SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Permusuhan politik itu bisa jadi hubungan pribadi renggang. Contoh, perseteruan Jokowi dan Megawati. Jokowi, yang masih berkuasa, tak digubris Mega. Ini sejarah!. Seorang presiden tak didekati Ketua Umum PDIP. Bagi Megawati, ini perseteruan kedua, setelah ia berseberangan dengan mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Fenomena apa? Saya duga ketersinggungan. Mega adalah politisi wanita.
Apakah politisi wanita Indonesia mudah tersinggung? Keras dan tegas seperti Megawati.
Baca Juga: Muncul Juga Politik Dinasti di Parlemen, Fenomena Apa?
***
Hasil analisis terhadap lebih dari 500 penelitian mengenai dampak pemimpin perempuan dalam politik dan kehidupan publik menunjukkan, perempuan membawa gaya kepemimpinan kolaboratif dan inklusif.
Ada temuan utama dalam laporan yang dibuat Westminster Foundation for Democracy bekerja sama dengan Global Institute for Women’s Leadership di King’s College London (2021) . Temuan ini menegaskan pentingnya kontribusi perempuan bagi demokrasi.
Apalagi dalam budaya patriarkhi. Sistem yang masih terjaga dan masih terawat dalam kehidupan masyarakat. Ada sebuah anggapan bahwa derajat perempuan adalah dibawah laki-laki. Perempuan adalah mahluk lemah dan harus dilindungi sehingga harus di perlakukan sesuai dengan kemauan laki-laki. Khawatirnya ialah malah berujung pada kasus kekerasan terhadap perempuan.
Tak kalah bahayanya adalah efek dari stigma ini. Ketika perempuan menganggap ini menjadi sesuatu yang tabuh.
Dengan lahirnya para kartini baru seperti Megawati Soekarnoputri sebagai presiden perempuan pertama di Indonesia menjadi bukti bahwa perempuan tidak kalah kuat dibanding dengan kaum laki-laki.
Disusul Sri Mulyani menteri keuangan dan Retno Marsudi, menteri luar negeri. Mereka adalah sebagian dari banyaknya perempuan hebat yang memiliki peranan penting dalam Negara ini.
***
Baca Juga: Pak Kapolrestabes, Info Casino Gelap di Surabaya Barat
Bung Karno, menulis wanita bukunya yang berjudul ‘’Sarinah; kewajiban wanita menjalankan kewajibannya’’.
Wanita Indonesia, kata BK, kewajiban telah terang! Sekarang ikutlah serta mutlak dalam usaha menyelamatkan republik. Dan nanti jika republik telah selamat, ikutlah serta mutlak dalam usaha menyusun Negara nasional.
Dan di dalam masyarakat keadilan sosial dan kesejahteraan sosial itulah engkau nanti menjadi wanita yang bahagia dan wanita yang Merdeka!
Eugene Dominic Genovese, seorang sejarawan Amerika Serikat, berpendapat bahwa keikutsertaan perempuan dalam politik disebabkan oleh tiga hal, dari kalangan politisi (termasuk orang tua atau suami), dikader oleh partai, atau memiliki kapasitas individu untuk terjun di bidang politik. Bagi Genovese, unsur paling dominan adalah unsur pertama dan kedua. Sedangkan yang ketiga masih minim karena perempuan yang benar-benar meniti karier politik atas kemampuan dan kapasitasnya bisa dihitung jari.
Dalam konteks Indonesia, pandangan Genovese ini ada juga benarnya, sebab hampir semua politisi perempuan, terutama menjadi anggota legislatif karena faktor keturunan atau kaderdisasi dari partai politik. Idealnya, perempuan seharusnya meniti karier politiknya atas dasar kepintaran dan kemampuannya sendiri, bukan karena menjadi pengikut.
Baca Juga: Ujian Polri Ungkap Otak Pembubaran Diskusi Tokoh
Persoalannya adalah keterlibatan perempuan dalam kancah perpolitikan Indonesia ada yang berjalan mulus.
Misal Megawati. Dalam perjalanannya, ia mengalami paling tidak dua hambatan, yakni hambatan struktural dan kultural. Secara struktural, masih menguatnya dominasi laki-laki dalam segala aspek yang berkaitan dengan jabatan-jabatan struktural terutama jabatan strategis di pemerintahan atau ketua partai politik.
Fokusnya adalah soal domestik, semisal memasak, berhias, memelihara anak, dan sebagainya. Fase kedua, tujuan perjuangannya adalah persamaan hak legal terhadap kaum pria. Fokusnya dalam berbagai bidang, yakni pekerjaan, akses pendidikan, dan hak untuk memilih (voting) serta hak keterwakilan dalam demokrasi. Menurut Bung Karno, dalam perjuangannya, politisi wanita punya visi feminis . Dan ini sering dinamakan “emansipasi wanita” namun aksinya bersifat menentang kepada kaum lelaki. Megawati membuktikannya.
Dalam paragraf-paragraf awal buku Sarinah, Sukarno menceritakan tentang seorang sahabatnya yang guru di Bengkulu. Pria berpendidikan ini memiliki seorang istri yang begitu disayanginya. Sukarno akrab dengan pasangan suami-istri tersebut. Namun, ia menyayangkan sikap kolot.
“Sang suami di alam Bengkulu termasuk golongan ‘modern’, tetapi istrinya kadang-kadang mengeluh kepada saya, bahwa ia merasa dirinya terlalu dikurung,” tulis Sukarno.
Nah, Megawati, bisa menggambarkan seorang istri yang herois. Ia berani bermusuhan dengan SBY dan Jokowi. Bila kelak Megawati bertemu Prabowo, tanpa Jokowi, ia membuat sejarah menjadi politisi wanita yang punya visi feminis. Mega jalankan “emansipasi wanita” yang menentang kaum lelaki. ([email protected])
Editor : Moch Ilham