Menukil Perbedaan Mega-Jokowi, dengan Soekarno- Hatta

author surabayapagi.com

- Pewarta

Rabu, 07 Agu 2024 19:58 WIB

Menukil Perbedaan Mega-Jokowi, dengan Soekarno- Hatta

i

Raditya M Khadaffi

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Baru minggu ini, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, membantah, bermusuhan dengan Jokowi.

Megawati mengklaim hubungannya dengan Jokowi baik-baik saja.

Baca Juga: Menyorot Gaya Hidup Bobby, Kaesang dan Paus

"Tadi sebelum ke sini, ada siapa itu nggak tahu ngomong, yang mengatakan katanya saya tidak ini sama presiden," kata Megawati

Seenaknya lho dia ngomong kayak gitu, saya sama presiden ya baik-baik aja. Emangnya kenapa?," ucap dia. Megawati kembali menyinggung isu Jokowi minta 3 periode.

Megawati lalu menyinggung bahwa dirinya memang sempat menolak wacana presiden tiga periode.

Ia menegaskan wacana itu jelas dilarang konstitusi.

"Hanya karena saya nggak mau ketika diminta tiga periode atau karena saya katanya tidak mau perpanjangan. Itu kan ranahnya konstitusi, ya saya tidak punya hak loh menyatakan boleh apa tidak," pungkasnya

Pernyataan ini dimunculkan Megawati saat pidato dalam acara penyerahan duplikat bendera pusaka yang dihelat Badan Pembinaan Ideologi Pancasila RI di Balai Samudera, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Senin (5/8/2024).

Pernyataan Megawati ini tentu membuat spekulasi bahwa Megawati ingin memanaskan kembali isu tersebut di tengah Pilkada.

Awalnya Megawati heran dengan gosip permusuhannya dengan Jokowi

Megawati langsung menentang bahwa tengah bermusuhan dengan Jokowi.

Padahal Megawati dan Jokowi sudah tampak jarang bersama.

Bahkan, Jokowi tidak hadir dalam acara ulangtahun partai berlambang banteng tersebut.

 

***

 

Tentang perseteruan Mega-Jokowi, pernah terjadi pada Soekarno-Hatta.

Baca Juga: Pengurus Tandingan Sindiran KH Ma'ruf Amin

Alwi Shihab menulis di REPUBLIKA.CO.ID. Alwi mengatakan beda pendapat Soekarno-Hatta, pernah terjadi pada awal-awal pembentukan negara. Tidak tanggung-tanggung antara Bung Karno dan Bung Hatta, yang pada 17 Agustus 1945 bersama-sama memproklamirkan kemerdekaan RI. Masalah perbedaan ini, dikemukakan sendiri oleh kedua tokoh nasional dan bapak bangsa itu.

”Saya pernah bertanya kepada Bung Karno, apa bedanya ia dengan Bung Hatta,” demikian Solichin Salam dalam bukunya Soekarno-Hatta yang diterbitkan Pusat Studi dan Penelitian Islam. ”Saya unitaris, Hatta federalis,” jawab Bung Karno singkat.

Setelah itu, Solichin mewawancarai Bung Hatta. ”Berbicara tentang bentuk negara Indonesia yang dicita-citakan sebelum Indonesia merdeka, saya tanyakan kepada Bung Hatta kenapa ia waktu itu cenderung pada bentuk negara federal dari negara kesatuan.”

Jawab Bung Hatta: ”Saya cenderung kepada bentuk Negara Federal karena melihat contoh negara-negara besar waktu itu, seperti Amerika Serikat atau Uni Soviet yang semuanya berbentuk federal.” Tetapi sekalipun beda pendapat, sebagai seorang demokrat Bung Hatta tetap tunduk dan patuh kepada keputusan suara terbanyak, memilih Negara Kesatuan RI.

Indonesia dan Belanda menyetujui pembentukan negara Republik Indonesia Serikat (RIS), yang berbentuk negara federal.

 Menurut Bung Karno, akibat kompromi-kompromi mental inilah yang mengakibatkan memburuknya keadaan pada 1950-1962.

Kedua proklamirkan kemerdekaan ini bahkan mengakui beda pendapat dan pendirian terjadi sejak tahun 1930-an saat keduanya menggerakan perjuangan kemerdekaan. ”Hatta berlainan sekali denganku dalam sifat dan pembawaan,” kata Presiden Sukarno dalam bukunya Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat karangan Cindy Adams. Tapi, Bung Karno sendiri, termasuk pada masa jayanya PKI tetap memuji Bung Hatta selama perjuangannya itu.

Dalam perjuangan di masa itu, menurut Bung Karno, Hatta menekankan pada kader-kader, sedangkan ia lebih memilih mendatangi secara langsung rakyat jelata dan membakar hati mereka seperti yang selama ini dilakukannya. Menurut Bung Karno, cara yang dilakukan Hatta memerlukan waktu sangat lama dan ‘baru tercapai bila dunia kiamat’.

Tapi Hatta tetap pada pendirian melakukan perjuangan melalui pendidikan praktis kepada rakyat. Cara ini, menurutnya lebih baik dari atas dasar daya tarik pribadi seorang pemimpin seperti yang dilakukan Bung Karno. Hingga apabila pimpinan atasan tidak ada, praktis tetap berjalan dengan pimpinan bawahan. Karena selama ini, kata Hatta, waktu itu, kalau Sukarno tidak ada, praktis partai tidak berjalan.

Baca Juga: Paus Fransiskus, Sapa 8,3 Juta Umat Katolik Indonesia

I Wangsa Widjaya, dalam buku Mengenang Bung Hatta, menulis, di balik perbedaan yang ada antara kedua tokoh nasional ini, ada sesuatu yang sangat unik. ”Antara Bung Karno dan Bung Hatta telah terjalan satu hubungan yang amat akrab sehingga orang menyebutnya dwitunggal.”

Sikap erat kedua tokoh nasional Indonesia ini, sudah ditampakkan pada masa pendudukan Jepang. Bahkan, pada 17 Agustus 1945, saat Bung Karno didesak oleh para pemuda untuk memproklamirkan kemerdekaan, ia menolak sebelum Bung Hatta datang.

Memang kemudian dwitunggal itu tidak berfungsi lagi dengan pengunduran diri Bung Hatta sebagai wakil presiden pada 1 Desember 1956. Karena terjadi beberapa perbedaan prinsipil antara keduanya. Hatta tidak sependapat dengan Bung Karno bahwa revolusi belum selesai dan agak mengenyampingkan pembangunan. Ia berpendapat revolusi sudah selesai dengan tercapainya kermerdekaan.

Ada peneliti yang berpendapat perbedaan Soekarno dan Hatta , dipengaruhi kondisi lingkungan sosial, budaya, politik dan ekonomi dapat mempengaruhi pemikiran Soekarno maupun Hatta. Selain, konsep pemikiran Soekarno tentang massa-aksi dan konsep pendidikan kader dari Hatta merupakan stratetegi yang berbeda pada era pergerakan nasional untuk mencapai Indonesia merdeka.

Dan adanya pemikiran Soekarno dan Hatta tentang strategi yang digunakan dalam berjuang melalui organisasi bagi keutuhan persatuan yang terjadi pada era pergerakan nasional.

Soekarno adalah penggempur, pembangkit semangat rakyat, sedangkan Hatta adalah organisator, penata siasat hasil perjuangan.

Soekarno, ingin mengakhiri peran partai. Hatta sebagai seorang demokrat,  masih percaya pada sistem demokrasi yang bercirikan banyak partai politik. Selain itu, Hatta juga menentang konsepsi Presiden serta ide tentang Demokrasi Terpimpin.

Soekarno-Hatta, memisahkan urusan pribadi dan politik. Juga Megawati, mengklaim hubungan dengan Jokowi, tidak berubah. Mega beralasan, ia tak mendukung Jokowi, 3 periode karena konstitusi. Tapi ada apa Jokowi, tak datang saat HUT PDIP. Padahal Jokowi, adalah petugas partai. Ia masih mengantongi KTA PDIP. Samakah perbedaan pendapat Soekarno-Hatta dengan kasus Mega-Jokowi? Menurut akal sehat saya, friksi Mega-Jokowi, cenderung beda kepentingan. Benar atau benar, kata KH Zainuddin MZ, almarhum. ([email protected])

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU