SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Rabu besok (5/2), pengusaha hiburan malam, Ivan Sugianto, mulai diadili di Pengadilan Negeri Surabaya.
Pengusaha tempat hiburan malam asal Surabaya, itu ditangkap polisi karena memaksa seorang siswa SMK menggonggong dan bersujud di depannya. Hoowww, tega juga. Penangkapan terjadi Kamis, 14 November 2024, sekitar pukul 16.00 WIB, di Bandara Juanda Surabaya.
Baca Juga: Wartawan Memeras, "Paparazi" yang tidak Bersertifikasi
Asal usul kejadian, Ivan mendapat kabar anaknya diejek kemudian mencari dan melabrak EN, siswa SMAK Gloria 2, yang mengejek anaknya, pada Senin, 10 Oktober 2024 sore. EN, disuruh menggonggong di depannya.
Dalam video yang beredar, Ivan dengan nada marah meminta EN untuk bersujud meminta maaf sambil menggonggong didampingi orang tuanya.
Penangkapan Ivan berawal dari viral sebuah video yang berisi tentang percekcokan antara seorang pria dewasa dan anak sekolah berdurasi satu menit empat detik di media sosial.
Besok, rencananya, Ivan didakwa Jaksa Penuntut dengan Pasal 80 ayat (1) Juncto Pasal 76 C UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak serta Pasal 335 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal 80 ayat (1) UU Perlindungan Anak: "Pelaku kekerasan terhadap anak dapat dipidana penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat 3 tahun. Pelaku juga dapat dikenakan denda paling banyak Rp300 juta. "
Definisi anak menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 adalah "Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan."
Definisi kekerasan menurut Pasal 1 angka 15 a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU No.35/2014), yaitu:
"Kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap Anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaraan, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum."
Jaksa tampak menggunakan pasal pidana tertinggi pada terdakwa Ivan Sugianto.
*
Dikutip dari akun
https://ugm.ac.id, 2 April 2024,
Baca Juga: Contempt of Court, Cabut "Nyawa" Dua Advokat
Psikolog Klinis dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM, Dr. Indria Laksmi Gamayanti, mengomentari maraknya fenomena kasus kekerasan pada anak belakangan ini, Selasa (2/4), di Kampus UGM.
Gamayanti menyebutkan ada tiga macam bentuk kekerasan pada anak, yaitu kekerasan fisik, kekerasan emosi, dan kekerasan seksual.
Anak bisa alami kekerasan fisik dan kekerasan seksual. Dua kekerasan ini,pasti diikuti dengan kekerasan emosi atau psikis.
Meski begitu, kekerasan yang paling banyak terjadi dan belum banyak disadari adalah kekerasan emosi.
Kondisi di mana anak mendapatkan ujaran kemarahan, kebencian, penghinaan, dan bentuk kekerasan verbal lainnya. Yang sangat disayangkan, pelaku kekerasan yang paling banyak melakukan justru berasal dari orang terdekat anak, khususnya orang tua dalam hal pola asuhnya. “Secara psikologis, pelaku kekerasan cenderung memiliki gangguan kesehatan mental dalam dirinya sendiri. Faktor pemicu dari tendensi tindakan kekerasan pada pelaku juga bermacam-macam, mulai dari kesiapan mental orang tua, kondisi ekonomi, hingga pengalaman kekerasan serupa di masa kecil,” jelasnya.
Orang dewasa yang melakukan kekerasan emosi pada anak umumnya adalah orang-orang yang tidak matang secara emosi. Bahkan mungkin saja orang yang semasa kecilnya juga menerima tindakan kekerasan. Padahal ketika seseorang mengalami kekerasan di masa kecil, maka ada potensi ia akan melakukan kekerasan yang lebih parah ketika beranjak dewasa. “Bayangan masa lampau atau trauma masa kecil orang tua memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk melakukan tindakan kekerasan serupa atau lebih terhadap anaknya,” tutur Gamayanti.
Mengutip dari laman https://bit.ly/Siloam,22 August 2024, Siloam Hospitals Medical Team malah menyoroti dampak kekerasan emosional pada anak sering kali diabaikan. Bahkan tak banyak yang menyadarinya.Padahal, anak korban kekerasan termasuk emosi, berisiko mengalami gangguan kesehatan fisik dan mental, hingga mengalami penurunan kualitas hidup.
Hingga kini kekerasan pada anak menjadi salah satu kasus yang memerlukan perhatian lebih. Kasus kekerasan terhadap anak masih sering ditemukan dalam berbagai bentuk, seperti penyiksaan, penelantaran, hingga kekerasan seksual.
Baca Juga: Tebak "Raja Kecil" Gunakan Logika dan Imajinasi, Bahlil…?
Secara awam, kekerasan emosional memang tidak melukai anak secara fisik, namun perilaku ini akan menyerang mental anak. Bentuk kekerasan emosional cukup beragam, seperti kekerasan verbal yang mencakup berteriak, mengancam, hingga mempermalukan anak.
Selain itu, jarang melakukan kontak fisik, seperti mengelus, memeluk, atau mencium anak juga termasuk dalam kekerasan emosional. Anak yang mengalami perlakukan ini cenderung kehilangan kepercayaan diri, menarik diri dari lingkungan, dan gelisah.
Dampak kekerasan terhadap anak pada aspek psikologis cukup mendalam. Adanya trauma yang berkepanjangan dapat berujung menjadi serangan panik hingga depresi. Hal ini juga bisa memicu timbulnya pikiran-pikiran serta perilaku negatif, seperti penyalahgunaan alkohol, narkoba, hingga penyimpangan seksual.
Dampak seperti itu yang sepertinya tak dipikirkan oleh Ivan.
Makanya, dalam konteks penegakan hukum terhadap terdakwa kekerasan terhadap anak yang secara lex specialis mengacu kepada UU Perlindungan Anak yaitu Pasal 80 ayat (1), Ivan ditahan. EN, diposisikan korban penganiayaan. Tampaknya penggunaan Pasal 80 ayat (1) UU Perlindungan Anak, terhadap Ivan, bukan main main.
tujuan penerapan hak perlindungan kepada anak?
Tujuan pembuat UU menyusun Pasal 80 ayat (1) perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan.
Saya catat, hadirnya UU perlindungan anak untuk mengupayakan agar setiap hak anak tidak dirugikan. Begitu lho Ivan. ([email protected])
Editor : Moch Ilham