Utang Pemerintah Tembus 7.000 Triliun, Pajak dan BBM Dinaikan, Rakyak Merasa Dipalak Pemerintah

author surabayapagi.com

- Pewarta

Minggu, 03 Apr 2022 12:04 WIB

Utang Pemerintah Tembus 7.000 Triliun, Pajak dan BBM Dinaikan, Rakyak Merasa Dipalak Pemerintah

i

Presiden Joko Widodo/ Doc.SP

 

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Utang negara di era kedua pemerintahan Joko Widodo terus naik secara eksponensial. Bahkan eskalasinya hampir mencapai Rp100 triliun dalam 1 bulan.

Baca Juga: Raih Penghargaan dari Presiden, Bobby Bantah Karena Status Menantu Jokowi

Dinukil dari laman APBN KiTa Kementerian Keuangan, per 28 Februari 2022, utang pemerintah sudah menembus angka Rp 7.014,58 triliun.

Utang ini bila dibandingkan dengan bulan sebelumnya atau per 31 Januari 2022 naik cukup tinggi. Di bulan Januari 2021, utang Indonesia berada diangka Rp 6.919,15 triliun.

Dengan kata lain, dalam rentan waktu sebulan, utang negara sudah bertambah sebesar Rp 95,43 triliun. Tak hanya itu, jumlah ini juga merupakan rekor baru dalam sejarah utang Indonesia, yakni menembus level di atas Rp 7.000 triliun.

Masyarakat Merasa Dipalak

Naiknya utang ke level 7.014,58 triliun ini mendapat sejumlah komentar negatif dari masyarakat. Surabaya Pagi secara acak menanyakan ke masyarakat Surabaya terkait kenaikan utang Indonesia.

Fathur, warga Wonorejo Rungkut saat ditanyai tentang utang negara merasa kaget dengan jumlah tersebut. 

Ia pun berasumsi bahwa adanya kenaikan pajak PPN 11% dan pertamax ke harga 12.500 merupakan cara pemerintah untuk membayar utang yang kian membengkak itu.

"Wah kalau kayak gini namanya kita dipalak mas. Yang utang pemerintah, yang disuruh bayar rakyat," kata Fathur kepada Surabaya Pagi, Minggu (03/04/2022).

Warga lain seperti Poniman juga menyampaikan kekesalannya akan utang negara yang tinggi ini. Pria yang saban hari berjualan di SWK Wonorejo ini justru mempertanyakan kemana aliran dana utang tersebut.

"Kalau utang banyak tapi rakyat sejahtera, kita maklumi. Tapi sekarang apa coba, sudah utangnya banyak, BBM masih dinaikan. Pajak juga dinaikan. Malah sekarang rame katanya subsidi pertalite mau dicabut. Lah uang yang negara pinjam itu kemana, kok gak pake untuk sejahterahkan rakyat," kata Poniman.

Pria yang juga adalah ketua SWK Wonorejo itu menduga, aliran dana utang pemerintah semuanya dialokasikan kepada mega proyek yang disebutnya proyek ambisius Jokowi yakni pembangunan ibu kota negara (IKN).

"Ya dugaan saya kemana lagi kalau bukan untuk bangun ibu kota baru. Di masa corona seperti sekarang, kok masih mikir pembangunan (IKN). Kesejahtraan rakyat itu yang harus dipikirkan. Sekarang coba lihat, semua barang naik, minyak goreng naik, bbm naik, pajak naik, rakyat kurang sesengsara apa. Coba uang utangan itu dipake buat subsidi, rakyat pasti akan senang. Benar kata mas tadi, kita kayak dipalak negara," katanya kesal.

Pendapatan Aman Negara Masih Utang

Sementara itu pakar ekonomi Universitas Brawijaya Malang Iswan Noor saat dihubungi menyampaikan, asumsi masyarakat bahwa negara menaikan pajak dan BBM untuk membayar utang negara adalah hal yang wajar.

Baca Juga: Gibran Absen di Otoda 2024 Surabaya, Mendagri Tito Bocorkan Alasannya

Menurutnya, cara negara membayar utang adalah dengan menggunakan pendapatan negara. Salah satu penyumbang pendapatan negara adalah pajak. 

"Jadi hemat saya, memang benar kalau masyarakat berasumsi demikian. Dan itu tidak salah mas. Karena pajak dari masyarakat itu akan dipakai untuk membayar utang," kata Iswan Noor kepada Surabaya Pagi.

Dengan menggunakan analogi sederhana, Iswan menjelaskan, utang negara ibarat seorang kepala rumah tangga melakukan pembelian mobil dengan cara kredit. Setiap bulannya, untuk melunasi utang itu diambil dari pendapatannya yaitu gaji.

"Kalau dalam bernegara pendapatannya itu dari pajak. Pajak diambil dari mana, ya dari masyarakat. Jadi semakin tinggi utang, semakin tinggi pula pajak yang ditarik dari masyarakat," katanya.

Secara umum, utang merupakan cara pemerintah dalam menutup kekurangan pendapatan. Meski begitu kata Iswan, utang harus dijadikan sebagai opsi terakhir yang ditempuh ketika penerimaan negara benar-benar tengah mengalami tekanan.

Anehnya, selama 2 bulan terakhir ini trend pendapatan negara terbilang positif. Data dari Kemenkeu menunjukan, pendapatan negara per Januari 2022 mencapai Rp156 triliun atau 8,5 persen dari target APBN.

Pendapatan negara kemudian naik tajam di bulan Februari 2022. Masih dari Kemenkeu, per Februari 2022, realisasi pendapatan negara dan hibah tercatat mencapai Rp302,42 triliun atau 16,38% dari target APBN 2022. 

Angka ini bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya terbilang sangat tinggi. Bahkan Kemenkeu mencatat, pendapatan Rp156 triliun di bulan Januari melonjak tajam atau tumbuh 54,9% bila dibandingkan dengan periode sama tahun 2020 yang jumlahnya Rp100,7 triliun.

Baca Juga: Gibran dan Bobby Nasution Dijadwal Hadir di Otoda 2024, Pemkot Surabaya Perketat Keamanan

"Boleh berutang mas, tapi selama pendapatannya cukup kenapa harus utang. Bisa dicek data kemenkeu, pendapatan kita positif kok. Ibaratnya gini, kalau sampean punya uang 150 juta mau beli mobil yang harga 100 juta, sampean langsung bayar atau utang. Ya langsung bayar, uangnya cukup kok. Kan gitu, ini kok pendapatan katanya surplus, tapi utang jalan terus," katanya.

Alokasi Belanja Masih untuk Birokrasi

Lebih lanjut Iswan menjelaskan, selama ini pos alokasi anggaran belanja pemerintah masih berfokus pada birokrasi atau tidak pada kesejahteraan masyarakat.

"Nanti bisa dicek datanya, Porsi belanja pemerintah pusat itu masih lebih banyak pada birokrasi seperti belanja pegawai, belanja barang bahkan belanja bunga utang sendiri menempati pos teratas," katanya.

"Nah ini yang akhirnya jadi masalah. Karena saat utang naik, pajak naik, masyarakat dituntut untuk bayar pajak, untuk tambah pendapatan negara. Tapi dana utang ataupun pendapatan yang terkumpul tadi tidak dikembalikan 100% kepada masyarakat, malah dikasih untuk belanja yang tidak penting, seperti belanja gorden itu yang sampe miliaran itu. Ya otomatis marahlah masyarakat," tambahnya.

Merujuk data dari Kemenkeu, belanja negara pada tahun 2022 dialokasikan sebesar Rp2.714,2 triliun. Jumlah ini terdiri atas Belanja Kementerian atau Lembaga (K/L) sebesar Rp945,8 triliun dan Belanja Non-K/L sebesar Rp998,8 triliun. Sementara untuk Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) sebesar Rp769.613,5 miliar.

Lebih lanjut untuk alokasi belanja K/L masih didominasi dengan belanja pegawai yang mencapai Rp 400 triliun. Belanja pegawai tersebut meliputi pembayaran gaji dan tunjangan serta pemenuhan kebutuhan utama birokrasi. (Sem)

Editor : Redaksi

BERITA TERBARU