SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Presiden Joko Widodo, Senin, (19/8/2024), lalu mengocok ulang atau reshuffle kabinet. Hari yang sama, Jokowi juga melantik 3 Kepala Badan di Istana Negara, Jakarta. Akal sehat saya bertanya tanya ada agenda apa?
Ini mengingat kekuasaan Jokowi, tinggal dua bulan? Apa Jokowi, punya agenda yang tersembunyi?
Baca Juga: Nyali KPK, Diuji Menantu Jokowi
Apakah Jokowi, memikirkan dalam waktu dua bulan, tiga menteri itu mampu mengkonsolidasikan kementeriannya. Apalagi ada lembaga negara yang baru dibentuk.
Apalagi, Kepala Badan Gizi Nasional, Dadan Hindayana, belum punya tim. Dadan, berencana
akan menyusun struktur organisasi Badan Gizi Nasional.
Sebagai wartawan, saya sering mendengar arahan seorang Gubernur.
Kepala daerah selalu minta para pejabat yang dilantik segera melakukan konsolidasi dan pembenahan di tempat baru.
Artinya, pejabat di tempat baru, ada sesuatu yang baru, perbaikan baru. Dan bukan sebaliknya, malah mundur atau jalan di tempat. Berapa lama sebuah konsolidasi di kementerian dan lembaga negara? Apa Pak Jokowi, memahami sebuah konsolidasi kementerian yang menyerap APBN, bisa dijalankan dalam waktu sisanya menjadi Presiden?
***
Ternyata, pada hari yang sama, Ketua DPP PDIP, Deddy Yevry Sitorus menyoroti soal pelantikan menteri dengan waktu yang mepet.
Deddy, mengistilahkannya, triangle political game . Ini tudingan di balik keputusan Presiden Joko Widodo kembali merombak sejumlah menterinya di menit-menit akhir jelang transisi pemerintahan ke Prabowo Subianto.
Menurut Deddy, triangle yang dimaksud yakni menghadapi Prabowo untuk lima tahun ke depan. Kedua, melumpuhkan PDIP, dan ketiga menguasai sumber pendanaan politik.
"Kesimpulan saya reshuffle ini adalah triangle political game: menghadapi Prabowo, melumpuhkan PDIP dan menguasai sumber pendanaan politik. Alasan lainnya menurut saya tak lebih dari omong kosong!" Ucap Deddy dalam keterangannya, Senin (19/8).
Deddy mengaku tak melihat alasan etis, substansial, atau teknis birokratis di balik langkah tersebut. Justru, kata dia, Jokowi tengah mempersiapkan perlawanan untuk Prabowo lima tahun ke depan.
Sehingga, sulit bagi menteri baru memahami kinerjanya dalam waktu yang cukup sempit tersebut.
"Dalam waktu yang sangat singkat tersebut, sangatlah sulit untuk mewujudkan efektivitas pemerintahan, kecuali ada agenda-agenda politik tersembunyi di dalamnya," kata dia.
Kedua, menurut Chico, Juru bicara PDIP, Jokowi tak etis mengganti menterinya di akhir masa jabatan. Sebab, hal itu mestinya dilakukan oleh Presiden baru. Chico, membaca hal itu sebagai langkah Jokowi untuk menempatkan orang-orangnya ke Prabowo.
Apakah analisis politisi PDIP ini benar atau masuk akal? Kembali ke kita.
Baca Juga: Menyorot Gaya Hidup Bobby, Kaesang dan Paus
Akal sehat saya berkata analisis ini bisa untuk menguraikan suatu hal menjadi komponen-komponen kecil yang punya hubungan-hubungannya, sehingga komponen tersebut dapat dipahami dengan mudah.
**
Soal ini saya baca Pasal 4 dan Pasal 5 ayat (2) UUD Tahun 1945.
Pasal 4 menyatakan, Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD. Kemudian, Pasal 5 menyatakan Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.
Nah dalam sistem pemerintahan presidensil, kepala negara juga sekaligus sebagai kepala pemerintahan.
Dalam sistem ini, presiden memiliki kekuasaan eksekutif yang luas dan relatif mandiri, terpisah dari lembaga legislatif.
Presiden yang memiliki kekuasaan eksekutif yang luas, mencakup pengangkatan dan pemecatan pejabat pemerintah, pelaksanaan kebijakan, dan administrasi negara.
Termasuk Presiden memiliki hak untuk menunjuk pejabat pemerintahan kunci, seperti menteri dan kepala lembaga eksekutif. Namun, di beberapa negara, pengangkatan tersebut mungkin memerlukan persetujuan dari badan legislatif.
Baca Juga: Pengurus Tandingan Sindiran KH Ma'ruf Amin
Istilah politiknya presiden punya hak prerogatif.
Dalam prespektif hukum administrasi negara, hak prerogatif berbeda dengan hak eksekutif presiden.
Hak prerogatif memberikan ruang yang luas kepada presiden untuk menggunakan kekuasaannya dalam rangka mengisi ruang yang yang belum diatur dalam konstitusi . Ini berlaku sepanjang untuk menjalankan tugas eksekutifnya.
Literasi yang saya baca, batasan hak prerogatif adalah penggunaannya yang dibatasi pada keadaan darurat sampai dengan lembaga legislatif dapat mengaturnya dalam perundangundangan.
Apakah Resuffle kali ini masuk keadaan darurat? Darurat apa? Bisa jadi analisis politisi PDIP itu ada benarnya.
Apalagi ada Pasal 71 ayat (2), Pasal 71 ayat (4) dan Pasal 162 ayat (3) Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016. Dalam Peraturan Mendagri (Permendagri) Nomor 73 Tahun 2016 tentang Pendelegasian Wewenang Penandatangani Persetujuan Tertulis untuk Melakukan Penggantian Pejabat di Lingkungan Pemerintah Daerah.
Dalam Permendagri itu ditegaskan, Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri.
Memang secara hirarki perundangan undangan Permendagri dibawah UU dan Peraturan Presiden. Pertanyaan akal sehat saya, apa urgensi mengganti menteri tergopoh gopoh? Apa Pak Jokowi, tidak sabar menunggu pergantian presiden baru?
Politisi Deddy malah tak melihat alasan etis, substansial, atau teknis birokratis di balik langkah
Resuffle, Senin lalu? ([email protected])
Editor : Moch Ilham