Home / Editorial : Editorial Surabaya Pagi

Tapera, Program Otopis

author Raditya Mohammer Khadaffi

- Pewarta

Jumat, 31 Mei 2024 14:18 WIB

Tapera, Program Otopis

i

Raditya M Khadaffi, Wartawan Surabaya Pagi

SURABAYAPAGI.com, Surabaya - Pro dan kontra telah mewarnai Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Mengapa aturan soal pungutan iuran Tapera riuh?

Undang-undang yang diinisiasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ini ternyata dalam perjalannya tidak mendapatkan antusias yang baik di kalangan publik.

Baca Juga: Demo Tolak Tapera di Lumajang Ricuh

Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sudah timbul perdebatan antara pemerintah dan parlemen. Perdebatan berkutat pada salah satu pasal. Saat itu, pasal yang didebatkan sama dengan sekarang. Ini terkait besaran persentase tabungan yang wajib dilakukan oleh peserta.

Mengutip artikel Warta Fiskal yang dirilis oleh Kementerian Keuangan pada 2016, Menteri Keuangan kala itu, Chatib Basri menilai pemerintah bertindak cukup hati-hati dalam melihat dampak program tersebut terhadap beban fiskal di masa depan yang dijalankan pemerintah Presiden Joko Widodo.

Kemenkeu sependapat dengan argumen RUU Tapera harus diikuti dengan adanya program pemerintah untuk membuat masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dapat memiliki akses terhadap perumahan.

Ternyata, setelah Kemenkeu menghitung beban fiskalnya, terdapat jebakan ruang fiskal dalam jangka panjang. Dihitung-hitung, iuran dari pekerja dan pemberi kerja terlampau kecil.

Untuk itu, dalam rapat kerja dengan DPR, Menkeu Chatib Basri secara tegas minta pemerintah dan DPR jangan buru-buru mengesahkan RUU Tapera menjadi UU.

Kajian saat itu, program Tapera sama di BPJS. Akhirnya, Paripurna DPR batal menyetujui RUU Tapera menjadi UU. Penolakan saat itu masih terkait besaran persentase tabungan yang wajib dilakukan oleh peserta.

Pungutan sebesar 3% Tapera, terbagi atas 0,5% kontribusi pemberi kerja dan 2,5% kontribusi pekerja (swasta/PNS) sehingga total pungutan 3%. Bagi masyarakat yang sudah punya rumah, mereka tetap dipungut iuran sebagai tabungan. Dana yang sudah dikumpulkan bisa diambil saat pensiun atau diwasiatkan saat meninggal. Hal ini juga berlaku bagi pekerja formal yang sedang mencicil Kredit Pemilikan Rumah (KPR)

Dalam perjalannya, RUU Tapera akhirnya disahkan menjadi Undang-undang pada oleh Presiden Jokowi pada 24 Maret 2016.

Empat tahun kemudian, Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).

Aturan itu diubah dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 21/2024 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 25/2020 Tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat.

 

***

 

Dalam pasal 7 dijelaskan bahwa pengerahan dana Tapera tak hanya dikumpulkan dari para ASN, TNI, Polri hingga pegawai BUMN saja, melainkan akan turut serta dipungut dari pekerja swasta serta pekerja lain.

"Pekerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a meliputi: calon Pegawai Negeri Sipil; pegawai Aparatur Sipil Negara; prajurit Tentara Nasional Indonesia; prajurit siswa Tentara Nasional Indonesia; anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia; pejabat negara; pekerja/buruh badan usaha milik negara/daerah; pekerja/buruh badan usaha milik desa; pekerja/buruh badan usaha milik swasta; dan pekerja yang tidak termasuk pekerja sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf i yang menerima gaji atau upah," demikian bunyi beleid tersebut.

Sementara itu, pada pasal 15 ayat 1 dijelaskan bahwa besaran iuran simpanan peserta yang ditetapkan sebesar 3% dari gaji atau upah peserta

 

***

 

Aturannya, pemerintah bakal memotong gaji pekerja sebesar 3 persen untuk simpanan Tapera paling lambat pada 2027.

Dana program Tapera bakal dikelola oleh Badan Pengelola Tapera (BP Tapera) yang dibentuk berdasarkan UU Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat.

Program pemerintah tabungan perumahan rakyat (Tapera), ini terkesan indah, memberi impian impian.

Tapi setelah dihitung mantan Menko Polhukam dan Presiden KSPI, hitungan Tapera, bak iming iming siang bolong.

Makanya, dalam sepekan ini, Tapera menjadi perbincangan setelah ini pekerja swasta 'dipaksa' untuk ikut menjadi peserta.

Pada Pasal 7 beleid ini, dirinci jenis pekerja yang wajib menjadi peserta tidak hanya abdi negara dan pegawai BUMN, tetapi termasuk karyawan swasta dan pekerja lain yang menerima gaji atau upah.

Dilansir dari laman resminya, Tapera dibentuk dengan tujuan untuk membantu mewujudkan kepemilikan rumah yang layak dan terjangkau bagi peserta melalui pembiayaan dana murah berkelanjutan berlandaskan gotong-royong.

Ada tiga program yang dimiliki yang bisa dimanfaatkan, yakni Kredit Pemilikan Rumah (KPR), Kredit Bangun Rumah (KBR) hingga Kredit Renovasi Rumah (KRR).

Baca Juga: Harga Property Naik Sangat Mahal

Namun, ketiga manfaat itu hanya berlaku bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Dalam hal ini, maksimal upah sebesar Rp8 juta per bulan atau Rp10 juta per bulan (khusus Papua dan Papua Barat).

Selain itu, pemanfaatan produk KPR ini hanya berlaku bagi penduduk Indonesia dengan usia minimal 20 tahun atau sudah menikah dan minimal telah 1 tahun menjadi anggota Tapera.

Sesuai dengan visinya mengenai gotong royong, maka tabungan pekerja swasta yang berpenghasilan di atas Rp8 juta, tidak bisa memanfaatkan program Tapera .

Bagi pekerja swasta atau mandiri, tabungan Tapera beserta imbal hasilnya dapat diambil apabila telah pensiun atau telah mencapai usia 58 tahun.

Pengembalian tabungan bagi peserta non MBR akan langsung disetorkan ke rekening atas nama peserta. Namun, apabila peserta meninggal, maka akan dikembalikan ke ahli waris.

 

***

 

Mantan Menkopolhukam Mahfud MD, meminta pemerintah mengkaji ulang skema program Tabungan Perumahan Rakyat. Ia berpendapat hitungan Tapera dengan simpanan wajib per bulan sebesar 3 persen tidak masuk akal.

"Kalau tidak ada kebijakan jaminan betul-betul akan mendapat rumah dari pemerintah bagi penabung, maka hitungan matematisnya memang tidak masuk akal," cuit Mahfud dalam akun X @mohmahfudmd, Kamis (30/5).

Mahfud merinci, dengan hitungan orang yang mendapatkan gaji Rp5 juta per bulan, maka yang bersangkutan hanya akan mendapatkan sekitar Rp100 juta dalam periode 30 tahun menabung.

Juga pada masyarakat yang memiliki gaji Rp10 juta per bulan, hitungan Tapera itu, menurutnya tidak masuk akal. Sebab mereka hanya akan mendapatkan Rp225 juta dalam 30 tahun. Sementara harga rumah di masa depan terus mengalami kenaikan harga.

"Untuk sekarang pun Rp100 juta tak akan dapat rumah apalagi 30 tahun yang akan datang, ditambah bunganya sekali pun," imbuhnya.

Oleh sebab itu, Mahfud berpendapat bahwa masyarakat terutama yang memiliki gaji Rp15 juta per bulan dibiarkan untuk mengambil program kredit perumahan rakyat (KPR) melalui Bank pemerintah.

Baca Juga: Ombudsman Usul Cakupan Definisi MBR di Program Tapera Diubah

Dengan hitungan KPR, Mahfud menilai lebih masuk akal mendapatkan rumah. Namun apabila pemerintah masih ngotot dengan program Tapera, maka ia meminta agar pemerintah bersedia menjamin rakyat sudah pasti mendapatkan rumah tersebut.

Juga Partai Buruh dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak program iuran tabungan perumahan rakyat.

Presiden Partai Buruh dan KSPI Said Iqbal, menyebut, skema yang digunakan dalam program perumahan untuk rakyat tersebut tidak tepat. Seharusnya pemerintah menyiapkan perumahan sebagai hak rakyat.

"Dalam UUD 1945, negara diperintahkan untuk menyiapkan dan menyediakan perumahan sebagai hak rakyat. Hal ini juga masuk dalam 13 platform Partai Buruh, di mana jaminan perumahan adalah jaminan sosial yang akan kami perjuangkan. Tetapi persoalannya, kondisi saat ini tidaklah tepat," kata Said Iqbal , Kamis (30/5/2024).

Said Iqbal menurutkan, ada beberapa alasan program Tapera tersebut belum tepat dijalankan saat ini. Pertama, menurutnya, belum ada kejelasan apakah setelah mengikuti program tersebut, buruh atau peserta Tapera akan otomatis mendapat rumah.

Menurutnya hitung-hitungan iuran yang 3% gaji per bulan juga tidak mencukupi bagi buruh untuk membeli rumah meski sudah masuk usia pensiun.

"Secara akal sehat dan perhitungan matematis, iuran Tapera sebesar 3% (dibayar pengusaha 0,5% dan dibayar buruh 2,5%) tidak akan mencukupi buruh untuk membeli rumah pada usia pensiun atau saat di PHK," tuturnya.

Said menggitung, saat ini upah rata-rata buruh Indonesia adalah Rp 3,5 juta per bulan. Jika dipotong 3% per bulan, maka iurannya adalah sekitar Rp 105.000/bulan atau Rp 1.260.000/tahun. Karena Tapera adalah tabungan sosial, maka dalam jangka waktu 10-20 tahun ke depan uang yang terkumpul adalah Rp 12.600.000 hingga Rp 25.200.000.

"Pertanyaan besarnya adalah, apakah dalam 10 tahun ke depan ada harga rumah yang seharga Rp 12,6 juta atau Rp 25,2 juta dalam 20 tahun ke depan? Sekali pun ditambahkan keuntungan usaha dari tabungan sosial Tapera tersebut, uang yang terkumpul tidak akan mungkin bisa digunakan buruh untuk memiliki rumah," ingat Said.

Sehingga menurutnya mustahil bagi buruh memiliki rumah dengan skema Tapera tersebut. Justru hal itu membebani buruh karena upah bulanan mereka dipotong.

"Jadi dengan iuran 3% yang bertujuan agar buruh memiliki rumah adalah kemustahilan belaka bagi buruh dan peserta Tapera. Sudahlah membebani potongan upah buruh setiap bulan, di masa pensiun atau saat PHK juga tidak bisa memiliki rumah," tambah Said Iqbal.

Juga bagi pengusaha. Ada beban pengusaha lantaran dari ketentuan tabungan sebesar 3%, para pelaku usaha dikenakan 0,5% dari gaji yang diterima.

Terlebih, para pengusaha sekarang sudah menanggung BPJS para karyawan yang angkanya juga tidak kecil.

Menyimak kalkulasi dari mantan Menkopolhukam Mahfud MD dan Presiden Partai Buruh dan KSPI Said Iqbal, Tapera, menurut akal sehat saya adalah program otopis yang sulit diraih pekerja. ([email protected])

Editor : Raditya Mohammer Khadaffi

BERITA TERBARU