Home / Peristiwa : Minta SEMA Nikah Beda Agama Dicabut

Komnas HAM: Perkawinan Beda Agama Diwadahi UU Administrasi Kependudukan

author surabayapagi.com

- Pewarta

Selasa, 01 Agu 2023 11:40 WIB

Komnas HAM: Perkawinan Beda Agama Diwadahi UU Administrasi Kependudukan

i

Potret pernikahan beda agam di Semarang yang sempat viral di media sosial. (Facebook Achmad Nurcholis)

SURABAYA PAGI, Jakarta - Komnas Perempuan bersuara, tentang nasib perempuan yang menikah beda agama. Stereotip perempuan seperti ini dianggap melakukan zina, perempuan sebagai anak diusir dari rumahnya, dan rentan mengalami kekerasan dari keluarga, seperti memisahkan paksa perempuan dari pasangannya/suami dan anak-anaknya. Selain kekerasan psikis dan ekonomi.

 

Baca Juga: Kumpul Kebo, Beda Agama, Siapa Takut!

"Perkawinan beda agama yang tidak dicatatkan dapat menimbulkan berbagai dampak sosial terhadap anak-anak yang dilahirkan, termasuk kerentanan perempuan menjadi korban KDRT ketika perkawinannya tidak tercatat," ingat Dewi Kanti, dari Komnas Perempuan dalam keterangan pers dikutip dari website Komnas Perempuan, Senin (31/7/2023).

 

Kutip UU Administrasi Kependudukan

Komnas Perempuan mencatat bahwa pengakuan perkawinan warga negara yang berbeda agama telah mendapatkan pengakuan melalui pasal 35 UU No 23 tahun 2006 jo UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan, dengan penjelasannya. Pasal ini menyatakan yang dimaksud dengan 'Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan' adalah perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama.

 

Maka itu, Komnas Perempuan menyatakan keprihatinan atas diterbitkannya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) tentang larangan hakim mengizinkan pernikahan beda agama. Oleh sebab itu, Komnas Perempuan meminta MA mencabut SE itu.

 

SE yang dimaksud yaitu SE Nomor 2 Tahun 2023 Tentang Petunjuk Bagi Hakim Dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat Yang Berbeda Agama dan Kepercayaan.

 

"Komnas Perempuan meminta kepada Mahkamah Agung untuk segera mencabut SEMA No 2 Tahun 2023, karena merupakan kebijakan diskriminatif, mengingat Indonesia sebagai negara kesatuan memiliki keragaman suku bangsa, budaya, tradisi, termasuk agama, yang dilambangkan melalui Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika," demikian keterangan pers Komnas Perempuan.

 

Komnas Perempuan Ingatkan MA

Dalam keragaman tersebut, kata Komnas Perempuan, pembaruan dan interaksi antara warga satu sama lain dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara terjalin. Termasuk hubungan yang berakhir dengan suatu perkawinan terjadi secara faktual.

 

"Mahkamah Agung sebagai salah satu lembaga konstitusional yang dibentuk berdasarkan UUD, merupakan lembaga negara yang mempunyai kewajiban untuk memajukan perlindungan, pemajuan, penegakan, pemenuhan hak asasi manusia," tulisnya.

 

Tugas MA itu tertuang dalam Pasal 28I ayat (4) UUD NRI 1945, serta dasar pertimbangan pembentukan UU Mahkamah Agung. Yaitu bertujuan menjamin persamaan kedudukan warga negara dalam hukum diperlukan upaya untuk menegakkan ketertiban, keadilan, kebenaran, dan kepastian hukum semestinya mampu memberikan pengayoman kepada masyarakat (konsideran huruf b).

 

Isi SEMA yang diusik Komnas Perempuan: "Untuk memberikan kepastian dan kesatuan hukum dalam mengadili permohonan pencatatan perkawinan antar umar beragama yang berbera agama dan kepercayaan, para hakim harus berpedoman pada ketentuan sebagai berikut:

  1. Perkawinan yang sah adalah yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu, sesuai Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 8 huruf f UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
  2. Pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar umar beragama yang berbeda agama dan kepercayaan.

Menikah beda agama menurut Islam hukumnya haram. Apabila pernikahan beda agama dipaksakan dan tetap dilakukan, maka hukumnya tetap tidak sah seolah-olah tidak pernah terjadi perkawinan. Secara hukum syariah, perbuatan mereka dikategorikan dalam perbuatan zina.

 

Hukum Perdata

Pasangan yang melakukan pernikahan beda agama memiliki hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum perdata Indonesia. Hal ini berarti bahwa hak-hak dan kewajiban antara suami dan istri, termasuk hak waris, hak asuh ceanak, dan kewajiban nafkah, berlaku tanpa memandangtanpa memandang perbedaan agama.

 

Syarat sahnya perkawinan sebagaimana tertuang dalam UU Perkawinan, yakni: perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut masing-masing agama dan kepercayaannya; dan

tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku.

 

Ada Kekosongan Hukum

Bolehkah menikah beda agama, pada dasarnya hukum perkawinan di Indonesia tidak mengatur secara khusus mengenai perkawinan pasangan beda agama sehingga ada kekosongan hukum terkait.

Sedang syarat sahnya perkawinan adalah perkawinan yang dilakukan sesuai agama dan kepercayaannya sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan. Hal ini berarti UU Perkawinan menyerahkan pada ajaran dari agama masing-masing terkait hukum nikah beda agama.

Baca Juga: MK Tak Legalkan Pernikahan Beda Agama

 

Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada Pasal 40 (C) mengatur seorang laki-laki tidak boleh melakukan pernikahan dengan seorang wanita dalam beberapa kondisi, termasuk kondisi perempuan tidak beragama Islam. Sehingga dalam hal ini kesamaan agama merupakan unsur yang harus dipenuhi dalam kafaah (kesejajaran/keserasian).

 

Tidak Bawa Kemaslahatan

Menurut pakar hukum perkawinan, Indonesia merupakan negara dengan kategori muslim dan melakukan pelarangan atas perkawinan beda agama.

 

Meskipun banyak yang memahami UU Perkawinan tidak menetapkan hukum yang tegas, namun keberadaan KHI turut menyatakan tidak memberi ruang pada kemungkinan hal tersebut dan mengakomodir fatwa MUI.

 

Mapannya pemahaman di kalangan para ulama ini, yang secara mayoritas menyatakan perkawinan merupakan ibadah atau mengandung unsur ibadah sehingga perkawinan beda agama dapat dikatakan tidak membawa kemaslahatan dan justru sebaliknya.

 

4 Cara Populer

Sementara itu, Guru Besar Hukum Perdata Universitas Indonesia Prof. Wahyono Darmabrata, menjabarkan ada 4 cara populer yang ditempuh pasangan beda agama agar pernikahannya dapat dilangsungkan, yakni meminta penetapan pengadilan, kemudian perkawinan dilakukan menurut masing-masing agama, penundukan sementara pada salah satu hukum agama dan atau memilih menikah di luar negeri.

 

Juga ada kehadiran yurisprudensi Mahkamah Agung (“MA”) yaitu Putusan MA No. 1400K/PDT/1986 yang menerangkan bahwa Kantor Catatan Sipil diperkenankan untuk melangsungkan perkawinan beda agama. Kasus ini bermula dari perkawinan yang hendak dicatatkan oleh pemohon perempuan beragama Islam dengan pasangannya beragama Kristen Protestan.

 

Dalam putusannya, MA menyatakan bahwa dengan pengajuan pencatatan pernikahan di Kantor Catatan Sipil telah memilih untuk perkawinannya tidak dilangsungkan menurut agama Islam. Dengan demikian, pemohon sudah tidak lagi menghiraukan status agamanya (Islam), maka Kantor Catatan Sipil harus melangsungkan dan mencatatkan perkawinan tersebut sebagai dampak pernikahan beda agama yang dilangsungkan.

Baca Juga: Ketiga Kalinya, Pengadilan Negeri Surabaya Kembali Terima Permohonan Nikah Beda Agama

 

Perkawinan Tidak Secara Islam

Dalam hal ini apabila ada yang berkeinginan untuk mencatatkan perkawinan di Kantor Catatan Sipil, maka berdasarkan pada Putusan MA tersebut dapat memilih untuk menundukkan diri dan melangsungkan perkawinan tidak secara Islam. Kemudian, apabila permohonan pencatatan perkawinan Anda dikabulkan oleh pihak Kantor Catatan Sipil, maka perkawinan Anda adalah sah menurut hukum.

 

Solusi terkait pernikahan beda agama hanya dapat dilakukan dengan konversi agama. Sehingga pernikahan dapat dilakukan sesuai agama yang sudah disatukan oleh keyakinan yang sama, yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu.

 

Pendapat ini disampaikan oleh Hairunas, selaku Ahli Presiden dalam sidang lanjutan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

 

Perspektif Psikologis

Terkait hal ini, Hairunas menjabarkan mengenai dampak dari pernikahan beda agama ditinjau dari perspektif psikologis. Keyakinan terhadap suatu agama merupakan hak individu sebagai warga bernegara, yang pada hakikatnya tidak dapat dipaksakan oleh seseorang kepada yang lainnya termasuk mengubah keyakinannya tersebut. Menurut Hairunas, pemaksaan pindah agama karena hubungan pernikahan sebenarnya dapat melukai psikologis seseorang dan hal demikian cenderung emosional sesaat. Sebab, pernikahan beda agama yang dilakukan tersebut dapat menciderai dan mengganggu kestabilan kerukunan keluarga dari kedua pihak, baik calon istri maupun calon suami.

 

Bahkan lebih konkret Hairunas melihat berdasar sisi psikoterapi dan kesehatan mental, pelaku pernikahan beda agama cenderung sulit berinteraksi dalam keluarga terlebih lagi jika keduanya memiliki anak karena akan mendapati pilihan berat untuk mengikuti salah satu agama yang dianut orang tuanya. Terlebih lagi, sambung Hairunas, pilihan dilematis ini akan berlanjut terus-menerus.

 

Timbulkan Sengketa Hati

Hairunas juga mengatakan seseorang dapat dikatakan sehat secara mental ketika ia sejahtera, baik secara psikologis, emosional, maupun sosial. Selain itu, kesehatan mental tersebut berpengaruh terhadap cara seseorang berpikir, merasakan, bertindak, membuat keputusan, dan berinteraksi dengan orang lain. “Maka dari sisi agama manapun, secara teologis, ritualistis, dan normatis memiliki perbedaan yang terpaut jauh, karenanya perilaku beragama di antara pasangan yang berbeda keyakinan dapat menimbulkan sengketa hati dan pikiran. Sehingga rentan pada perpecahan dan keresahan mendalam dari kedua belah pihak,” jelas Hairunas yang adah Rektor Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau dalam keterangannya terhadap permohonan Nomor 24/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian UU Perkawinan. (erc/jk/c4/rmc)

Editor : Raditya Mohammer Khadaffi

BERITA TERBARU