SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Hingga Senin (5/8/2024), isu Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang bagi-bagi kekuasaan Gubernur di beberapa daerah di Jawa, terus menyeruak.
Bahkan, Koalisi sampai Senin (5/8) sudah munculkan nama-nama untuk Pilgub Jakarta, Jabar, Jateng dan Jatim. Cagub Banten, tampaknya suara KIM, tidak utuh.
Baca Juga: Peran Pers, Kontrol Sosial Polda, Berantas Judi Gelap
Akal sehat saya berkata begitu mudahnya memetakan jabatan Gubernur, seperti main Gobak Sodor.
***
Gobak Sodor atau galah asin adalah salah satu permainan tradisional di Daerah Istimewa Yogyakarta. Permainan gobak sodor merupakan permainan menghalangi lawan untuk mencapai garis akhir. Permainan ini dimainkan oleh dua tim yang masing-masing terdiri dari tiga orang.
Cara Bermain, satu orang yang spesial dari tim yang berjaga. Ia disebut selodor. Dia membelah lapangan permainan jadi dua, bisa bergerak dari ujung ke ujung. Mengunci lawan dalam satu kotak adalah salah satu kegunaan utamanya. Dia juga bisa secara tiba-tiba menyerang pemain yang sedang berdiri tidak fokus.
Seperti ini isyarat KIM memainkan langkah merebut jabatan gubernur di propinsi terpadat penduduknya di Indonesia.
***
Catatan jurnalistik saya menulis Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyebutkan bahwa realisasi pendapatan daerah hingga 31 Desember 2023 mencapai Rp71 triliun atau setara 100,53 persen dari target Rp70,6 triliun.
Berdasarkan Laporan Realisasi Anggaran (LRA) Pemprov Jatim TA 2023 per 31 Desember 2023, realisasi pendapatan daerah mencapai 102,34% atau setara Rp 33,59 triliun, dan telah melampaui target Rp 32,82 triliun.
Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Jawa Barat menyatakan realisasi pendapatan daerah hingga tanggal 22 Desember 2022 mencapai Rp32,7 triliun.
Bila dijabarkan, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Provinsi Banten terealisasi sebesar Rp 8.513,57 Miliar atau 95,90 persen dari target sebesar Rp 8,877,57 Miliar.
Realisasi pendapatan daerah Provinsi Jawa Tengah pada 2023 mencapai Rp25,369 triliun. Jumlah itu mengalami peningkatan sebanyak 4,97% dibandingkan realisasi tahun sebelumnya sebesar Rp24,167 triliun. Membaca Pendapatan Asli Daerah (PAD) di lima propinsi itu yang lebih Rp 161 triliun, wajar lima calon gubernur di pulau jawa diincar koalisi partai penguasa.
Tentu untuk mendukung semua program Presiden terpilih Prabowo dan Wakilnya Gibran.
***
Baca Juga: Surabaya Barat, Lama-lama Jadi Marina Bay Casino
Ini karena gubernur adalah wakil Pemerintah Pusat di daerah.
Tugas dan wewenang ini berdasarkan ketentuan Pasal 91 ayat (8) dan Pasal 93 ayat (5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pada 20 Juli 2018. Beserta PPnya yang pernah ditandatangani Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 33 Tahun 2018.
PP Nomor 33 Tahun 2018. Dalam PP tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat, Gubernur mempunyai tugas: mengoordinasikan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah kabupaten/kota; melakukan monitoring, evaluasi, dan supervisi terhadap penyelenggaraan pemerintah daerah kabupaten/kota yang ada di wilayahnya; memberdayakan dan memfasilitasi daerah kabupaten/kota di wilayahnya; melakukan evaluasi terhadap rancangan peraturan daerah kabupaten/kota tentang rencana pembangunan jangka panjang daerah, anggaran pendapatan dan belanja daerah, perubahan anggaran pendapatan dan belanja daerah, pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja daerah, tata ruang daerah, pajak daerah, dan retribusi daerah; melakukan pengawasan terhadap peraturan daerah kabupaten/kota; dan Melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan dan perundang-undangan.
Dan dalam melaksanakan tugasnya, menurut PP ini, gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat memiliki wewenang untuk membatalkan peraturan daerah kabupaten/kota sampai memberikan persetujuan terhadap rancangan peraturan daerah kabupaten/kota tentang pembentukan dan susunan perangkat daerah kabupaten/kota.
Ada wewenang yang luas. Ibaratnya Gubernur "raja kecil" di propinsinya masing masing. Hukumnya seorang Gubernur bisa tidak melantik sekretaris daerah yang sudah ditetapkan melalui surat keputusan presiden. Ini pernah dilakukan oleh Gubernur Kalimantan Timur.
Ini contoh bagaimana daerah seakan dengan mudahnya "menentang" pemerintah pusat.
Daerah belakangan ini seolah bisa memilih jalan masing-masing tak peduli itu berbeda dengan pemerintah pusat. Ini karena Gubernur memiliki otonomi kuasa pemerintahan sendiri.
Maklum, otonomi daerah mulai digulirkan pada awal reformasi, pascaamendemen Undang-undang Dasar 1945 dan diselesaikan pada 2002.
Artinya, otonomi memang memberikan keleluasaan bagi daerah untuk mandiri mengurus diri, namun dari sana juga tampak muncul persoalan-persoalan otonomi yang kebablasan.
Baca Juga: Kapolri Instruksikan Kapolda Tidak Ragu Tindak Perjudian
***
Saat ini KIM telah menunjukkan kekuatannya mengusung kader - kadernya di Pilkada DKI Jakarta dan berbagai propinsi Jawa dan lainnya. Sebagian besar parpol telah resmi menyatakan dukungan. Sementara PDIP, masih tampak malu-malu dan ragu. Misalnya di DKI akan mengusung Ahok dan di Jatim mengusung Risma, belum dideklarasikan.
Karena itu, PDIP mesti membuka selebar-lebarnya peluang berkoalisi dengan partai lain. Mengingat partai pimpinan Megawati ini kalah dalam Pilpres 2024 yang lalu.
Dengan pola yang ditampilkan KIM, seolah Gubernur di wilayah "basah" hanya bisa diusung partai penguasa. Terkesan tidak saling menghargai dan saling membuka pintu dengan parpol saingannya di Pilpres yang lalu.
Dalam beberapa studi, secara kelembagaan, partai politik (parpol) tetap memerlukan basis massa. Ini untuk menyokong eksistensinya mengoalkan figur Gubernur usungannya. Artinya, tidak hanya sebagai sumber dukungan, basis massa merupakan komponen krusial untuk membuktikan bahwa mesin partai politik bekerja dengan baik dan mampu melakukan penetrasi ideologinya ke masyarakat.
Tapi nyatanya, ada hasil-hasil studi tentang afiliasi ideologi pemilih ke parpol di Indonesia. Studi menunjukkan, umumnya parpol tidak memiliki basis massa yang kuat. Survei Poltracking Indonesia pada Mei 2022, misalnya, menunjukkan masyarakat cenderung memilih figur personal (51,4%) ketimbang parpol (14,5%).
Tren ini terjadi karena rendahnya kesadaran politik, pendidikan politik, konsistensi dan kualitas kinerja partai secara institusi. Termasuk lewat anggota legislatif dan pejabat eksekutifnya, hingga pada masalah menguatnya pragmatisme politik. Nah, dalam kenyataan, pragmatisme pemilih masih menjadi lawan kekuasaan politik. Ini seperti permainan gobak sodor. Cara memenangkan permainan, ketika seluruh anggota tim penyerang berhasil kembali ke garis start dengan selamat atau tidak tersentuh oleh tim penjaga. Mari kita tunggu permainan gobak sodor di Pilgub November 2024 nanti. ([email protected])
Editor : Moch Ilham