Pak Jokowi, Jangan Ada Dusta di Antara Kita

author surabayapagi.com

- Pewarta

Senin, 04 Des 2023 20:52 WIB

Pak Jokowi, Jangan Ada Dusta di Antara Kita

i

Raditya M Khadaffi

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Presiden Jokowi, kini jadi trending topic. Ayah Gibran dan Kaesang ini dituding suka marah di Istana. Kini sudah dua pejabat tinggi negara yang memberi testimoni. Pertama mantan Ketua KPK Agus Rahardjo. Kedua, mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said.

Dua mantan pejabat ini punya integritas. Sampai berhenti dari jabatannya masing- masing, tak terlibat kasus apa pun. Keduanya memberi testimoni, dimarahi Presiden soal kejahatan eks Ketua DPR-RI Setyo Novanto, dalam kasus dugaan korupsi e-ktp. Secara gramatikal, testimoni beda dengan kesaksian.

Baca Juga: Jokowi Ajak PM Lee Kelola Kawasan Industri Halal Sidoarjo

Hal yang saya ketahui, testimoni adalah pernyataan atau pesan konsumen mengenai pengalamannya selama bertransaksi dengan penjual. Testimoni, baik itu cara pelayanannya maupun kualitas barang/ jasa yang dibeli.

Praktis, testimoni adalah bukti sosial yang menunjukkan kehebatan bisnisnya di mata pelanggan. Namun, tidak semua testimoni itu sama. Ada berbagai jenis dan contoh testimoni. Ada quote testimonial yang berupa kutipan langsung dari pembeli yang memuji produk atau suatu layanan.

Dengan kata lain, testimoni adalah pernyataan atau pesan konsumen mengenai pengalamannya selama bertransaksi dengan penjual, baik itu cara pelayanannya maupun kualitas barang/ jasa yang dibeli.

Setelah memahami arti testimoni, saya makin mengetahui apa saja manfaatnya bagi bisnis. Terutama terhadap orang-orang yang bersikap skeptis atau ragu terhadap produk yang belum pernah digunakannya.

Nah, siapa yang bersikap skeptis atas testimoni Agus Rahardjo?. Sejauh ini saya catat elite parpol koalisi Prabowo-Gibran. Perbuatan hukum yang saya catat, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2015-2019 Agus Rahardjo mengaku pernah diminta oleh Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) untuk menghentikan penanganan kasus korupsi pengadaan KTP elektronik (e-KTP) yang menjerat Setya Novanto atau Setnov.

Saat itu, Setnov menjabat Ketua DPR RI dan Ketua Umum Partai Golkar, partai politik yang pada 2016 lalu bergabung jadi koalisi pendukung Jokowi. Status hukum Setnov sebagai tersangka diumumkan KPK secara resmi pada Jumat, 10 November 2017.

Agus bercerita, momen itu terjadi saat dirinya dipanggil sendirian oleh Jokowi. Ia mengaku heran karena Jokowi biasanya memanggil semua Pimpinan KPK saat itu seperti biasanya.

Presiden, seingat Agus Rahardjo, pada waktu itu ditemani oleh Pratikno, Menteri Sekretariat Negara.

"Jadi, saya heran 'biasanya manggil (pimpinan KPK) berlima ini kok sendirian. Dan dipanggilnya juga bukan lewat ruang wartawan tapi lewat masjid kecil," tutur Agus dalam program Rosi, dikutip dari YouTube Kompas TV, Jumat (1/12/2023).

Saat bertemu, Agus mengaku melihat Jokowi sudah dalam keadaan marah. Ia mengungkap Jokowi lalu meneriakkan kata 'hentikan'.

"Itu di sana begitu saya masuk, presiden sudah marah, menginginkan, karena begitu saya masuk beliau sudah teriak 'hentikan'. Kan saya heran yang dihentikan apanya. Setelah saya duduk saya baru tahu, kalau yang suruh hentikan itu adalah kasusnya Pak Setnov, Ketua DPR waktu itu yang mempunyai kasus e-KTP supaya tidak diteruskan," ujarnya dalam acara tersebut.

Namun, Agus tidak menuruti perintah Jokowi dengan alasan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (Sprindik) sudah ditandatangani pimpinan KPK tiga pekan sebelum pertemuan tersebut.

"Saya bicara (ke Presiden) apa adanya saja bahwa Sprindik sudah saya keluarkan tiga minggu yang lalu, di KPK itu enggak ada SP3 [Surat Perintah Penghentian Penyidikan], enggak mungkin saya memberhentikan itu," katanya.

Agus mengaku telah menceritakan kejadian dimaksud kepada koleganya di KPK. "Saya bersaksi, itu memang terjadi yang sesungguhnya. Saya alami sendiri. Saya awalnya tidak cerita pada komisioner yang lain tapi setelah beberapa lama itu kemudian saya cerita," ucap dia.

Ia merasa kejadian tersebut berimbas pada diubahnya Undang-undang KPK. Dalam revisi UU KPK, terdapat sejumlah ketentuan penting yang diubah.

 

***

 

Juga Co-Captain Timnas AMIN, Sudirman Said bersaksi. Sudirman, mengaku pernah dimarahi oleh Presiden Joko Widodo dalam kasus korupsi e-KTP yang melibatkan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kala itu, Setya Novanto (Setnov).

Saat itu, Sudirman menjabat sebagai Menteri ESDM. Ia mengklaim sempat dipanggil Presiden ke Istana lantaran melaporkan Setnov ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR.

Laporan itu terkait polemik kasus 'papa minta saham' yang turut menyeret nama Setnov.

"Ketika saya melaporkan kasus Pak Novanto ke MKD itu Presiden sempat marah, saya ditegor keras dituduh seolah-olah ada yang memerintahkan atau ada yang mengendalikan," ujar Sudirman saat mendampingi Anies Baswedan di Kantor PWI, Jakarta, Jumat (1/12/2023).

 

***

 

Testimoninya, terutama Agus Rahardjo, runut, runtut dan runtun. Penjelasannya dari awal merunut, bersesuaian dan berturut-turut, berderet. Ada kesan, selaras.

Saat Agus Rahardjo, diwancarai sebuah TV media besar yang selama ini dipercai publik, ia tidak sedang berafiliasi dengan capres-cawapres satu pun.

Saya telusuri dari media sosial, pernyataan mantan Ketua KPK Agus Rahardjo yang mengaku mendapat tekanan dari Presiden Joko Widodo agar menghentikan kasus KTP-el membuat geger masyarakat Indonesia.

Benar atau tidaknya peristiwa tersebut, akal sehat saya berbisik, ungkapan Agus Rahardjo dan Sudirman Said dapat mempengaruhi tingkat kepuasan Jokowi di sisa masa kepemimpinannya.

Saya masih ingat dalam politik yang dilihat adalah dampaknya pada opini publik. Dalam catatan jurnalistik saya, publik lebih percaya kepada yang mengungkapkan dibanding yang membantah. Trust publik pada isu ini menurut analisis saya dapat mempengaruhi tingkat kepuasan pada Presiden Jokowi. Pesan moralnya, telah terbuka sekarang sebagian borok-borok presiden Jokowi.

Baca Juga: Apple Investasi Rp 1,6 Triliun, Microsoft Rp 14 Triliun

Saat ini Agus Rahardjo, hanya maju sebagai calon DPD RI. Praktis tak berpartai. Apalagi saat itu, KPK masih menjadi lembaga independen. Agak aneh, saat itu kehadiran lembaga independen masih sebagai trigger atas cara kerja lembaga konvensional. Beda setelah revisi UU KPK, yang menempatkan KPK di bawah kuasa Presiden.

Pemahaman saya, presiden memarahi Ketua KPK, saat KPK masih independen menjadi sangat kontraproduktif terhadap kebutuhan demokrasi. Ada kesan, Setyo Novanto, yang kala itu masih menjabat Ketua DPR-RI begitu "berharga" bagi ekistensi seorang presiden. Saat itu ada bukti kuat Setyo Novanto, diduga otak kejahatan e-ktp. Makanya, Majelis Hakim pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) menyatakan Setya Novanto terbukti bersalah dalam kasus korupsi e-KTP yang merugikan negara lebih dari Rp2,3 triliun.

Mantan Ketua Umum Golkar ini dijatuhi hukuman 15 tahun penjara, denda Rp 500 juta, dan dicabut hak politiknya selama lima tahun. Ia juga dihukum membayar uang pengganti sebesar US$7,3 juta atau setara dengan lebih dari Rp 101 miliar.

 

***

 

Akal sehat saya tak bisa membayangkan rasa keadilan masyarakat. Bila KPK berani menghentikan penanganan kasus korupsi pengadaan KTP elektronik (e-KTP) yang menjerat Setya Novanto atau Setnov, atas perintah Presiden Jokowi.

Akal sehat saya makin ngeri-ngeri sedap saat saya mendengar, Sudirman saat menjabat sebagai Menteri ESDM, mengklaim juga dipanggil Presiden ke Istana. Ini lantaran, Sudirman, melaporkan Setnov ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR. Laporan itu terkait polemik kasus 'papa minta saham' yang turut menyeret nama Setnov.

"Ketika saya melaporkan kasus Pak Novanto ke MKD itu Presiden sempat marah, saya ditegor keras dituduh seolah-olah ada yang memerintahkan atau ada yang mengendalikan," ujar Sudirman saat mendampingi Anies Baswedan di Kantor PWI, Jakarta, Jumat (1/12).

Setelah program Rossi bergulir, Presiden Joko Widodo baru merespons pengakuan Ketua KPK periode 2015-2019 Agus Rahardjo yang mengaku pernah mendapat intervensi darinya untuk menghentikan kasus e-KTP yang menjerat mantan Ketua DPR RI Setya Novanto (Setnov) pada 2017 silam.

Jokowi menegaskan dirinya telah menugaskan Kemensetneg untuk memeriksa agenda pertemuan sebagaimana yang diungkapkan Agus. Namun menurutnya tidak ada agenda tersebut.

"Saya suruh cek, saya sehari kan berapa puluh pertemuan, saya suruh cek di Setneg, enggak ada. Agenda yang di Setneg enggak ada, tolong dicek, dicek lagi saja," kata Jokowi di Istana Negara, Jakarta, Senin (4/12).

Presiden Jokowi, kemudian bertanya untuk apa diramaikan? "Kepentingan apa diramaikan itu, untuk kepentingan apa?" ujar Jokowi.

 

***

 

Baca Juga: "Memeras" Uang Rakyat

Pak Jokowi, logika saya mengatakan pernyataan Agus Rahardjo, bagian dari isu publik. Perhatian Presiden untuk menyuruh menyetop kasus korupsi e-ktp Setnov adalah masalah perilaku penyelenggara negara yang telah menimbulkan pengaruh pada publik.

Dalam sidang terungkap korupsi KTP elektronik ini diduga sudah direncanakan sejak perencanaan. Dan dilakukan dalam dua tahap yaitu penganggaran dan proses pengadaan barang dan jasa," Ketua KPK, Agus Rahardjo, Senin (17/7/2017).

Korupsi kader Golkar ini diduga mengakibatkan kerugian keuangan negara, perekonomian negara sekurang-kurangnya Rp 2,3 triliun. Ini dari nilai paket pengadaan sekitar Rp 5,9 triliun dalam paket pengadaan KTP elektronik pada tahun 2011-2012 di Kementerian Dalam Negeri.

Tahun 2017, mantan Dirjen Dukcapil Irman menyebut, tersangka Andi Narogong pernah mengatakan bahwa kunci penentu anggaran proyek e-KTP bukanlah Komisi II DPR, melainkan Setya Novanto dan Setya Novanto disebut mendapat bagian 7 persen dalam proyek pengadaan e-KTP.

Dan berdasarkan fakta persidangan, Novanto memainkan peran yang sangat vital dalam proses perencanaan anggaran dan penentuan pemenang proyek.

Setelah KPK kembali menetapkan Ketua DPR, Setya Novanto, sebagai tersangka dalam kasus korupsi proyek pengadaan e-KTP (10/11/2017), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) didesak langsung bergerak cepat. Lembaga anti-rasuah tersebut harus segera melimpahkan perkara ke pengadilan dan menahan Novanto.

Pengumuman penetapan Setya Novanto sebagai tersangka disampaikan langsung oleh Wakil Ketua KPK Saut Situmorang pada jum’at, 10 November 2017. Menurut Saut, Novanto disangkakan melanggar Pasal 2 ayat 1 subsider Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Ketua Partai Golkar tersebut diduga menguntungkan diri atau orang lain atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan dan jabatan, serta turut mengakibatkan kerugian negara Rp 2,3 triliun dari nilai proyek Rp 5,9 triliun.

Catatan jurnalistik saya, sejak dikalahkan dalam praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan akhir September lalu, berbagai komponen masyarakat mendesak agar KPK kembali menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka.

Selain karena banyak kejanggalan dalam pertimbangan yang digunakan hakim untuk memenangkan Setya Novanto, juga pada dasarnya putusan praperadilan tidak menghilangkan perbuatan pidana yang disangkakan.

Apalagi dugaan keterlibatan Setya Novanto dalam kasus korupsi e-KTP sudah sangat terang benderang. Berdasarkan catatan saya, setidaknya ada 13 fakta dalam persidangan yang menjelaskan peran Novanto. Di antaranya mantan Dirjen Dukcapil Irman menyebut, Andi Narogong pernah mengatakan bahwa kunci penentu anggaran proyek e-KTP bukanlah Komisi II DPR, melainkan Setya Novanto dan Setya Novanto disebut mendapat bagian 7 persen dalam proyek pengadaan e-KTP.

Karena itu, ketika KPK menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka masyarakat menyambut gembira. Paling tidak menunjukan bahwa KPK tidak lumpuh dan tetap memiliki keberanian meski terus ditekan dari segala penjuru, termasuk kriminalisasi terhadap pimpinan. Secara tidak langsung, saat itu, KPK telah memperlihatkan kepada masyarakat bahwa mereka masih bisa dijadikan sebagai harapan, di tengah korupsi yang makin marak. Termasuk krisis kepercayaan kepada aparat penegak hukum.

Dari sisi substansi kasus, penetapan Setya Novanto sebagai tersangka juga merupakan langkah penting dalam upaya membongkar dan menuntaskan mega-korupsi e-KTP. Sebab berdasarkan fakta persidangan, Novanto memainkan peran yang sangat vital dalam proses perencanaan anggaran dan penentuan pemenang proyek. Menurut pakar Hukum Tata Negara Mahfud MD, dengan segera melimpahkan kasus ke pengadilan Tipikor, maka tak ada waktu lagi bagi Novanto untuk mengajukan praperadilan kembali. Berdasarkan aturan, tersangka tidak bisa mengajukan praperadilan jika kasus sudah dilimpahkan ke pengadilan. Karena sudah masuk ke pokok perkara, bukan prosedur lagi.

Bahkan Mahfud MD, minta secepatnya menahan Setya Novanto. Tujuannya untuk mengantisipasi penghilangan alat bukti. Apalagi sebelumnya sudah ada upaya untuk menghapus jejaknya dalam kasus e-KTP.

Berdasar fakta persidangan Novanto pernah memerintahkan Diah Anggraini (Mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri - saksi sidang E-KTP) untuk menyampaikan pesan kepada Irman agar mengaku tidak mengenal Novanto ketika ditanya oleh penyidik KPK.

Saat itu KPK menyebut, Setyo Novanto tidak kooperatif. Berbagai alasan digunakan guna menghindar dari panggilan para penyidik KPK. Mulai dari sedang reses, berada di daerah pemilihan (dapil), hingga meminta surat persetujuan dari presiden. Dan paling fenomenal adalah ia mengaku terserang berbagai penyakit seperti vertigo, penurunan fungsi ginjal, hingga jantung. Ini dilakukannya, ketika menetapkannya sebagai tersangka untuk pertama kali.

Atas munculnya peristiwa ini, saya jadi teringat lagu almarhum Broery Marantika "Jangan ada dusta diantara kita". ([email protected])

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU