Kemayu, Menari Melintasi Gender

author surabayapagi.com

- Pewarta

Minggu, 15 Des 2019 21:05 WIB

Kemayu, Menari Melintasi Gender

Didik Nini Thowok adalah sosok unik. Terlahir sebagai laki-laki, pesonanya justru bersinar ketika memainkan tarian perempuan. Ia menjelajahi feminitas sejak kanak-kanak. Saat kecil ia tumbuh sebagai bocah kemayu dan sering diolok-olok temannya. Kontributor SurabayaPagi, Putri SURABAYAPAGI.COM, -Nama lengkapnya Didik Hadiprayitno. Ia lahir di Temanggung, 13 November 1954 dengan nama asli Kwee Tjoen Lian. Ayahnya peranakan Tionghoa-Temanggung bernama Kwee Yoe Tiang. Ibunya, Suminah, seorang perempuan Jawa asal Cilacap, Jawa Tenggah. Saat kecil, Didik sakit-sakitan sehingga namanya pun berubah menjadi Kwee Tjoen An. Dalam bahasa Tionghoa, An bermakna selamat. Saat menjadi mahasiswa di ASTI, ia pun dikenal dengan nama Didik Nini Thowok diambil dari nama salah satu tokoh di pementasan yang ia perankan saat itu. Sejak usia belia, Didik dikenal sebagai bocah klemak-klemek dan kemayu di sekolah. Tubuhnya kecil dengan gerak-gerik kalem seperti tak bertenaga. Ia sering jadi sasaran olok-olok temannya. Bahkan di SMA, ketika teman-teman laki-laki hobi berkelahi, Didik memilih melipir dan bergaul dengan teman perempuan.Kini usianya sudah 65 tahun. Didik telah menciptakan lebih dari seratus tarian. Bermula dari Tengkorak Tandak, sebuah tarian kreasi yang ia buat saat meraih gelar Sarjana muda di Akademi Seni Tari Indonesia, Yogyakarta, pada 1977. Tarian pertama yang ia mainkan adalah Gambiranom. Tarian klasik gaya Surakarta itu ia pelajari dari Sumiyati, seorang pengajar tari di kampungnya, Temanggung, Jawa Tengah dan sejak saat itu ia bertekad mengabdikan diri untuk dunia tari. Di bangku Sekolah Rakyat (kini SD), Didik dikenal sebagai siswa yang piawai melukis.Tapi sejak mengenal tarian Gambiranom yang sekaligus menadi tarian pertamanya ia menjadi bertekad untuk megabdikan diri untuk dunia tari. Didi tak ragu belajar dari siapapun karea menurut cerita Guru tarinya merentang dari maestro hingga tukang cukur. Banyak tarian ia pelajari. Baik yang berkarakter lelaki maupun perempuan. Ia menguasai tari Kelana dan Lawung yang gagah, juga lakon wayang wong berkarakter laki-laki. Tapi hasilnya tak sebagus ketika menari perempuan. Di awal menari karakter perempuan, Didik pun tak lepas dari cemooh. Jengkel, tentu saja. Tapi justru kemampuan tarinya semakin melejit. Celaan orang-orang itu menjadi cambuk yang menyemangatinya belajar lebih tekun tentang tari perempuan. Setumpuk penghargaan pernah diraihnyadan dia juga telah memiliki sanggar bernama Sanggar Tari Natya Lakshita, Yogyakarta, sanggar tari yang ia dirikan pada 2 Februari 1980. Didik sendiri juga telah mengabadikan 800 kaset dalam bentuk digital yang merekam sejarah perjalanan karirnya sejak tahun 1990-an. Karir didi mulai naik Pada awal dekade 1980, Sampai-sampai pada 1982, ia dinobatkan sebagai pria terpopuler se-Daerah Istimewa Yogyakarta. Dan pada 1985, ia memulai lawatan ke Eropa. Ini sekaligus pementasan pertamanya di luar Indonesia. Ia mengunjungi Belgia, Perancis, Belanda dan Inggris. Di tiap kota yang disinggahi, ia mementaskan beragam tarian tradisional Indonesia dan menggelar workshop tari. Pada 2001, sepulang dari Jepang, Didik mengawinkan dua kisah dalam satu tari, yaitu Bedaya Hagoromo dan Pada Desember 2014, Bedaya Hagoromo dipentaskan di Bangsal Kepatihan. Didik mempersembahkan secara khusus pada Sultan Hamengku Buwono X. Selama 43 tahun, sejak ia menginjakkan kaki di Yogyakarta, inilah capaian yang paling berharga baginya. "Saya bisa berbuat sesuatu untuk dipersembahkan pada raja," katanya.

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU