Catatan Wartawan Muda Surabaya Pagi, Raditya Mohammer Khadaffi
HINGGA hari ke 21 pelaksanaan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Surabaya Raya, masih menempatkan Surabaya, Sidoarjo dan Gresik, teratas dalam kasus positif virus Corona (Covid-19). Bahkan, zona merah di Surabaya dan Sidoarjo, pun sudah sangat pekat. Surabaya sudah menembus angka 1.059 kasus positif Covid-19. Sidoarjo pun 285 kasus positf, disusul Gresik yang masih 51 region
Baca Juga: Tren Covid-19 Naik, Tapi tak Timbulkan Kematian
Apalagi, bila secara regional, Jawa Timur menjadi episentrum terbesar kedua setelah DKI, yang raihannya sudah menembus angka 2.152. Sudah seperti perebutan perolehan medali dalam Pekan Olahraga Nasional (PON), dimana DKI, Jawa Timur dan Jawa Barat kerap bersanding. Ada apa?
Surabaya, sebagai kota Metropolitan, harus segera berbenah dalam penanganan Covid-19. Buktinya, hingga Minggu (17/5/2020) saja, Surabaya terkesan tidak menjalankan PSBB. Apalagi, sejak awal Mei 2020, dari pernyataan Wali Kota Risma, dia sudah ada klaster-klaster penyebaran Covid-19. Namun, sayangnya, tindakan tegas, terkesan masih hanya dikulit luarnya saja. Tak heran Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, “kecewa”.
Khofifah sempat mengingatkan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, agar untuk proaktif dalam menangani beberapa klaster. Saya masih ingat, dua pemimpin wanita ini saling “serang” dan “bantah” saat klaster Sampoerna mencuat di permukaan.
Pasalnya, pabrik rokok HM Sampoerna, yang memiliki ribuan karyawan, ditemukan 63 karyawan Sampoerna positif Covid-19. Saat itu, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa langsung menuding Pemkot Surabaya lelet dan lamban dalam menangani kasus tersebut. Khofifah menyebutkan, kasus itu telah dilaporkan oleh pihak pabrik ke Dinas Kesehatan Surabaya pada 14 April 2020. Tepat saat dua karyawannya meninggal dunia.
"Mungkin tidak detil informasinya. Jika laporannya detil mungkin akan melalukan respons cepat," kata Khofifah dalam keterangan pers Jumat malam 1 Mei 2020. Merasa “diserang” oleh Khofifah, Wali Kota Surabaya Risma, melalui Kepala Dinas Kominfo Pemkot Surabaya M Fikser, membantah serangan Pemprov itu. Fikser mengatakan, pemkot Surabaya tak pernah main-main dalam menangani pandemi ini, termasuk kasus di pabrik Sampoerna.
"Pemerintah kota tidak pernah terlambat, Ibu Gubenur (Jawa Timur) tidak benar. Awal mulanya pada tanggal 2 April yang bersangkutan itu sakit dan berobat ke klinik perusahaan," kata Fikser berapi-api, sehari setelah “Ibuke arek-arek” (istilah yang disematkan kepada Walikota Risma) diserang Khofifah.
Tepatnya Sabtu, 2 Mei 2020. Gaya bantahan Fikser itu dengan ciri khas pria yang pernah menjadi Camat di Sukolilo, yakni gaya khas Surabaya, tanpa tedeng aling-aling. Semua orang tahu, bahwa Fikser adalah orang yang dipercaya Wali kota Risma, sejak dirinya menjadi Kabag Humas Pemkot Surabaya. Artinya, seluruh jajaran di Pemkot Surabaya, tak ingin Wali Kota Risma mendapat “serangan” dan “kritikan” apapun dari pihak luar.
Bahkan, saya melihat, Pemkot Surabaya sendiri terkesan, membangun citra dengan berbagai cara untuk membuat citra Risma jelang akhir jabatannya, bisa smooth, tanpa cela, dan selalu baik dimata masyarakat tanpa cacat.
***
Tampaknya “Serangan” Khofifah awal Mei 2020, bila ditarik jauh kebelakang pada Juni 2018, atau lebih tepatnya, jelang-jelang Pemilihan Gubernur Jawa Timur.
Ada benang merah dengan “serangan” Wali Kota Risma saat pilgub. Saat itu, Risma menyebut, kalau Khofifah, (masih menjadi Mensos dan masih calon Gubernur Jatim), keminter. Hal itu diucapkan Risma saat sahur bersama relawan pasangan Gus Ipul – Puti Guntur, yang kalah menghadapi Khofifah-Emil dalam Pilgu 2018 lalu.
"Pilih pemimpin yang mau mendengar suara rakyatnya, bukan yang keminter, yang tidak pernah mau mendengar aspirasi rakyat," kata Risma, 10 Juni 2018 lalu. Risma, saat itu, melihat, pasangan Gus Ipul - Puti adalah pasangan yang tidak keminter, dilihat dari program-program pembangunan yang ditawarkan.
"Insya Allah, Gus Ipul dan Mbak Puti ini amanah dan mau mendengar aspirasi rakyat Jawa Timur," ucapnya. Namun, kenyataannya, pasangan yang dijagokan Risma keok juga.
Baca Juga: Covid-19 di Indonesia Naik, Ayo Masker Lagi
Nah, sebagai wartawan muda, melihat peta politik di tengah Pandemi Covid-19 ini, kesan “saling serang” Khofifah-Risma ini bisa jadi keduanya adalah pejabat politik, yang mempersiapkan jelang Pilkada Surabaya, Desember 2020 mendatang. Apalagi dalam pengamatan saya, klan Risma di kota Surabaya, terlihat masih kuat. Nah, saking kuatnya, bisa jadi Risma tak ingin pemerintah kota Surabaya jatuh diluar klan Risma dan PDIP. Calon kuatnya di luar PDIP, yah hanya Irjen Pol (Purn) Machfud Arifin, yang kini lebih agresif menyapa warga kota. Mantan Kapolda Jatim ini hingga Mei 2020 sudah didukung tujuh partai besar yakni Partai Gerindra, PKB, PPP, Nasdem, Partai Demokrat, Partai Golkar serta PAN.
Bahkan, Partai PKS sendiri sudah ancang-ancang merapat ke Machfud Arifin. Sementara, dari klan Risma, dengan partai pengusung PDIP, dipastikan akan mempertaruhkan singgasana dan reputasinya untuk ‘sang putra mahkota’ yang sudah sejak lama disiapkan, Eri Cahyadi. Ini yang akan digacokan Risma melalui “tiket super ekspress”.
Pasalnya, sejak menjadi Kepala Bina Program, Eri Cahyadi, sudah menjadi “anak emas” Risma. Terbukti, karirnya sangat melejit. Bahkan, selepas Kepala Bina Program Pemkot Surabaya, Eri sempat menjabat Plt Kepala Dinas paling lama di Pemkot Surabaya. Yakni Plt Kepala Perumahan Rakyat dan kawasan Permukiman, Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang kota Surabaya.
Meski di dalam birokrat Pemkot, Eri cukup populer. Namun, di kalangan warga Surabaya, masih belum banyak dikenal. Tetapi, masa pandemi Covid-19 ini, Eri, Ketua Bappeko Surabaya, sangat gencar turun hingga ke RT-RW. Bahkan tak tanggung-tanggung, sering menempelkan gambar-gambar wajahnya di kantong-kantong bantuan sosial baik di karung beras, daging ayam. Tujuannya satu, agar Eri bisa dikenal warganya. Meski Eri sempat membantah itu bukan dilakukan dirinya, tetapi para relawannya.
Bukan tidak mungkin, relawan Eri Cahyadi (sebutannya) sudah diskenario oleh klan Risma untuk memperkuat kekuatan klan Risma. Memang, secara fakta, Eri tidak mendaftar melalui jalur pendaftaran PDIP. Akan tetapi, Eri pasti mendapat jaminan Risma. Eri mungkin akan dapat rekom dari Ketua Umum PDIP Megawati Soerkarnoputri untuk melawan Machfud Arifin, yang sama-sama pernah membantu kemenangan Presiden Jokowi di wilayah Jawa Timur..
***
Atas dasar itu, Khofifah sepertinya punya celah untuk mengambil alih Surabaya dari klan Risma yang sudah mendarah daging selama 10 tahun. Khofifah sendiri terkesan ingin menempatkan “pion-pion”-nya di dalam wilayah pemerintahan kota Surabaya. Tak hanya agar selama menjadi Gubernur Jatim, orang nomor satu di Jawa Timur ini bisa lancar dalam mengatur “kekuasaan” baik di Jatim dan Surabaya, yang sebagai ‘homebase’ Gedung Negara Grahadi.
Baca Juga: Dokter Paru Mereaksi Jokowi Soal Endemi
Apalagi ada rencana pencalonannya untuk maju menjadi calon Presiden RI tahun 2024. Jadi, peluang Khofifah untuk mendukung Machfud Arifin, dinilai sebagai cara strategi perang untuk menghadapi PDIP yang sudah berkuasa selama 10 tahun di Surabaya. Dari beberapa informasi yang saya dapat, Khofifah ingin menempatkan orang-orangnya untuk mendampingi Machfud Arifin sebagai Wakil Wali Kota Surabaya. Orang paling mencuat, adalah Gus Hans (sapaan KH Zahrul Azhar As’ad). Gus Hans sendiri juga berasal dari Partai Golkar, yang sudah mendukung Machfud Arifin. Selain itu, ini bisa jadi sebagai balas budi Khofifah, yang ikut memenangkannya saat Pilgub Jatim 2018 lalu. Bila benar, ini akan menjadi duet yang tangguh untuk menghadapi klan Risma dari PDIP.
Tampaknya ada banyak cara, apalagi logistik Machfud Arifin, kabarnya kuat dengan dukungan beberapa pengusaha etnis Tionghoa. Dan ini menjadikan celah Khofifah bisa masuk untuk bisa menekan kota Surabaya, sebagai Gubernur Jawa Timur. Bukan tidak mungkin, selama penanganan pandemi Covid-19 di Jawa Timur, Khofifah dan Risma akan terus saling “perang” data penanganan Covid-19. Meski keduanya, sama-sama punya kelemahan, yakni melakukan pengolahan anggaran Covid-19 yang dinilai anggota Dewan, baik Jatim maupun Surabaya, belum tepat sasaran.
***
Nah, bila saya memotret dari sudut pandang wartawan muda, apa yang terjadi antara Khofifah dan Risma, saat ini, teringat hasil penelitian dari seorang jurnalis wanita Amerika Serikat. Adalah mantan jurnalis asal Colorado, Amerika Serikat, Susan Skog. Jurnalis wanita ini menyimpulkan hasil yang tidak menyenangkan tentang penelitiannya terhadap 35 wanita lintas profesi yang telah ia wawancarai selama kariernya. “Penindasan, saling menghalangi dan diskriminasi antar wanita telah membuat banyak wanita justru menjauh dari kesuksesan.
Bayangkan, jika kita saling mendukung, pasti lebih banyak lagi wanita yang sukses saat ini,” tutur Skog, yang memublikasikan penelitiannya tersebut dalam buku Mending the Sisterhood & Ending Women’s Bullying (2015). Dalam situasi penanganan wabah virus corona di Surabaya Raya sekarang ini, Khofifah sebagai Gubernur berpeluang “menindas” Risma yang secara faktual kedodoran memerangi persebaran covid-19 di kota Surabaya, wilayah kekuasaan politiknya.
Adalah wajar saat PSBB di Surabaya Raya, terbaca ada upaya persuasif dari Khofifah “menjatuhkan” wibawa Risma di publik melalui beberapa kali konferensi pers Gugus Tugas Penanganan covid-19 dari Gedung Grahadi . Oleh politisi, momen ini bisa ditarik-tarik seolah ada upaya dari Khofifah membangun kekuatan jelang Pilkada Surabaya, Desember 2020, asal bukan kekuatan Risma lagi yang berkuasa di Surabaya.
Apalagi gaya kepemimpinan Risma, yang kadang terbaca oleh publik sedang mempertahankan kekuatan untuk meraih jabatan walikota Surabaya lagi buat kroninya, jagonya dan anak buahnya di Pemkot Surabaya, Eri Cahyadi. Sampai ada gagasan pansus penanggulangan covid 19 oleh sekelompok politisi muda di DPRD Surabaya. Walahualam. ([email protected])
Editor : Redaksi