Home / Opini : Editorial Surabaya Pagi

Pejabat Kemendikbudristek Diduga Ada yang Dungu

author Raditya Mohammer Khadaffi

- Pewarta

Rabu, 22 Mei 2024 13:05 WIB

Pejabat Kemendikbudristek Diduga Ada yang Dungu

i

Catatan Budaya, Raditya M Khadaffi, Wartawan Surabaya Pagi

SURABAYAPAGI.com, Surabaya - Saya menyimak pernyataan Pelaksana Tugas Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud-Ristek, Tjitjik Tjahjandarie, memperkeruh kegundahan sebagian orang tua dan calon mahasiswa baru.

Mereka risau adanya UKT yang naiknya melompat cukup tinggi. Saat mereka berjuang menurunkan UKT, muncul pejabat Kemendikbud-Ristek yang makin memperkeruh kegudahan mereka.

Baca Juga: Obat Mahal, di Tengah Dugaan Penyimpangan Indofarma Rp 470 M

Pejabat Kemendikbud-Ristek  ini berpendapat pendidikan tinggi sifatnya tersier dan tidak wajib.

Saya yang sudah lulus kuliah di sebuah PTN tertegun. Sepertinya Pejabat Kemendikbud-Ristek, tak merasakan suasana bathin orang tua dan calon mahasiswa baru berekonomi pas-pasan.

Meminjam olok-olok Rocky Gerung, yang gampang menarasikan kata "dungu". Jangan-jangan bila Rocky Gerung diwawancarai akan bilang, itu pejabat dungu.

 

***

 

Pejabat Kemendikbud-Ristek itu menyebarkan opini seolah kuliah itu mewah. Jadi mahal.

Saya tak paham kuliah itu kebutuhan tersier.

Apa mesti anak kuliah mesti dianalogikan berlibur ke luar negeri, membeli koleksi perhiasan, atau membeli barang-barang bermerek dan mewah? Masya Allah!

Apakah semua orang tua yang mau menyekolahkan anaknya ke pendidikan tinggi memiliki banyak uang? Masya Allah.

 

***

 

Baca Juga: Polri tak Antikritik, Lamban Tangani Kasus Tanpa Fulus?

Saya masih ingat pelajaran Konstitusi Indonesia. Dijelaskan alasan Indonesia didirikan adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Ini ada pada undang-undang 1945. Dan, untuk mencerdaskan kehidupan bangsa tersebut diajarkan  sekolah dasar (SD) hingga perguruan tinggi.

Akal sehat saya berkata, negara dan pemerintah harus berperan untuk memberikan layanan pendidikan kepada masyarakat di semua tingkatan. Akal sehat saya tak bisa menerima anggapan bahwa pendidikan perguruan tinggi adalah kebutuhan tersier.

Pertanyaan saya, mengapa hal itu sampai bisa disampaikan kepada masyarakat.? Apakah pejabat itu tidak merasa negara wajib mengakomodasi pendidikan bagi seluruh warga negaranya tanpa terkecuali. Apalagi,  sudah ada anggaran sebesar 20 persen dikhususkan untuk membiayai pendidikan.

Saya justru khawatir pernyataan dari pejabat Kemendikbudristek malah mengaburkan kegagalan negara dalam menyediakan pendidikan yang terjangkau dan berkualitas.

UKT saya kesankan seperti alat mempersulit warga  mengakses kuliah pendidikan tinggi di negerinya sendiri.

 

***

Baca Juga: Mantan Mensos vs Mensos, Beradu Atasi Kemiskinan

 

Saya pikir berulang ulang titik temunya  pejabat Kemendikbudristek tak paham konstitusi. Dalam UUD 1945, Negara wajib menyediakan pendidikan sebagai hak untuk masyarakat, pendidikan yang terbuka, terjangkau, dan berkualitas.

Sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) bukan bentuk komersialisasi pendidikan akibat mahalnya biaya kuliah di Indonesia.

Pernyataan soal pendidikan tinggi sebagai pendidikan tersier memperlihatkan Kemendikbudristek nirempati.  Ya ketika kondisi ekonomi masyarakat sulit.

Kesan saya, UKT di berbagai perguruan tinggi negeri (PTN), bisa untuk mempersempit anak muda mencerdaskan diri sampai pendidikan tinggi!

Kini mulai bertebaran opini pendidikan tinggi ini adalah tersiery education? Apa pendapat ini dipengaruhi gaya bisnis Nadiem kelola transportasi online Gojek. Sehingga lulusan S1, bukan dimasukan wajib belajar di Indonesia. Pesan kulturalnya, tidak seluruh lulusan SLTA dan SMK di Indonesia wajib masuk perguruan tinggi?. Mereka cukup dilatih jadi tukang ojek?

Apa begitu Pak Jokowi, mengisi cita cita Indonesia merdeka? Founding father NKRI Bung Karno-Bung Hatta, bisa menangis di alam sana. ([email protected])

Editor : Raditya Mohammer Khadaffi

BERITA TERBARU