Politik Dinasti itu Tidak Tepo Sliro

author surabayapagi.com

- Pewarta

Selasa, 24 Okt 2023 20:35 WIB

Politik Dinasti itu Tidak Tepo Sliro

i

Raditya M Khadaffi

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Presiden Jokowi, dicap praktikan politik dinasti. Tiga anak-mantunya dibiarkan maju menduduki jabatan publik. Ini terjadi saat ia masih berkuasa. Peristiwa ini menimbulkan pro- kontra.

Akal sehat saya merenung mengapa jabatan anak mantu Jokowi, menimbulkan pro kontra? Salah satunya disebabkan jabatan mereka dinikmati saat bapaknya berkuasa?

Baca Juga: Bisnis Susu akan Dimudahkan Prabowo

Secara umum pro merupakan pendapat yang bersifat setuju. Sedangkan kontra adalah pendapat yang menyatakan ketidaksetujuan.

Itu ada salam pelajaran Bahasa Indonesia Bab teks diskusi.

 Publik diberi edukasi, penunjukkan Gibran sebagai cawapres untuk mendampingi Prabowo dianggap sebagai upaya Presiden Joko Widodo membangun dinasti politik.

Selain Gibran, sejumlah anak Jokowi juga menduduki jabatan mentereng, seperti Kaesang Pangarep yang didapuk menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia dan Bobby Nasution-menantu Jokowi-yang menjadi Wali Kota Medan.

Tersirat ada praktik Adigang Adigung Adiguna .

Ini merupakan suatu istilah yang ada dalam peribahasa Jawa yang secara umum memiliki arti menyombongkan kekuatan, kekuasaan, dan kepandaian yang dimiliki

Adigang, adigung, adiguna (tegesé: aja ngandhelaké kaluwihané dhéwé waé).

Menurut kakek-nenek saya, peribahasa ini merupakan suatu nasihat agar seseorang tidak menjadi sombong. Nasihat itu  diperuntukkan kepada para pemimpin atau orang-orang yang mempunyai kekuasaan sejak pada zaman dahulu.

Karena, dalam kata Adigang, Adigung dan Adiguna ini, kesombongan seseorang diibaratkan seperti sifat gajah yang mengandalkan kekuatannya (Adigung).

Maklum, Gajah memiliki ingatan kuat hingga 27 tahun dan detail terhadap apapun yang dilihat dan dialami di sekitarnya. Karena sifat sensitifnya, gajah juga bersifat pendendam.

Padahal, gajah terlihat tenang, namun sikap agresifnya kapan saja bisa muncul ketika sang gajah tidak nyaman atau karena dendam.

Gajah Sumatera dan juga gajah dari Kalimantan termasuk ke dalam jenis hewan buas. Masya Allah.

Adigang, digambar sifat ular yang mengandalkan bisanya. Dan Adiguna, dilukiskan sifat kijang yang mengandalkan kemampuan melompatnya.

Adiguna adalah sifat yang mengutamakan kepandaian dan akal .

Kijang (Muntiacus muntjak) biasa juga disebut kidang atau muncak, merupakan mamalia asli Indonesia,

Adigang, diumpamakan seperti hewan Ular , yang terlihat lemah namun membahayakan dan siap menyerang. Secara tersirat, makna dari peribahasa ini adalah jangan mengandalkan kelebihan dirinya sendiri saja.

Ular dapat diartikan sebagai hewan yang licin, licik, dan sangat cakap. Selama ini, istilah ular sering digunakan menggambarkan manusia yang licik, sering menipu dan berkhianat.

Maka itu, Ular termasuk binatang yang tak diperbolehkan untuk dipelihara umat Islam.

Ini kisah yang tumbuh di lingkungan orang jawa sejak dulu.

 

***

 

Catatan jurnalistik saya, Presiden Joko Widodo pernah mengajak para Menteri Luar Negeri ASEAN dan mitra untuk menjadi pemenang yang terhormat, yang menang tanpa merendahkan dan mengalahkan yang lain. Nah! Ini ungkapan Jawa soal Sugih tanpa Bandha, Digdaya tanpa Aji, Nglurug tanpa Bala, Menang tanpa Ngasorake.

Ajakan tersebut disampaikan Kepala Negara dalam sambutannya pada acara Courtesy Call Menteri Luar Negeri ASEAN kepada Presiden RI yang digelar di Shangri-La Hotel, Jakarta, pada Jumat, 14 Juli 2023.

“Saya mengajak kita semuanya marilah kita menjadi pemenang yang terhormat, menang tanpo ngasorake,” ujar Presiden.

Juga saat Presiden Joko Widodo membagikan sertifikat hak atas tanah untuk warga Magelang, Jawa Tengah. Jokowi lebih banyak menggunakan bahasa Jawa saat berinteraksi dengan warga.

Dalam sambutannya, Jokowi memulai sapaan menggunakan bahasa Jawa. "Sugeng injing," kata Jokowi di Drh Supardi, Magelang, Jawa Tengah, Senin (18/9/2017).

Jokowi mengaku sengaja berbahasa Jawa karena khawatir lupa. Sebab, dia selalu berkunjung ke daerah-daerah di seluruh Indonesia dan mempelajari bahasa di sana.

Mempelajari kepustakaan Jawa klasik ada tingkah-laku politik Jawa.

Salah satu kunci untuk memahami teori politik Jawa adalah tafsiran secara tradisional tentang apa yang dinamakan kekuasaan oleh ilmu sosial. 

Baca Juga: Jokowi Ajak PM Lee Kelola Kawasan Industri Halal Sidoarjo

Hal ini disebabkan karena konsepsi Jawa berbeda secara radikal dari konsepsi yang telah berkembang di Barat sejak Zaman Pertengahan.

Dari perbedaan inilah timbul pandangan-pandangan yang berbeda mengenai cara-cara berjalannya politik dan sejarah.

Menurut Sartono, konsep kekuasaan atau otoritas kharismatik di dalam masyarakat Indonesia pada umumnya, dan masyarakat Jawa pada khususnya, mempunyai denotasi pengertian kesaktian.

Namun berbeda dengan penjelasan Ben Anderson, dalam uraiannya soal konsep kekuasaan Jawa perlu di utarakan bahwa konsep Jawa mengenai kekuasaan berdimensi empat sesuai dengan konsep pewayangan: sakti-mandraguna, mukti-wibawa. 

Mandraguna menunjukkan kepada kecakapan, kemampuan, ataupun ketrampilan dalam satu atau beberapa bidang, seperti olah senjata, kesenian, pengetahuan, dan sebagainya.

Mukti lebih berhubungan dengan kedudukan yang penuh dengan kesejahteraan. Wibawa berarti kedudukan terpandang (prestise) yang membawa pengaruh besar (Kartodirdjo, 1984: viii).

Literasi Jawa yang saya baca, semua hubungan sosial secara hirarkis diatur oleh nuansa-nuansa halus perbedaan kedudukan. Hirarki sosial semacam ini semakin dipertegas lagi setelah masuknya agama Hindu ke Indonesia.

Agama Hindu mengajarkan bahwa strata sosial seseorang tidaklah sama. Ketidaksamaan ini disebabkan karena seseorang dilahirkan dari asal keturunan yang berbeda. Perbedaan ini berlangsung terus-menerus, sehingga seseorang akan hidup dan mati dalam strata sosialnya, yang dalam agama Hindu disebut kasta.

Digambarkan selain memperkenalkan hirarki sosial yang semakin tegas, Agama Hindu juga memperkenalkan dewa-dewa sebagai penguasa tertinggi yang harus dihormati dan sekaligus dipuja. Dengan sendirinya, raja sebagai kepala pemerintahan harus pula menghormati dewa - dewanya. Nah, siapa yang bakal memposisikan dewa dan

raja sebagai kepala pemerintahan saat ini? Wait and see.

 

***

 

Berangkat dari sejarah dan kultur jawa, akal sehat saya memaknai politik dinasti itu mesti berkaca mengapa manusia harus hidup bermasyarakat?

Ini karena pada hakikatnya manusia tidak bisa hidup sendiri. Manusia sebagai makhluk sosial sangat perlu berkomunikasi, dan menjalin hubungan antar sesamanya.

Tanpa hal itu manusia mungkin tidak akan hidup lama di dunia.

Baca Juga: Apple Investasi Rp 1,6 Triliun, Microsoft Rp 14 Triliun

Pemahaman saya manusia bermasyakat ada rasa tepo sliro. Apalagi bagi orang jawa.

Tepo seliro diartikan sebagai “tenggang rasa”. Namun, tenggang rasa dalam masyarakat Jawa ini lebih halus dan memuat nilai-nilai keluhuran lain.

Tepo selira dalam bahasa Jawa diartikan dengan sikap yang berarti seseorang mendengar dan ikut menempatkan dirinya pada perasaan yang orang lain rasakan.

Halo Pak Jokowi. Masih ingatkan tenggang rasa atau tepa selira merupakan perilaku seorang yang menempatkan perasaannya pada perasaan orang lain.

Saya masih ingat sikap dan perilaku tenggang rasa di sekolah dulu. Berteman dan saling mengenal tanpa membeda-bedakan. Membantu teman dan siapa pun yang kesulitan.

Menerapkan sikap toleransi terhadap perbedaan yang ada di sekolah, baik suku, agama, dan ras.

Termasuk berpegang teguh pada kebenaran dan bersikap adil kepada teman-teman.

Guru saya dulu bilang toleransi adalah menghormati perbedaan. Sedangkan Tenggang rasa adalah kemampuan dan kesediaan untuk mengendalikan diri.

Pak Jokowi, guru saya juga bilang sikap saling tidak menghargai akan menimbulkan perpecahan dan intoleransi. Dengan sikap menghargai sesama, maka permasalahan mengenai intoleransi ini setidaknya dapat diminimalkan.

Tepo selira, kata guru saya, jika digunakan akan membentuk kedamaian di masyarakat karena saling tenggang rasa dan toleransi, kepentingan bersama dan rasa saling menerima akibatnya juga dirasakan bersama.

Di samping itu, kader yang berasal dari dinasti politik biasanya telah memiliki akses sumber daya yang jauh lebih mumpuni. Mereka telah siap dengan sumber daya kampanye, mulai dari pendanaan, relawan, hingga dukungan media.

Selain itu, partai menganggap pihak keluarga kemungkinan lebih loyal dan dipercaya oleh elit partai, sehingga mereka punya akses terhadap proses kaderisasi yang lebih mudah dan cepat. Bahkan, jika partai tersebut telah memiliki sejarah panjang dan memiliki pengaruh yang kuat, kecenderungan timbulnya dinasti politik biasanya akan lebih kuat

M.E. McMillan dalam bukunya yang berjudul “Fathers and Sons: The Rise and Fall of Political Dynasty in the Middle East” mencoba menjabarkan bagaimana kekuasaan di banyak wilayah Timur, seperti Libya, Mesir, Arab Saudi dan lain-lain, negara tersebut dikonsentrasikan di tangan satu individu atau keluarga.

Di sana, banyak pemimpin yang akhirnya dengan sengaja melakukan dinasti politik demi membangun sistem yang dapat mengamankan kekuasaan mereka. Contohnya adalah Ali Abdallah Saleh, Presiden Yaman periode 1990–2012, yang pada akhir 2010 berniat mengubah konstitusi agar putranya bisa menggantikannya sebagai pemimpin. Dari gambaran yang saya tulis diatas, lebih banyak buruknya akan bahaya politik dinasti ketimbang baiknya. Ini cara pandang politik dinasti dalam perspektif tepo sliro bermasyarakat di Indonesia.

Pertanyaan tepo slironya masak cawapres diusung terburu-buru, kesusu atau grusa grusu, seolah tak ada anak muda dengan rekam jejak berpolitik tanpa KKN. Kan ada AHY, Puan Maharani, dll. ([email protected]).

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU