadapi Persidangan di MK
Kutip Al-Qur'an
Pemohon mengutip Al-Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 278-280 yang artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, tinggalkanlah apa yang tersisa dari riba, jika kalian adalah orang-orang yang beriman. Maka jika kalian tidak meninggalkan, maka umumkanlah perang kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka jika kalian bertaubat, maka bagi kalian adalah pokok harta kalian. Tidak berbuat zalim lagi terzalimi. Dan jika terdapat orang yang kesulitan, maka tundalah sampai datang kemudahan. Dan bila kalian bersedekah, maka itu baik bagi kalian, bila kalian mengetahui"
Menurut keduanya, perbuatan mematok bunga (interest/fa'idah) dalam klausul perjanjian atau kontrak ataupun dalam perbuatan hukum dikategorikan sebagai riba yang hukumnya haram. Kini berkas permohonan tersebut sudah didaftarkan dan diproses kepaniteraan MK.
"Bahwa dengan demikian maka berlakunya klausul sebagaimana dimaktub dalam objek permohonan a quo adalah sangat merugikan kepentingan konstitusional Para Pemohon karena membuat Para Pemohon menjadi tidak terjamin kemerdekaannya dalam menjalankan agama yang dianut Para Pemohon, sebagaimana dijamin dalam UUD 1945 a quo," urainya.
Selain itu, klausul yang dimaktub dalam objek permohonan, khususnya frasa 'bunga' dimaksud adalah merupakan murni peninggalan warisan rezim kolonialisme Hindia Belanda yang diambil dari Code Napoleon.
"Yang tentu sangat tidak bersesuaian dengan semangat ekonomi Pancasila yang berlaku di Indonesia di mana diutamakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia," ucapnya.
Pelaku Riba
Dengan memberlakukan klausul 'bunga' sebagaimana dimaktub dalam objek permohonan a quo, selain membuat tidak terjaminnya kemerdekaan Para Pemohon dalam kebebasan menjalankan agama Islam, yang harus tunduk dan taat pada aturan dan larangan yang diperintahkan dalam Al-Qur'an dan as Sunnah, hal itu sangat tidak berkeadilan karena akan berdampak bahwa pihak kreditur akan berada dalam posisi yang lemah (imperior) dan pihak debitur selalu dalam posisi yang superior.
"Bahwa oleh karena juga mengingat betapa besarnya dosa riba sebagaimana diungkapkan dalam sebuah Hadist yang intinya menyebutkan bahwa dosa riba yang terkecil adalah ibarat 'menzinahi ibu kandung sendiri', yang mana perbuatan riba itu bukan sekadar tercatat pada pihak yang berutang atau yang mengutangkannya, melainkan juga ikut serta pihak yang mencatatkannya, yang kesemuanya dianggap sebagai pelaku riba, maka sudah sepatutnyalah Majelis Hakim Konstitusi membatalkan objek permohonan a quo sehingga dalam alam akhirat kelak tidak tergolong sebagai kelompok yang mensahkan berlakunya riba bagi umat Islam di Indonesia," cetusnya. n jk/erc/cr3/rmc
Editor : Moch Ilham