Naik 10%, Ekspor CPO Diprediksi Anjlok Akibat Banyak Tekanan

author surabayapagi.com

- Pewarta

Rabu, 07 Agu 2019 19:09 WIB

Naik 10%, Ekspor CPO Diprediksi Anjlok Akibat Banyak Tekanan

SURABAYAPAGI.com - Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) memperkirakan ekspor minyak sawit mulai dari crude palm oil (CPO) dan turunannya, biodiesel dan oleochemical berpotensi menurun tahun ini meski di semester I kinerja ekspor minyak sawit tercatat tumbuh 10%. Potensi penurunan tersebut disebabkan tekanan yang berasal dari berbagai negara tujuan ekspor Indonesia. Misal tekanan dari Uni Eropa terkait tuduhan subsidi untuk produk biodiesel, juga penurunan ekspor ke India karena tarif bea masuk yang tak bersaing dengan Malaysia. Direktur Eksekutif GAPKI Mukti Sardjono menyebutkan volume ekspor CPO dan produk turunannya pada semester I 2019 naik menjadi 16,84 juta ton dan periode yang sama tahun 2018 sebesar 1 5,30 juta ton. Kenaikan volume ekspor ini seharusnya masih bisa digenjot Iebih tinggi lagi, akan tetapi karena beberapa hambatan perdagangan membuat kinerja ekspor tidak maksimal, kata Mukti melalui keterangan resmi diterima di Jakarta, Selasa. Sementara itu, volume ekspor khusus CPO dan turunannya (tidak termasuk biodiesel dan oleochemical) semester I 2019 hanya mampu terkerek 7,6 persen atau dan 14,16 juta ton pada Januari--Juni 2018 naik menjadi 15,24 juta ton pada 2019. Mukti menilai kinerja ekspor minyak sawit Indonesia tidak tumbuh secara maksimal karena dinamika di pasar global, khususnya di negara tujuan utama ekspor seperti India, Uni Eropa, China, dan Amerika Serikat. Di India, Indonesia kalah bersaing dengan Malaysia khususnya untuk refined products, di mana bea masuk dan Indonesia lebih tinggi daripada Malaysia dengan selisih 9 persen. Tarif bea refined products dan Malaysia adalah 45 persen dan dan Indonesia tarif yang bertaku 54 persen. Kendati demikian, Target untuk memasok 20 persen dari total impor CPO Argentina dinilai cukup realistis jika melihat potensi perdagangan kedua negara. "Banyak potensi perdagangan antara kedua negara yang belum kita manfaatkan untuk ekspor, istilahnya untapped potential-nya tinggi. Potensi untuk meningkatkan ekspor CPO ke Argentina tergolong tinggi dan 20 persen itu sebetulnya angka yang tidak terlalu agresif bila kita menghitung ekspor CPO dan turunannya," kata Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani mengutip Bisnis, Rabu (7/8/2019). Shinta mencatat sepanjang 2018, nilai transaksi impor CPO asal Indonesia yang dilakukan Argentina baru menyentuh angka US$2 juta. Padahal, total impor minyak nabat negara tersebut tahun lalu mencapai angka US$92,5 juta. "Sebenarnya masih banyak ruang untuk tumbuh. Apalagi jika kita menargetkan untuk mengekspor produk-produk turunan CPO seperti sabun, kosmetik, fatty acid, produk oleochemical, dan lainnya," papar Shinta. Opsi ekspor produk turunan ini, lanjut Shinta, merupakan celah yang bisa digunakan Indonesia untuk menyiasati kemungkinan pengenaan hambatan perdagangan. Pasalnya, minyak nabati asal kelapa sawit yang diproduksi Indonesia merupakan pesaing langsung bagi Argentina dan sejumlah negara Amerika Latin lainnya yang juga memproduksi produk serupa. Untuk Argentina, negara tersebut tercatat mengekspor minyak nabati dengan nilai US$3,9 miliar ke seluruh dunia pada 2018, lebih rendah dibanding Indonesia yang menorehkan angka US$17,89 miliar lewat ekspor CPO. Terkait permasalahan daya saing, Shinta mengutarakan Indonesia perlu memastikan produk kelapa sawit dalam negeri bisa dihasilkan seefisien mungkin, terutama dalam hal transportasi sehingga ke depannya bisa bersaing dengan minyak nabati lokal. "Indonesia dan Argentina sama-sama terkena tuduhan dumping dari Uni Eropa untuk biodiesel. Negara tersebut juga gudang jagung dunia yang juga diolah menjadi minyak nabati dan biofuel yang diekspor ke berbagai negara. Kuncinya, CPO kita harus bisa bersaing dengan produk mereka," ujarnya. Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki) Joko Supriyono menilai realisasi perluasan ekspor CPO ke Argentina memiliki potensi yang kecil mengingat jarak negara tersebut yang terlampau jauh dibanding mitra tradisional lainnya. Selain itu, dari segi persaingan Joko berpendapat CPO Indonesia masih sulit bersaing dengan minyak kedelai yang diproduksi negara Amerika Latin. Indonesia pun ia sebut perlu menganalisis pasar Argentina terlebih dahulu jika menargetkan perluasan ekspor. "Jarak Indonesia ke sana terlalu jauh dan kalah kompetitif dibanding minyak kedelai asal Amerika Latin. Kalau sesama sawit kita juga kalah dibanding Kolombia," tutur Joko.

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU