Masinton Ajukan Hak Angket, Malah Dilaporkan ke MKD DPR

author surabayapagi.com

- Pewarta

Jumat, 03 Nov 2023 20:38 WIB

Masinton Ajukan Hak Angket, Malah Dilaporkan ke MKD DPR

i

Masinton Pasaribu

Tragedi Konstitusi, Pasca Putusan Loloskan Gibran Ikut Pilpres 2024

 

Baca Juga: Hakim MK Nilai Sejak Pilpres KPU tak Serius

 

 

SURABAYAPAGI.COM, Jakarta - Politisi PDIP Masinton Pasaribu, mengingatkan hukum dasar konstitusi adalah roh dan jiwa semangat sebuah bangsa, tapi apa hari ini yang terjadi? Kita malah mengalami satu tragedi konstitusi pasca terjadinya keputusan MK 16 Oktober lalu," kata Masinton, Jumat.

Berkaitan dengan itu, Masinton mengajukan hak angket DPR terhadap Mahkamah Konstitusi.

"Ya, (keputusan MK) itu adalah tirani konstitusi," imbuh dia.

Masinton mengatakan interupsinya kali ini tidak ada sangkut pautnya dengan pasangan capres cawapres. Dia mengklaim tidak berdiri di atas kepentingan partai politik terkait protesnya ini.

"Saya berdiri di sini bukan atas kepentingan partai politik. Saya tidak bicara tentang calon presiden saudara Anies dan saudara Muhaimin Iskandar. Saya tidak bicara tentang pak Ganjar dan Prof Mahfud," katanya, kemarin.

Anggota DPR RI Fraksi PDIP Masinton Pasaribu malah dilaporkan ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR. Pelapornya ialah Advokat Lingkar Nusantara (LISAN).

Pelapor menunjukkan tanda terima pengaduan perorangan terhadap Masinton atas nama Anggota Advokat LISAN Syahrizal Fahlevy. Pokok pengaduan tersebut ialah dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan teradu soal usulan hak angket terhadap MK terkait dengan putusan tentang batas usia capres dan cawapres.

"Bahwa kami telah melakukan pengaduan di MKD DPR RI terkait dugaan pelanggaran laporan etik yang dilakukan oleh Masinton Pasaribu selaku anggota DPR RI Komisi XI dapil Jakarta II yang mana telah membuat heboh dengan pernyataannya pada sela-sela interupsi di rapat paripurna DPR pada 31 Oktober 2023," kata anggota Advokat LISAN Syahrizal Fahlevy di gedung MPR/DPR, Jumat (3/11).

 

Usulkan Hak Angket MK

Masinton mengatakan dirinya tak sedang membicarakan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming. Namun dia tak menyebutkan nama Gibran.

"Saya juga tidak bicara tentang Pak Prabowo beserta pasangannya," tuturnya.

Masinton Pasaribu mengusulkan hak angket terhadap MK. Masinton mengungkit putusan MK soal syarat-syarat capres dan cawapres dalam pertimbangan usulan angket tersebut.

Hal ini disampaikan Masinton di tengah Rapat Paripurna DPR di Gedung Nusantara II MPR/DPR/DPD RI, Senayan, Jakarta, Selasa.

 

Baca Juga: Hakim MK Marahi Sekretaris KPU, MK Dianggap Tak Penting

Gugatan Tidak Ditandatangani

Saat ini polemik berakhir dengan diputusnya permohonan yang diajukan oleh Mahasiswa Universitas Surakarta Almas Tsaqibbirru dalam Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. Gugatan tidak Ditandatangani.

Dalam putusan tersebut, Mahkamah mengabulkan sebagian permohonan yang menguji Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).

“Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menyatakan, 'berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun' bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai ‘berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah’,” ucap Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman membacakan putusan pada Senin (16/10/2023) di Ruang Sidang Pleno MK.

 

Batas Penalaran

Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah, Mahkamah berpendapat pengisian jabatan publik in casu Presiden dan Wakil Presiden perlu melibatkan partisipasi dari calon-calon yang berkualitas dan berpengalaman. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan dan pengawasan kebijakan nasional, terdapat jabatan publik yang syarat usia pencalonannya 40 tahun (Presiden dan Wakil Presiden) dan di bawah 40 (empat puluh) tahun yang sama-sama dipilih melalui pemilu seperti jabatan Gubernur (30 tahun), Bupati, dan Walikota (25 tahun), serta anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD (21 tahun).

Namun demikian, terkait dengan jabatan Presiden dan Wakil Presiden meskipun juga dipilih melalui pemilu, namun karena terkait usia calon Presiden dan Wakil Presiden merupakan bagian dari yang dimintakan pengujian konstitusionalitasnya, maka jabatan Presiden dan Wakil Presiden menurut batas penalaran yang wajar kurang relevan untuk disangkutpautkan dengan hanya syarat usia calon Presiden dan Wakil Presiden.

“Artinya, Presiden dan Wakil Presiden yang pernah terpilih melalui pemilu dengan sendirinya seyogianya telah memenuhi syarat usia untuk jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Dalam rangka mewujudkan partisipasi dan calon-calon yang berkualitas dan berpengalaman, Mahkamah menilai bahwa pejabat negara yang berpengalaman sebagai anggota DPR anggota DPD, anggota DPRD, Gubernur, Bupati dan Walikota sesungguhnya layak untuk berpartisipasi dalam kontestasi pimpinan nasional in casu sebagai calon Presiden dan calon Wakil Presiden dalam pemilihan umum meskipun berusia di bawah 40 tahun,” terang Guntur.

 

Baca Juga: Mengejutkan, Halal-Bihalal PAN Jatim Dihadiri Said Abdullah PDI-P

Seharusnya Ditolak

Dalam Putusan tersebut, tiga hakim konstitusi menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion) dan dua hakim konstitusi menyatakan alasan berbeda (concurring opinion). Tiga hakim konstitusi yang memiliki pendapat berbeda, yakni Wakil Ketua MK Saldi Isra, Hakim Konstitusi Arief Hidayat, dan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams. Ketiganya menilai seharusnya Mahkamah menolak permohoan Pemohon.

Saldi di awal pendapatnya menyebut Putusan Nomor 90-91/PUU-XXI/2023 sebagai peristiwa “aneh” yang “luar biasa” dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar: Mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat.Sebelumnya, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUUXXI/2023, Mahkamah secara eksplisit, lugas, dan tegas menyatakan bahwa ihwal usia dalam norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 adalah wewenang pembentuk undang-undang untuk mengubahnya.

“Padahal, sadar atau tidak, ketiga Putusan tersebut telah menutup ruang adanya tindakan lain selain dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Apakah Mahkamah pernah berubah pendirian? Pernah, tetapi tidak pernah terjadi secepat ini, di mana perubahan terjadi dalam hitungan hari. Perubahan demikian tidak hanya sekadar mengenyampingkan Putusan sebelumnya, namun didasarkan pada argumentasi yang sangat kuat setelah mendapatkan fakta-fakta penting yang berubah di tengah-tengah masyarakat.

 

Mahkamah Ubah Pendiriannya

Pertanyaannya, fakta penting apa yang telah berubah di tengah masyarakat sehingga Mahkamah mengubah pendiriannya dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 dengan amar menolak sehingga berubah menjadi amar mengabulkan dalam Putusan a quo?” ungkap Guru Besar FH Universitas Andalas tersebut.

Selanjutnya Saldi mengungkapkan, kronologis proses putusan serta komposisi hakim konstitusi dalam memutus perkara tersebut. Secara keseluruhan terdapat belasan permohonan untuk menguji batas minimal usia calon Presiden dan Wakil Presiden dalam norma Pasal 169 huruf q UU Pemilu, yang terbagi menjadi dua gelombang; tiga perkara di atas (Perkara Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023) adalah permohonan atau perkara gelombang pertama, sedangkan Perkara Nomor 90-91/PUU-XXI/2023 termasuk perkara gelombang kedua.

Saldi menekankan pembentuk undang-undang secara eksplisit menyampaikan dan memiliki keinginan yang serupa dengan para Pemohon, sehingga perubahan ataupun penambahan terhadap persyaratan bagi calon presiden dan wakil presiden tersebut sudah selayaknya dilakukan melalui mekanisme legislative review dengan cara merevisi Undang-Undang yang dimohonkan oleh para Pemohon, bukan justru melempar “bola panas” ini kepada Mahkamah. n erc/jk/rmc

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU