SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Semalam saya menonton rekaman siaran TV Rapat Kerja dan Rapat Dengar Pendapat (RPD) antara Komisi IX DPR-RI dengan Menristek (Menteri Riset dan Teknologi), Wamenkes (Wakil Menteri Kesehatan), Kepala BPOM (Badan Pengawasan Obat dan Makanan), inisiator dan peneliti Vaksin Nusantara (VakNus) serta dua profesor bidang kedokteran (ahli vaksin) Prof Amien Soebandrio dan Prof C.A. Nidom (epidemiologist) yang digelar Rabu (10/3/2021).
Saat saya mendengar rekaman Raker dan RPD ini berdurasi selama 11 jam ini, agak ogah. Tapi lima puluh menit pertama rekaman, dialognya menarik. Saya jadi penasaran. Pertama, terkait materi vaksin Covid-19.
Kedua, ada sudut pandang tentang jiwa nasionalisme dari peserta RPD atas dua produk vaksin yaitu nasional dan impor. Ketiga, saya menangkap ada kesan Kepala BPOM, seperti menyimpan sebuah misteri tentang peredaran vaksin impor. Keempat, ada suasana kebathinan menenggelamkan kaidah penelitian dengan alasan administrasi prosedural pelaporan.
Kelima, terjadi forum peradilan oleh wakil rakyat terhadap Kepala BPOM yang diduga tidak transparan, berlaku equel dan tidak independen.
Masalah vaksin covid-19, ternyata, dalam dialog di gedung wakil rakyat Rabu (10/3/2021) saat itu, kepala BPOM Dr. Ir. Penny K. Lukito dan timnya, melihat vaksin Nusantara dari sudut pandang birokrasi, bukan aspek fungsi vaksin Corona untuk memberikan kekebalan dalam tubuh, agar warga tidak terpapar virus Corona.
Kedua, vaksin Sinovac menurut laporan sejumlah warga, belum teruji efektivitasnya. Termasuk testimoni anggota DPR-RI Fraksi PAN Saleh Partaonan Daulay. Saleh menyebut hasil imunogenitasnya hanya 6,8. Berbeda dengan vaksin Nusantara yang imunogenitasnya diatas 20-30.
Atas realita ini ada dokter Indonesia yang pernah menjadi Menteri Kesehatan membuat vaksin Nusantara dengan mengajak peneliti dari Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro dan RSUP dr Kariadi Semarang. Mereka diwadahi mendalami vaksin corona melalui penelitian uji klinis berbasis sel dendritik.
Sampai minggu lalu, ada informasi Kepala BPOM mengganjal lanjutan penelitian uji klinis kedua dengan alasan prosedur dan administrasi.
Ada tudingan Kepala BPOM tidak memiliki nasionalisme untuk mendorong produk dalam negeri berkiprah di negeri sendiri ketimbang vaksin impor.
Kepala BPOM malah mempermudah vaksin impor masuk Indonesia untuk dikonsumsi rakyat Indonesia.
Vaksin impor tanpa diperiksa secara teliti di Indonesia tentang keamanan dan efektivitasnya malah diberi izin penggunaan darurat atau emergency use authorization dengan cepat dan tidak bertele-tele.
Ketiga, misteri peredaran vaksin impor terkesan lebih dimuluskan oleh Kepala BPOM. Padahal vaksin impor yang memperoleh izin penggunaan darurat ini belum jelas hasil uji klinis tahap III yang konon dilakukan di Bandung.
BPOM tidak transparan menjelaskan uji klinis vaksin produk China di Bandung. Pertanyaannya uji klinis di Rumah sakit mana? Susunan tim peneliti, jumlah sukarelawan vaksin dan waktunya uji klinisnya?.
***
Saya pernah bertanya pada seorang dokter senior penyakit dalam di Surabaya. Pertanyaan saya untuk menentukan suatu obat atau vaksin itu efektif atau tidak, uji klinis seperti apa yang dibutuhkan ?
Kata dokter yang juga dosen di Fakultas Kedokteran Unair, suatu obat atau vaksin umumnya melalui 4 uji klinis sampai tahap 4 atau istilah uji klinisnya post marketing surveillance. Masing-masing fase biasanya ditandai dengan jumlah populasi.
Sementara Uji klinis fase 2, sampel biasanya diatas 100 orang. Dan terkadang case series / randomized. Hal ini untuk mengetahui efek samping obat atau vaksin. Artinya ada tidak manfaatnya untuk terapi tertentu.
Baca Juga: Prof Terawan: Pendapat Profesor Diluar Keahlian saya, Bisa Menyesatkan
Kemudian uji klinis fase 3 melibatkan lebih dari seribu bahkan sampelnya ribuan orang.
Berdasarkan jawaban dokter ini sinyalemen Kepala BPOM “mengganjal” uji klinis vaksin tahap dua ini, sepertinya tidak beralasan samasekali.
Apalagi mendengar laporan dari akademisi Fakultas Kedokteran Undip dan peneliti Vaksin Nusantara, dr. Yetty Movieta Nency SPAK yang menyebut uji klinis fase I merupakan tahapan keamanan terhadap 27 relawan.
"Alhamdulillah dari 27 subyek, 20 keluhan ringan. Ada keluhan sistemik seperti pusing, demam, menggigil dan keluhan lokal seperti merah, nyeri, gatal pada tempat suntikan. Namun sudah membaik sendiri tanpa obat dan tidak perlu ke dokter. Sama kayak vaksin lain," katanya di RSUP dr. Kariadi Semarang, Rabu (17/2/2021).
Yetty bahkan mengungkapkan, efektivitas dari hasil pemeriksaan uji klinis fase I telah didapatkan peningkatan antibodi yang baik pada populasi minggu ke-4. Akal sehat orang waras, akan bertanya alasan substantif apa sehingga BPOM tidak memberi ijin uji klinis tahap kedua kepada tim peneliti vaksin Nusantara?
Apakah Kepala BPOM mengandalkan kewenangan saja tanpa menggunakan akal sehat tentang substansi penelitian sebuah vaksin di Indonesia yang baru pertama dilakukan oleh anak bangsa menggunakan dana APBN?
Apakah Kepala BPOM lupa hakikat sebuah penelitian kualitatif seperti uji klinis tahap satu vaksin nusantara?. Literasi yang saya bac penelitian merupakan suatu strategi inquiri yang menekankan pencarian makna, pengertian, konsep, karakteristik, gejala, simbol maupun deskripsi tentang suatu fenomena; fokus dan multimetoda, bersifat alami dan holistik; mengutamakan kualitas, menggunakan beberapa cara, serta disajikan secara naratif. Dari sisi lain dan secara sederhana dapat dikatakan bahwa tujuan penelitian kualitatif adalah untuk menemukan jawaban terhadap suatu fenomena atau pertanyaan melalui aplikasi prosedur ilmiah secara sistematis dengan menggunakan pendekatan kualitatif (Yusuf, 2013: 334).
Mengapa Kepala BPOM tidak konsisten menggunakan kaidah penelitian ini? Ada apa kaidah penelitian ditabrakan pada hal-hal yang bersifat administratif prosedural?
Apakah Kepala BPOM lupa bahwa uji klinis tahap kedua II ini baru menentukan keamanan plus efektivitas yang belum terlalu detail? Bukankah hakikat uji klinis tahap satu terkait keamanan relawan. Realitanya semua 27 relawan sehat semua dan tidak ada yang sampai meninggal dunia?
Baca Juga: Produksi Vaksin Nusantara, Bentuk Manajemen Efisiensi dengan AS
Apakah Kepala BPOM menutup mata pada nilai ilmiah bahwa penentuan dosis baru diketahui pada uji klinis fase III yang akan dilakukan kepada 1.600 orang.
***
Setelah mendengar rekaman video RDP tadi, akal sehat saya memahami bila Kepala BPOM “diadili” secara terbuka di gedung DPR-RI Senayan Jakarta oleh wakil rakyat di komisi IX DPR-RI. Dari rekaman sejak awal sampai pembacaan kesimpulan Raker dan RPD, tidak satupun anggota fraksi di Komisi IX DPR-RI yang membela kepentingan Kapala BPOM?
Membaca jurnal ilmiah internasional The Lancet Infectious Disease pada 17 November lalu, ada uji klinis tahap 1 dan dua vaksin Sinovac buatan perusahaan farmasi China.
CoronaVac ini dilaporkan menghasilkan antibodi penetral yang lebih rendah dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh plasma konvalesens pasien yang sembuh Covid-19. Apakah Kepala BPOM tidak membaca jurnal ini, sehingga dalam waktu singkat setelah vaksin Sinovac datang di Indonesia berani mengeluarkan izin penggunaan darurat atau emergency use authorization vaksin COVID-19 Sinovac. Artinya, pemberian EUA ini hanya dua hari sebelum vaksinasi COVID-19 serentak dilakukan di Indonesia, yakni 13 Januari 2021.
Mencermati jalannya tanya jawab yang cenderung seperti sebuah peradilan terhadap Kepala BPOM, ada nuansa pejabat BPOM ini berkelit pada hal -hal yang bersifat administratif prosedural. Padahal semua fraksi di Komisi IX DPR-RI menanyakan substansi penelitian vaksin setelah uji klinis tahap satu rampung adalah uji klinis tahap dua, karena uji klinis tahap satu dinyatakan aman. Bahkan dalam RDP ditanyakan perbedaan perlakuan penelitian vaksin merah putih yang belum pra uji klinis sudah diberi scedule tahapan-tahapan dan percepatan. Ada apa izin pelaksanaan tahapan uji klinis tahap satu ke tahap dua vaksin nusantara alot dan cenderung diganjal dari alasan substantif ke administrasi prosedural.
Sebagai pejabat publik yang punya kemandirian, akal sehat saya berkata Kepala BPOM bisa menerapkan pelaksanaan diskresi. Ini bila tidak ada kepentingan bisnis vaksin. Mengingat diskresi merupakan salah satu hak pejabat administrasi negara dalam menjalankan tugasnya.
Dalam kebijakan publik, pelaksanaan diskresi bisa dijalankan Kepala BPOM sepanjang memenuhi persyaratan tertentu sesuai dengan Pasal 22 Undang-Undang 30 Tahun 2014, yaitu melancarkan penyelenggaraan pemerintahan, memberikan kepastian hukum, dan mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum. Nah, apalagi ini masa pandemi. Rakyat butuh vaksin berkualitas dan murah. Apalagi vaksin ini dibuat anak bangsa dan dapat dipertanggungjawabkan efektivitasnya. Salah satu manfaat vaksin memberikan kekebalan pada tubuh. Dr. Terawan, dengan sejumlah kesuksesan melakukan penyembuhan ribuan pasien stroke adalah inisiator penelitian vaksin nusantara. Mantan Kepala RSAD Gatot Subroto ini punya tanggungjawab sosial dan kemanusiaan. ([email protected], bersambung)
Editor : Moch Ilham