Menkeu Sewot, Dijuluki Menteri Utang Melulu

author surabayapagi.com

- Pewarta

Jumat, 21 Jul 2023 19:09 WIB

Menkeu Sewot, Dijuluki Menteri Utang Melulu

i

Menteri Keuangan, Sri Mulyani saat menjadi pembicara di acara Indonesia Data and Economic (IDE) Conference 2023 di salah satu hotel di Jakarta, Kamis (20/7/2023).

Pemerintahan Joko Widodo akan Tercatat Dalam Sejarah Indonesia Rezim Paling Doyan Utang Mencapai Rp7.879 triliun, per Maret 2023

 

Baca Juga: Kelas Menengah Disupport luran Kesehatan

SURABAYAPAGI.COM, Jakarta – Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani baru-baru ini mengungkapkan dirinya kerap dijuluki menteri yang suka berhutang. Bahkan, di era pemerintahan Joko Widodo, disebut-sebut, hutang RI makin besar.

"Kalau di ruangan ini Anda cuma bilang wah ini Bu Menteri Keuangan utang melulu, Anda udah ketinggalan kereta jauh banget! Karena sekarang itu we are taking about so many choices of instrument menghadapi tantangan yang makin kompleks," ujar Sri Mulyani dalam paparannya di acara IDE Conference 2023, di Hotel Kempinski, Jakarta Pusat, Kamis (20/7/2023).

Penjelasan ini diungkap di depan undangan IDE Conference 2023.  Sri Mulyani Indrawati sewot seringkali dijuluki Menteri Keuangan yang sering berutang. Dia juga memberikan sentilan menohok kepada orang-orang yang sering menyebutnya sebagai Menkeu yang ngutang melulu.

Awalnya, dia menjelaskan selama ini untuk menangani dan mengantisipasi tantangan global, Indonesia butuh dukungan keuangan yang besar. Tantangan perubahan iklim salah satunya.

 

Manajemennya tidak Ugal-ugalan

Sri Mulyani menjamin meskipun instrumen utang masih digunakan pemerintah, manajemennya tidak akan ugal-ugalan. "Utang itu tidak berarti kita kemudian slopy atau ugal-ugalan, oleh karena itu kita harus hati-hati sekali," sebutnya.

Datanya, Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada Mei 2023 turun dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Posisi ULN Indonesia pada akhir Mei 2023 tercatat sebesar US$ 398,3 miliar atau Rp 5.974 triliun (asumsi kurs Rp 15.000/US$ 1), turun dibandingkan ULN akhir April 2023 yang sebesar US$ 403,0 miliar.

Dengan perkembangan tersebut, ULN Indonesia secara tahunan mengalami kontraksi 1,7% (yoy), lebih dalam dibandingkan dengan kontraksi pada bulan sebelumnya sebesar 1,3% (yoy).

Kontraksi pertumbuhan ULN ini terutama bersumber dari penurunan ULN sektor swasta.

 

Ekonomi Dunia Masih Terseok

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan ekonomi dunia saat ini masih terseok-seok. Hal itu ikut membuat pusing para menteri keuangan di seluruh negara-negara G20.

Bahkan menurut Sri Mulyani, menteri-menteri keuangan pada negara G20 wajahnya tidak ada yang gembira bila melakukan pertemuan.

"Menteri Keuangan itu mukanya nggak ada yang gembira kalau ketemu," ujar Sri Mulyani dalam IDE Conference 2023 di Hotel Kempinski, Jakarta Pusat, Kamis (20/7/2023).

 

Gonjang-ganjing Geopolitik

Ekonomi dunia, kata Sri Mulyani, memang mengalami situasi sulit. Ada gonjang-ganjing geopolitik yang kompleks, perang, krisis pangan dan energi, hingga anggaran pemerintah di negara-negara G20 yang berdarah-darah.

"Dunia yang pesimis dunia tidak dalam situasi mudah geopolitik kompleks, ada perang, menimbulkan ada krisis pangan dan energi, APBN di semua negara juga berdarah-darah. Karena fiskalnya negara harus hadir di tengah masyarakat. Mereka defisit besar, rasio utang tinggi banget," ungkap Sri Mulyani.

Sebaliknya, wajah-wajah tidak gembira itu menurut Sri Mulyani mendadak jadi riang setelah mendengar kisah sukses ekonomi Indonesia yang berhasil melakukan konsolidasi fiskal hanya dalam 3 tahun setelah pandemi menerpa. Dalam pertemuan Menteri Keuangan G20 di India, kisah sukses itu diungkap Sri Mulyani.

 

Ekonomi Tumbuh Di atas 5%

Baca Juga: Menkeu Sri Mulyani Warning Presiden Terpilih

Dia memamerkan ekonomi Indonesia sudah berhasil tumbuh tinggi di atas 5% selama 6 kuartal berturut-turut setelah sempat terjun di jurang resesi saat pandemi.

"Dalam situasi ini cerita Indonesia bisa berhasil konsolidasi fiskal hanya dalam waktu kurang 3 tahun, dan konsolidasi cepat dan ekonomi tumbuh di atas 5% in six quartal in a row. Its a good convincing story," ungkap Sri Mulyani.

Dikutip dari keterangan tertulis Bank Indonesia, Senin (17/7/2023), posisi ULN pemerintah pada akhir Mei 2023 tercatat sebesar US$ 192,6 miliar, turun dibandingkan dengan posisi bulan sebelumnya sebesar US$ 194,1 miliar, atau secara tahunan tumbuh 2,3% (yoy).

 

Bantalan Utang oleh Pemerintah

CNBC Indonesia Research mencatat, pemerintahan Joko Widodo akan tercatat dalam sejarah Indonesia sebagai rezim paling doyan utang dengan capaian nominal utang publik atau pemerintah pusat jumbo, mencapai Rp7.879 triliun, Maret 2023, naik 3,2 kali lipat dari awal memerintah pada 2014. Karena itu merupakan utang publik. Artinya, setiap kepala rakyat Indonesia saat ini menanggung utang Rp28,7 juta, naik dari posisi terakhir pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang hanya Rp10 juta per kepala.

Soal utang, prestasi Presiden Jokowi memang terbaik dibandingkan pendahulunya. Dengan posisi Menteri Keuangan yang dijabat oleh orang yang sama, Sri Mulyani. Rezim SBY yang memerintah pada 2004-2014 mampu menekan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) menjadi sekitar 25% di akhir serah terima jabatan presiden pada 2014, dari awal memimpin 57%. Sebaliknya, Jokowi membawa rasio utang publik melonjak ke angka 38% tahun ini.

Salah satu alasan yang sering dijadikan bantalan pemerintah saat ini adalah balada pandemi Covid-19 pada 2020-2021, yang membuat mau tak mau harus berhutang dalam jumlah besar, yang mana hal ini adalah pilihan pil pahit yang dilakukan oleh semua negara. Rasio utang saat itu memang naik dari 30% pada akhir 2019 menjadi 41% pada 2021. Dalam nominal selama dua tahun pandemi, pemerintah menambah utang sebanyak Rp2.145 triliun.

 

Proyek Masif Infrastruktur

Selain pandemi, lonjakan jumbo utang era Jokowi disebabkan oleh proyek masif infrastruktur yang bernilai ribuan triliun rupiah, dimana 30-40% diantaranya dibiayai oleh negara. Sejak 2015 hingga 2022, pemerintahan Jokowi menggelontorkan Rp3.784 triliun untuk membangun infrastruktur, mulai dari jalan tol, bandara, bendungan, pelabuhan, jembatan dan lain sebagainya. Biaya jumbo ini termasuk didalamnya anggaran dana alokasi khusus (DAK) infrastruktur yang disalurkan ke pemerintah daerah.

Pembangunan fisik era Jokowi membuahkan hasil cukup gemilang. Salah satu yang paling menonjol adalah prestasi membangun jalan tol, seperti menyambungkan ujung pulau Jawa via jalan berbayar dan membangun tol di Pulau Sumatera. Hanya saja, untuk urusan pembangunan jalan tidak berbayar prestasi Jokowi kalah dengan pemerintahan SBY, baik jenis jalan nasional yang menjadi tanggungjawab pemerintah pusat, jalan provinsi dan jalan kabupaten/kota yang menjadi tanggungjawab pemda.

Baca Juga: Digadang-gadang Terbesar di Dunia, Sistem Pajak Baru Rilis Akhir Tahun

Sejauh ini, hanya dalam delapan tahun saja Jokowi mampu membangun jalan bebas hambatan berbayar sepanjang 1.697 kilometer, hampir lima kali lipat dibandingkan era SBY dan tiga kali lipat lebih banyak dibandingkan 32 tahun era kepemimpinan Presiden Soeharto. Sementara, untuk urusan jalan tak berbayar, SBY mampu membangun 145 ribu kilometer, baik level nasional hingga kabupaten, atau lima kali lipat era Jokowi. Prestasi membangun jalan biasa SBY hanya kalah tipis dari Soeharto yang sepanjang 159 ribu kilometer.

 

Jusuf Kalla Soroti Bunga

Setiap tahun, pemerintah menghabiskan Rp 250 triliun hingga Rp 400 triliun hanya untuk membayar bunga utangnya saja, dan bila digabung dengan pokok cicilan utang sekitar Rp 500 triliun, maka total duit bayar utang mencapai Rp 900 triliun setiap tahun. Ini hampir separuh dari total penerimaan pajak yang ditargetkan mencapai Rp 2.021 triliun tahun ini. Ini juga mendekati angka Rp 1000 triliun yang dilontarkan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla beberapa waktu lalu, sebagai yang terbesar dalam sejarah republik sejak berdiri.

Salah satu pemicu tingginya cicilan utang, mahalnya bunga utang tidak lepas dari tingginya tingkat imbal hasil atau yield yang diberikan pemerintah kepada pemberi utang, atau investor surat utang negara (SUN). Sebagai acuan, untuk SUN berjatuh tempo 10 tahun, yieldnya mencapai sekitar 6-7%, salah satu yang tertinggi di Asia, atau posisi ketujuh tertinggi di dunia. Imbal hasil yang harus dibayar pemerintah Indonesia, jauh lebih tinggi dibandingkan negara-negara tetangga seperti-untuk tenor surat utang yang sama-Thailand 2-3%, Vietnam 3-4% dan Malaysia 3-4%.

 

Kebocoran 30-40%

Presiden Jokowi adalah 'little Soeharto', paling tidak untuk urusan kebocoran pengelolaan anggaran. Rezim saat ini seperti juga rezim sebelumnya melestarikan kebocoran anggaran  yang pernah disebut Prof Soemitro Djojohadikusumo-Mantan Menkeu era Soeharto bahwa anggaran negara kerap mengalami kebocoran 30-40%. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sekarang bahkan mensinyalir sebanyak 35% anggaran infrastruktur dikorupsi, dalam bentuk fee proyek ke politisi di senayan atau pejabat pemerintah.

Khusus kebocoran ini, era Jokowi relatif lebih parah ditunjukkan oleh korelasi antara output dan biaya, yang tercermin dalam angka pertumbuhan ekonomi versus defisit anggaran. Kendati defisit APBN era Jokowi lebih besar, yang menggambarkan kebijakan ekonomi lebih ekspansif namun angka pertumbuhan PDB lebih rendah dari era SBY. Rata-rata defisit APBN zaman SBY sebesar 1,6% dengan hasil rata-rata PDB tumbuh nyaris 6%, sementara defisit APBN era Jokowi rata-rata 3% tapi hasil pertumbuhan PDB nya di bawah 5% dan bahkan mendekati 4%. Jokowi, masih memiliki paling tidak satu tahun setengah tahun untuk mengejar ketertinggalan hingga 2024, namun tampaknya mustahil mengejar.

Penghuni Gedung Kura-Kura sudah mulai mengkritik pemerintah yang dinilai sudah terjebak dalam praktik gali lobang tutup lubang untuk menyambung hidup. Ini tercermin dari data keseimbangan primer neraca pemerintah. Hal ini mengemuka dalam rapat antara Menkeu Sri Mulyani dengan Badan Anggaran DPR, di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (30/5/2023).

Menkeu menjawab, selama masa Pandemi Covid-19, yaitu 2018-2022, meski pemerintah harus berhutang, namun utang baru yang ditarik pemerintah Indonesia bisa optimal memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi.

Hal seperti itu, kata dia, tidak terjadi di negara-negara lain seperti India, Malaysia, Filipina, Thailand, Amerika Serikat, bahkan dengan China. Tergambar dari naiknya PDB saat pemerintahannya membuat utang baru selama periode itu. Katanya, saat pandemi 2018-2022 pemerintah menarik utang baru US$ 209 miliar, dan di saat yang sama PDB nominal Indonesia mampu naik sebesar US$ 276 miliar. "Jadi setiap 1 dolar menghasilkan 1,34 dolar dalam situasi terjadi shock luar biasa saat hampir semua perekonomian kolaps," tutur dia. Hanya Vietnam yang bisa seperti Indonesia, dan bahkan lebih baik rasionya. n erc/cnbc/erc/rmc

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU