SURABAYAPAGI.COM, Jakarta - Termyata Universitas Diponegoro (Undip) tak merespon positif hasil investigasi Kemenkes, terkait kematian mahasiswi PPDS Anestesi Undip dokter Aulia Risma Lestari.
Buktinya, Guru Besar Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Diponegoro (Undip) Zaenal Muttaqien mengklaim tidak ada perundungan (bullying) yang dilakukan senior terhadap mahasiswi PPDS Anestesi Undip dokter Aulia Risma Lestari.
Baca Juga: Hasil Investigasi Meninggalnya dr 'ARL', Digelar di Kepolisian
Menurut Zaenal Muttaqien, pendapatnya berdasarkan rekaman suara dokter Aulia sebelum meninggal.
"Tidak ditemukan terkait juga dari data bukti rekaman suara yang bersangkutan saat menjelang sakit, menderita sakit semuanya tidak ada satupun kata yang mengatakan, menuduh atau bukti bahwa itu suatu bentuk perundungan, yang kita sebut perundungan dari individu kepada individu, dari senior kepada junior," kata Zaenal, Selasa (3/9/2024).
Ia mengklaim dari rekaman suara, dokter Aulia hanya mengeluhkan beban kerja yang diterima. Zaenal mengatakan dokter Aulia tak menyebut-nyebut soal perundungan.
"Semua yang disampaikan oleh yang bersangkutan terkait beban kerja yang didapatkan sebagai seorang pelaksana pelayanan di bawah tanggung jawab dokter spesialisnya di Rumah Sakit Kariadi," ujarnya.
Sementara itu, Kemenkes mengungkap ada dugaan pemalakan dalam kasus perundungan berujung kematian dokter Aulia.
Permintaan Menteri Kesehatan
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin meminta pelaku perundungan dan pemerasan di Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Universitas Diponegoro Semarang dipidanakan. Menkes menuturkan bahwa pihaknya mendorong proses hukum di kepolisian agar terus berjalan.
"Karena itu sudah masuk, saya mau kasih ke polisi saja. Biar dipidanakan saja supaya semuanya jelas, orang-orang juga tahu dan ada efek jeranya," kata Menkes dikutip dari Antara, Selasa (3/9/2024).
Menurut Menkes, penegakan hukum pada pelaku perundungan di lingkungan PPDS harus dilaksanakan. Ini demi memberikan kepastian hukum pada korban dan memberikan perlindungan bagi peserta PPDS yang mengalami perundungan.
Baca Juga: Unpad Ngaku Miris Atas Tindakan Bullying Dokter Didik Bedah Saraf
Seperti yang diketahui sebelumnya, seorang peserta PPDS Undip berinisial ARL meninggal dunia akibat bunuh diri diduga tidak kuat mengalami perundungan dari senior. Berdasarkan investigasi Kemenkes, ARL bahkan diduga juga mengalami pemalakan dan harus mengeluarkan Rp 20-40 juta sebulan di luar biaya pendidikan.
Tekanan dalam Pembelajaran
Terpisah, Jubir Kemenkes Mohammad Syahril menyebut temuan itu didapatkan melalui proses investigasi yang dilakukan Kemenkes.
"Permintaan uang ini berkisar antara Rp20 hingga Rp40 juta per bulan," kata Syahril dalam keterangannya, Minggu (1/9/2024).
Pungutan ini menurut Syahril memberatkan dokter Aulia dan keluarga. Faktor itu pun diduga yang menjadi pemicu awal almarhumah mengalami tekanan dalam pembelajaran karena tidak menduga akan adanya pungutan dengan nilai sebesar itu.
Baca Juga: Kemendikbudristek, Undip-UNS Solo, Diobok-obok KPK
Kemenkes juga telah menghentikan sementara program studi anestesi FK Undip di RSUP Dr Kariadi Semarang buntut kematian dokter Aulia.
Dokter Residen PPDS Membantah
Dokter residen atau mahasiswa PPDS Undip anestesi RS Kariadi, Angga Rian, membantah adanya pemalakan. Biaya yang selama ini dikeluarkan di luar keperluan pendidikan adalah iuran rumah tangga dan sifatnya diklaim sukarela.
"Membeli makanan itu sistemnya gotong royong, kenapa? Karena program operasi Kariadi ini 24 jam, untuk makan malam kita tidak disediakan makan malam oleh rumah sakit. Nah sementara residen ini posisinya masih di kamar operasi menjalankan pembiusan, salah satu sistemnya adalah kita dibelikan makanan dan itu akan berlanjut seperti itu terus sampai program operasinya bisa selesai," kata Angga dalam konferensi pers, Senin (2/9).
"Tapi untuk selanjutnya semester 2, 3, 4 dia tidak perlu membayar lagi karena semester 1 dia sudah membelikan makan," lanjut Angga. n erc/jk/sg/rmc
Editor : Moch Ilham