Gen Z Resah Bila Disuruh Baca Buku Kisah Sukses

author surabayapagi.com

- Pewarta

Minggu, 30 Jun 2024 21:14 WIB

Gen Z Resah Bila Disuruh Baca Buku Kisah Sukses

Prof Harjanto Prabowo, Mengindikasikan Perhatian Gen Z Gampang Teralihkan 

 

Baca Juga: Transaksi Kripto di Indonesia Capai Rp.211 Triliun, Pemerintah Sasar Gen Z untuk Literasi Kripto

SURABAYAPAGI.COM, Jakarta - Vice President of Binus Higher Education, Prof Harjanto Prabowo., mengingatkan setiap masa melahirkan generasi sendiri. Termasuk Gen Z, generasi yang lahir antara tahun 1997-2012. Gen Z, kini sudah menjadi native digital dan elahirkan tantangan tersendiri untuk mendidiknya.

Tantangan itu dirasakan oleh Vice President of Binus Higher Education, Prof Harjanto Prabowo. Ia membandingkan Generasi X, Gen Z. Menurut Prof Har, Gen Z memiliki attention span atau panjang perhatian yang semakin pendek. Perhatian Gen Z gampang teralihkan.

"Jadi semua konten mengajar sudah disediakan. Dosen tidak bisa hanya mengajar saja, ibaratnya harus bisa nari, tertawa, bercerita dan sebagainya," tutur Prof Har dalam acara Binus Media Partnership Program (BMPP) di Hotel Dorsett Tsuen Wan Hong Kong, Jumat (28/6/2024).

 

Gen Z Resah

Sementara Pendiri klub buku Jakarta Book Party, Samuel Pandiangan, menjelaskan, anak muda mulai dari generasi milenial, Y, hingga alpha sebenarnya masih gemar membaca buku, baik buku fisik maupun digital. " Gen Z, resah terhadap buku yang selama ini beredar hanya menyuguhkan kisah-kisah sukses seseorang atau bahkan terkesan menggurui," ungkap Samuel Pandiangan, kemarin.

 

Buku Cetak tak Tergantikan

Mantan Rektor Binus University ini, Gen Z sudah tidak suka membaca buku-buku cetak. Gen Z lebih suka membaca e-book atau buku elektronik.

Buku kini tak hanya dinikmati secara fisik, tetapi juga bisa dibaca dalam kemasan digital (e-book), bahkan didengar melalui audio book. Meski demikian, popularitas buku cetak masih tak tergantikan. Bagi sebagian masyarakat, buku cetak masih menjadi pilihan utama untuk menghilangkan penat, menjadi media untuk berdiam dan kontemplatif, lepas dari kesibukan.

”Saya lebih suka buku cetak konvensional karena lebih mendukung untuk 'menghilang' sejenak dari kesibukan. Beberapa kali baca e-book, ujung-ujungnya malah buka media sosial, jadi enggak deh,”ujar Patricia Dian (28) di Cikarang, Jawa Barat, Kamis (16/5/2024).

 

Lebih Suka Buku Cetak

Kami menemukan gen Z dan milenial lebih suka buku cetak dibanding e-book dan buku audio, meskipun format bacaan favorit mereka yang lain jelas bersifat digital, seperti obrolan video game dan novel web.

Gen Z dan milenial AS membaca rata-rata dua buku cetak per bulan. Ini hampir dua kali lipat dari rata-rata akses e-book atau buku audio, menurut data kami. Preferensi terhadap buku cetak juga terlihat pada jenis buku yang dipinjam dan dibeli oleh gen Z dan milenial.

Sekitar 59 persen dari mereka mengaku lebih suka cerita yang sama dalam format grafis atau manga dibanding hanya berbentuk teks. Meskipun beberapa novel bergambar, komik, dan manga dapat dibaca di layar, buku adalah medium yang membuat ilustrasi rumit ini benar-benar menonjol.

Semua harus beradaptasi dengan perkembangan zaman, tidak terkecuali para penulis yang perlu mengenal lebih dalam pembaca masa kini. Generasi anak muda yang tumbuh di era serba ada, membuat mereka lebih spesifik dan selektif dalam memilih buku bacaan.

 

Buku Dibutuhkan Gen Z

Pendiri klub buku Jakarta Book Party, Samuel Pandiangan, menjelaskan, kegandrungan gen Z terhadap smartphone dan ketertarikan pada buku mungkin tampak bertentangan. Meski demikian, buku dibutuhkan gen Z bagi kebiasaan kita menatap gawai.

Baca Juga: Sandiaga: Gen Z Berperan Penting Gaet Wisatawan

Penelitian terbaru kami menemukan 92 persen gen Z dan milenial Amerika Serikat (AS) mengakses media sosial setiap hari. Sebanyak 25 persen dari mereka memeriksanya beberapa kali per jam.

 

Terbiasa Ngetik dengan Gawai

Namun, dalam studi nasional, ditemukan gen Z dan milenial masih mengunjungi perpustakaan dalam jumlah yang sehat. Sekitar 54 persen gen Z dan milenial berkunjung ke perpustakaan setempat sejak pada 2022.

Temuan ini memperkuat data pada 2017 dari Pew Research Center, yang menunjukkan 53 persen milenial mengunjungi perpustakaan setempat selama 12 bulan sebelumnya. Sebagai perbandingan, penelitian yang sama menemukan hanya 45 persen generasi X dan 43 persen generasi baby boom yang mengunjungi perpustakaan umum.

Lalu mengapa gen Z dan milenial—yang terkadang dikategorikan sebagai generasi dengan atensi yang rendah dan anak rumahan—masih melihat manfaat mengunjungi perpustakaan umum?

"Kemudian sudah tidak bisa menulis tangan. Coba lihat, tulisannya kan jelek-jelek itu. Karena sudah terbiasa mengetik dengan gawai," tutur Prof Har.

 

Pendidikan Lebih Pendek

Ia akui Gen Z ini sangat memberdayakan artificial intelligence (AI) seperti Chat GPT. Maka itu sangat penting bagi Gen Z untuk belajar soal AI.

Dalam dunia kerja, imbuh Prof Har, Gen Z ini sangat mementingkan sekali work life balance atau keseimbangan hidup, juga sangat sadar akan kesehatan mental.

"Gen Z cenderung tidak mau diperintah-perintah. Maunya ya yang nyuruh harus melakukan pekerjaan itu bareng-bareng dengan mereka," tuturnya.

Kemudian, Gen Z tidak bisa diberikan penilaian dalam periode yang lama, misalnya setahun. Gen Z cenderung suka bila penilaian itu dilakukan dalam periode lebih pendek, misalnya sebulan.

"Maunya ya, begitu melakukan kesalahan dikoreksi, lakukan salah lagi langsung dikoreksi, begitu terus. Bukan terus evaluasinya tahun depan, itu bikin Gen Z sebal itu. Mereka beranggapan 'lha itu kan sudah lewat, kenapa masih diungkit'," jelasnya.

 

Gen Z tak Suka Teori

Sementara Rektor Binus University Dr Nelly, SKom, MM, CSCA bahwa Gen Z itu sangat hands on. Tidak senang materi kuliah yang terlalu banyak berteori. "Mereka sukanya kalau belajar itu ya langsung praktek," imbuhnya dalam forum yang sama.

Mengantisipasi perilaku Gen Z yang gampang bosan seperti ini, Binus University sejak tahun 2014 sudah mengadakan minor program dan enrichment program. Minor program ini bisa diambil meski bidangnya berbeda jauh 180 derajat dari major studi yang diambil.

"Misal yang S1-nya ambil jurusan Komputer bisa ambil minor program Culinary. Sebaliknya yang ambil jurusan Bisnis bisa ambil jurusan Komputer atau Digital. Kuliah sekarang orientasinya berbeda, tidak bisa hanya dengan single competency," tutur Prof Har.

Dr Nelly menambahkan kurikulum di Binus University kini dipadatkan hingga 2,5 tahun saja untuk mengenyam teori. Selebihnya di semester 6-7, mahasiswa wajib menjalani Enrichment Program dengan berbagai pilihan seperti magang, community development, entrepreneur yang akan dimasukkan inkubator bisnis dan mentoring dan sebagainya.

"Kalau sekarang namanya itu MBKM (Merdeka Belajar Kampus Merdeka), Binus sudah mulai duluan. Nanti di semester 7-8, mereka harus membuat tugas akhir yang in-line dengan tugas mereka di Enrichment Program," jelas Nelly. n erc/jk/bbc/sky/rmc

Editor : Moch Ilham

Tag :

BERITA TERBARU