SURABAYAPAGI.COM, Jakarta - Cara menghitung kerugian kegara kejaksaan berbeda dalam kasus dugaan korupsi Kereta Api. Menurut pendapat majelis hakim bila ikuti tuntutan jaksa, negara telah berbuat tidak adil dan mengambil keuntungan yang tidak sah dari terdakwa.
"Ini karena senyatanya pekerjaan proyek telah dilaksanakan oleh terdakwa dan barang-barang yang terpasang juga dibeli dengan menggunakan uang dari hasil pembayaran pekerjaan pembangunan jalur KA Besitang-Langsa," kata hakim saat membacakan pertimbangan vonis di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Senin (25/11/2024).
Baca Juga: Dituntut 192 Bulan dan Bayar Uang Pengganti Rp 1,35 Triliun, Budi Said, Bunyek!
Oleh karena itu, Hakim dapat menentukan nilai kerugian keuangan negara suatu kasus berdasarkan fakta persidangan tidak harus nuruti tuntutan Jaksa Penuntut umum.
Dasar Hakim Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016. Hakim menyatakan total kerugian keuangan negara dalam kasus pembangunan jalur KA Besitang-Langsa sebesar Rp 30.885.165.420, bukan tuntutan jaksa yang gunakan perhitungan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebesar Rp 1.157.087.853.322 (Rp 1,1 triliun).
"Hakim Menimbang bahwa oleh karena adanya fakta hukum yang demikian, maka majelis hakim dalam perkara ini tidak sependapat dengan perhitungan kerugian keuangan negara dari BPKP, namun majelis hakim menghitung sendiri besarnya kerugian negara yang timbul dalam perkara ini sebagaimana diatur pada angka 6 Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 tahun 2016," ungkap hakim.
"Menimbang bahwa dengan demikian, menurut pendapat majelis hakim, besarnya kerugian keuangan negara yang timbul dalam perkara ini hanya sebesar Rp 30.885.165.420," tambah hakim.
Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat menyatakan, kasus korupsi proyek pembangunan jalur kereta api Besitang-Langsa menimbulkan kerugian negara sebesar Rp 30 miliar. Putusan Hakim tersebut berbeda dari pendapat Jaksa Penuntut Umum yang menyebutkan kerugian negara akibat korupsi proyek tersebut sebesar Rp Rp 1.157.087.853.322 (Rp 1,1 triliun).
"Menurut pendapat majelis hakim, besarnya kerugian keuangan negara yang timbul dalam perkara ini sebesar Rp 30.885.165.420," kata hakim saat membacakan pertimbangan vonis di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta.
Terkait hal ini dalam pertimbangannya, Hakim Anggota Ali Muhtarom menyebut, sejatinya terdapat pekerjaan proyek pembangunan Rel Kereta Besitang-Langsa itu telah dilaksanakan para terdakwa.
"Maka menurut Majelis Hakim negara telah berbuat tidak adil dan mengambil keuntungan yang tidak sah dari terdakwa. Karena senyatanya pekerjaan tersebut telah dilaksanakan oleh terdakwa," ucap Hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (25/11/2024).
Tak Seiya Dengan JPU
Majelis hakim tidak sependapat dengan jaksa penuntut umum (JPU) soal jumlah kerugian keuangan negara dalam kasus korupsi terkait proyek pembangunan jalur kereta api (KA) -Langsa. Hakim menyatakan total kerugian keuangan negara dalam kasus ini sebesar Rp 30.885.165.420 (Rp 30,8 miliar).
Diketahui, dalam surat dakwaan, jaksa menyebut total kerugian keuangan negara dalam kasus ini berdasarkan perhitungan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebesar Rp 1.157.087.853.322 (Rp 1,1 triliun). Hakim menyatakan kerugian keuangan negara dalam kasus ini tak bisa dihitung secara total loss karena proyek sudah dikerjakan.
"Menimbang bahwa apabila pekerjaan pembangunan Jalur KA Besitang-Langsa pada Balai Teknis Perkeretapian Medan tahun 2015-2023 tetap dihitung secara total loss dengan dasar belum bisa dimanfaatkan atau dioperasionalkan, maka menurut pendapat majelis hakim negara telah berbuat tidak adil dan mengambil keuntungan yang tidak sah dari terdakwa karena senyatanya pekerjaan tersebut telah dilaksanakan oleh terdakwa dan barang-barang yang terpasang juga dibeli dengan menggunakan uang dari hasil pembayaran pekerjaan pembangunan jalur KA Besitang-Langsa," kata hakim saat membacakan pertimbangan vonis di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Baca Juga: Direktur Keuangan Menjerit, Dituntut 12 Tahun dan Uang Pengganti Rp 493 miliar
Para Terdakwa Korupsi
Duduk sebagai terdakwa dalam sidang ini adalah Mantan Kepala Balai Teknik Perkeretaapian (BTP) Wilayah Sumatera Bagian Utara, Nur Setiawan Sidik, Amanna Gappa selaku Kepala BTP Sumbagut dan Kuasa Pengguna Anggaran periode Juli 2017-Juli 2018. Kemudian, Arista Gunawan selaku team leader tenaga ahli PT Dardela Yasa Guna, serta Freddy Gondowardojo selaku pemilik PT Tiga Putra Mandiri Jaya dan PT Mitra Kerja Bersama.
Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat Djuyamto menyatakan bahwa Nur Setiawan Sidik telah terbukti sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama sebagaimana dakwaan primer.
Ia divonis pidana penjara selama 4 tahun dan denda sebesar Rp 250 juta. Adapun vonis tersebut lebih dari tuntutan jaksa yakni 8 tahun penjara.
"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Nur Setiawan Sidik oleh karena itu dengan pidana penjara selama 4 tahun, denda sebesar Rp 250 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar akan diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan," kata Majelis Hakim Djuyamto.
Majelis Hakim juga menjatuhkan pidana tambahan kepada Terdakwa Nur Setiawan Sidik berupa pembayaran uang pengganti sejumlah Rp 1,5 miliar dengan ketentuan apabila tidak dapat membayar uang pengganti tersebut selama satu bulan setelah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita dan dilelang untuk menutup uang pengganti tersebut.
"Dan dalam hal terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka diganti dengan pidana penjara selama 1 tahun," kata Majelis Hakim Djuyamto.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyebut sejumlah hal memberatkan putusan, yakni perbuatan Nur Setiawan Sidik tidak mendukung program pemerintah dalam rangka penyelengaran negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta ikut menikmati hasil tindak pidana korupsi.
Baca Juga: Tuntutan Terdakwa Budi Said Molor, Hakim Malah Tetapkan Vonisnya
Adapun sejumlah hal yang meringankan putusan yaitu Nur Setiawan Sidik berlaku sopan selama persidangan, memiliki tanggungan keluarga, dan belum pernah dihukum.
Kemudian Majelis Hakim Djuyamto membacakan vonis 3 terdakwa lainnya yaitu, Amana Gappa divonis pidana penjara selama 4,5 tahun dan denda Rp 250 juta subsider 3 bulan dan uang pengganti Rp 3.292.180.000 subsider 2 tahun.
Lalu Freddy Gondowardojo divonis pidana penjara selama 4,5 tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsider 3 bulan kurungan dan uang pengganti Rp 1.536.034.600 subsider 1,5 tahun kurungan. Terakhir, Arista Gunawan divonis pidana penjara selama 4 tahun penjara dan denda Rp 250 subsider 3 bulan.
Tuntutan Jaksa Penuntut Umum
Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Agung sebelumnya menuntut Nur Setiawan dihukum 8 tahun penjara dan denda Rp 750 juta subsider 6 bulan kurungan.
Jaksa juga menuntut Nur Setiawan dihukum dengan pidana tambahan berupa uang pengganti sebesar Rp 1,5 miliar dikurangi aset yang disita penyidik. n erc/jk/rmc
Editor : Moch Ilham