Ketua KPK Dimarahi Jokowi untuk Hentikan Kasus

author surabayapagi.com

- Pewarta

Jumat, 01 Des 2023 20:59 WIB

Ketua KPK Dimarahi Jokowi untuk Hentikan Kasus

SURABAYAPAGI.COM, Jakarta - Mantan Ketua KPK Agus Rahardjo buka kartu kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang pernah meminta KPK untuk menghentikan kasus korupsi e-KTP. Kasus ini menyeret nama mantan Ketua DPR Setya Novanto.

Agus menyebut momen itu menjadi salah satu pendorong lahirnya revisi UU KPK. Testimoni Agus itu disampaikan dalam wawancara program Rosi di Kompas TV seperti dikutip Surabaya Pagi, Jumat (1/12/2023).

Baca Juga: Apple Investasi Rp 1,6 Triliun, Microsoft Rp 14 Triliun

 

Alexander Marwata Membenarkan

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata membenarkan pengakuan Ketua KPK periode 2015-2019 Agus Rahardjo yang pernah dimarahi Presiden RI Joko Widodo terkait permintaan penghentian penyidikan kasus korupsi pengadaan KTP elektronik (e-KTP) yang menjerat mantan Ketua DPR RI Setya Novanto.

"Ya, Pak Agus pernah bercerita kejadian itu ke pimpinan," ujar Alex saat dikonfirmasi melalui pesan tertulis, Jumat (1/12).

Alex mengungkapkan permintaan Jokowi tersebut ditolak karena Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (Sprindik) sudah diteken pimpinan KPK.

 

Keterangan Menko Polhukam

Menko Polhukam Mahfud MD, menyatakan kebenaran cerita tersebut hanya Agus yang mengetahui.

"Tapi apakah itu benar atau tidak, bahwa presiden mengintervensi Pak Agus, itu Pak Agus yang tahu," kata Mahfud kepada wartawan di Pandeglang, Banten, Jumat (1/12).

Mahfud mengaku baru mendengar cerita adanya intervensi yang disampaikan mantan Ketua KPK itu. Sebab, kata Mahfud, Agus baru mengungkapkan ke publik.

 

Penjelasan KSP

Koordinator Staf Khusus (KSP) Presiden, Ari Dwipayana, menyebut momen pertemuan Jokowi dan Agus tidak masuk agenda presiden.

"Setelah dicek, pertemuan yang diperbincangkan tersebut tidak ada dalam agenda Presiden," kata Koordinator Staf Khusus Presiden, Ari Dwipayana, dalam keterangan tertulis kepada wartawan, Jumat.

 

Agus Dipanggil Sendiri

Agus mengatakan saat itu dipanggil sendirian oleh Jokowi ke Istana. "Saya terus terang pada waktu kasus E-KTP saya dipanggil sendirian, oleh Presiden. Presiden waktu itu ditemani oleh Pak Pratikno. Saya heran biasanya memanggil itu berlima, ini kok sendirian. Dan dipanggilnya juga bukan lewat ruang wartawan tapi lewat masjid kecil gitu," kata Agus.

Begitu masuk, Agus menyebut Jokowi sudah dalam keadaan marah. Menurut Agus, Jokowi meminta KPK untuk menghentikan kasus e-KTP Setya Novanto.

 

Presiden Sudah Marah

"Di sana begitu saya masuk, presiden sudah marah. Menginginkan.. karena baru saya masuk, beliau sudah teriak 'Hentikan'. Kan saya heran, hentikan, yang dihentikan apanya," ujar Agus.

"Setelah saya duduk, ternyata saya baru tahu kalau yang suruh hentikan itu adalah kasusnya Pak Setnov, Ketua DPR pada waktu itu, mempunyai kasus e-KTP supaya tidak diteruskan," sambung dia.

Agus lalu membalas permintaan Jokowi dengan menjelaskan bahwa KPK sudah mengeluarkan sprindik beberapa minggu sebelumnya.

 

KPK tak Mungkin Batalkan

Berdasarkan UU KPK yang lama, KPK tidak bisa menghentikan penyidikan suatu perkara.

"Nah sprindik itu kan sudah saya keluarin 3 minggu yang lalu, dari presiden bicara itu, sprindik itu tak mungkin karena KPK tak punya SP3, tidak mungkin saya berhentikan saya batalkan," tutur Agus.

Baca Juga: Dialog Sunatan Si Cucu di Sidang Korupsi Eks Mentan SYL

KPK kemudian lanjut mengusut kasus e-KTP dan tidak menggubris pernyataan Jokowi. Belakangan Agus menyadari bahwa momen itu menjadi salah satu pendorong lahirnya revisi UU KPK.

"Kemudian karena tugas di KPK itu seperti itu makanya ya kemudian tidak saya perhatikan, ya jalan terus tapi akhirnya dilakukan revisi UU nanti kan intinya revisi UU itu kan SP3 menjadi ada, kemudian di bawah presiden, karena pada waktu itu mungkin presiden merasa bahwa ini Ketua KPK diperintah presiden kok nggak mau apa mungkin begitu," ujar Agus.

 

Istana Meluruskan

Istana menanggapi pernyataan Agus terkait Jokowi yang meminta kasus e-KTP Setnov dihentikan. Istana menyebut momen pertemuan Jokowi dan Agus tidak masuk agenda presiden.

"Kita lihat saja apa kenyataannya yang terjadi. Kenyataannya, proses hukum terhadap Setya Novanto terus berjalan pada tahun 2017 dan sudah ada putusan hukum yang berkekuatan hukum tetap," sambung dia.

Ari, lalu menegaskan kembali sikap Jokowi terkait kasus Setnov. Jokowi menghormati proses hukum yang berlaku.

"Presiden dalam pernyataan resmi tanggal 17 November 2017 dengan tegas meminta agar Setya Novanto mengikuti proses hukum di KPK yang telah menetapkannya menjadi tersangka korupsi kasus KTP Elektronik. Presiden juga yakin proses hukum terus berjalan dengan baik," imbuh Ari.

 

Revisi UU KPK

Selain itu, Ari menegaskan revisi UU KPK bukan inisiatif pemerintah, melainkan dari DPR. Revisi UU KPK juga disebut dilakukan setelah 2 tahun Setnov tersangka.

"Perlu diperjelas bahwa Revisi UU KPK pada tahun 2019 itu inisiatif DPR, bukan inisiatif Pemerintah, dan terjadi dua tahun setelah penetapan tersangka Setya Novanto," tegas Ari

 

Otak Korupsi Proyek e-KTP

Jumlah tersangka korupsi pada proyek e-KTP tidak berhenti pada Sugiharto, Irman Gusman, Andi Narogong dan Setya Novanto saja. Markus Nari dan Anang Sugiana Sudiharjo menambah daftar panjang otak di balik kasus korupsi ini.

Baca Juga: Dokter Pembuat Surat Sakit Bupati Sidoarjo, Akui Keliru

 

Berawal dari Kemendagri

Kasus ini berawal saat Kemendagri di tahun 2009 merencanakan mengajukan anggaran untuk penyelesaian Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAP), salah satu komponennya adalah Nomor Induk Kependudukan (NIK). Pemerintah pun menargetkan pembuatan e-KTP bisa selesai di tahun 2013. Proyek e-KTP sendiri merupakan program nasional dalam rangka memperbaiki sistem data kependudukan di Indonesia. Lelang e-KTP dimulai sejak tahun 2011, dan banyak bermasalah karena diindikasikan banyak terjadi penggelembungan dana

 

Berkat Kicauan Narzaruddin

Berdasarkan data yang dihimpun Surabaya Pagi, kasus korupsi proyek e-KTP terendus akibat kicauan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat (PD), Muhammad Narzaruddin.

KPK kemudian mengungkap adanya kongkalingkong secara sistemik yang dilakukan oleh birokrat, wakil rakyat, pejabat BUMN, hingga pengusaha dalam proyek pengadaan e-KTP pada 2011-2012. Akibat korupsi berjamaah ini, negara mengalami kerugian mencapai Rp 2,3 triliun. DPR pun sempat dibuat heboh karena KPK selama menangani kasus ini, melakukan pemanggilan kepada puluhan anggota dewan maupun mantan anggota DPR RI.

 

Vonis Setnov Bukan Final

Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tetap mengusut kasus korupsi e-KTP hingga tuntas. Menurut dia, vonis terhadap mantan Ketua DPR RI Setya Novanto bukan babak final kasus tersebut. "Putusan terhadap terdakwa SN bukan akhir dari pengusutan kasus mega korupsi E-KTP. KPK harus terus membongkar kasus ini secara tuntas," ujar peneliti PSHK Miko S Ginting melalui siaran pers, Kamis (26/4/2018). Miko mengatakan, penyidikan belum dikatakan tuntas jika pihak-pihak yang disebut menerima fee dari proyek tersebut belum dimintai pertanggungjawaban.

 

Pukulan Keras Bagi Partai

Dalam putusan hakim terhadap Novanto, ada sejumlah nama mulai dari mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi serta beberapa anggota DPR di masa tersebut yang menikmati hasil korupsi. Bahkan ada beberapa perusahaan sepeeti PNRI, Quadra Solution, dan beberapa perusahaan lain yang turut mendapat keuntungan. "KPK tidak boleh hanya berfokus pada keterlibatan aktor individual tetapi juga perusahaan dan pemilik manfaat dari perusahaan," kata Miko.

Terpisah, Sekjen Partai Golkar Lodewijk Freidrich Paulus menilai, vonis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terhadap mantan Ketua Umum Partai Golkar, Setya Novanto, pukulan yang sangat keras bagi partainya. n erc/jk/bbs/cr2/rmc

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU