Pilkada Serentak Terlalu Mahal, What Next?

author surabayapagi.com

- Pewarta

Minggu, 15 Des 2024 21:32 WIB

Pilkada Serentak Terlalu Mahal, What Next?

i

Raditya M Khadaffi

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Judul berita utama harian Surabaya Pagi, edisi hari Sabtu (14/12/2024) kemarin, "Presiden Akui Sistem Pilkada Terlalu Mahal", dan sub judul "Prabowo Berencana Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Dipilih DPRD Lagi, Seperti Sebelum Tahun 2020.

Berapa biayanya? Anggaran Pilkada Serentak 2024 ditaksir mencapai lebih dari Rp 41 triliun. Jumlah ini dihitung berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) per 8 Juli 2024.

Baca Juga: Hakim-hakim Miliarder, Ternyata Hasil Kejahatan

Angka ini bersumber dari besar anggaran yang telah disepakati pemerintah daerah (pemda) dalam naskah perjanjian hibah daerah (NPHD) Pilkada 2024 masing-masing bersama KPU, Bawaslu, TNI, dan kepolisian setempat.

Sejak tahun 2023, Kemendagri bahkan telah meminta setiap pemerintah daerah menyiapkan anggaran pilkada serentak sebanyak 40 persen dari APBD 2023 dan 60 persen dari APBD 2024.

Dalam data yang dipaparkan Mendagri Tito, sebanyak 541 pemda sudah menganggarkan total Rp 28,75 triliun dana Pilkada 2024 untuk KPU masing-masing wilayah.

Maklum, Kemendagri telah meminta setiap pemerintah daerah menyiapkan anggaran pilkada serentak sebanyak 40 persen dari APBD 2023 dan 60 persen dari APBD 2024. Tito menjelaskan, ini merupakan siasat supaya pemerintah daerah (pemda) tak mengalami beban anggaran terlalu besar.

Dalam data yang dipaparkan Tito pada forum tersebut, sebanyak 541 pemda sudah menganggarkan total Rp 28,75 triliun dana Pilkada 2024 untuk KPU masing-masing wilayah.

Pada sisi pengawasan, 518 pemda menyiapkan anggaran sejumlah Rp 8,55 triliun buat Bawaslu setempat. Di luar itu, masih ada 23 pemda yang seluruhnya ada di Aceh yang belum meneken NPHD dengan Panwaslu. Dari sisi pengamanan, 314 pemda sudah mengalokasikan dana Rp 871,66 miliar untuk TNI pada kesatuan setempat. Kemudian, 333 pemda telah menyediakan dana Rp 2,83 triliun untuk kepolisian setempat. Total sekitar Rp 41 triliun dana pemda untuk melaksanakan pilkada di masing-masing wilayah itu kemungkinan masih dapat bertambah, sebab belum semua pemda meneken NPHD dengan pemangku kepentingan terkait.

Juga pada sisi pengawasan, 518 pemda menyiapkan anggaran sejumlah Rp 8,55 triliun buat Bawaslu setempat. Di luar itu, masih ada 23 pemda yang seluruhnya ada di Aceh yang belum meneken NPHD dengan Panwaslu.

 

***

 

Berbeda pada tahun 2019, Pemilihan Presiden (Pilpres) dilaksanakan serentak dengan Pemilihan Anggota Legislatif (Pileg), yaitu pada 17 April 2019 ini.

Untuk mendukung suksesnya pelaksanaan Pemilu serentak ini, pemerintah melalui Kementerian Keuangan mengalokasikan anggaran sebesar Rp25,59 triliun atau naik 61% dibanding anggaran untuk Pemilu 2014 sebesar Rp15,62 triliun.

“Berdasarkan data, alokasi anggaran untuk persiapan awal di tahun 2017 sekitar Rp465,71 miliar. Kemudian pada 2018 (alokasi) mencapai Rp9,33 triliun. Selanjutnya di 2019 ini, kita sudah menganggarkan sampai Rp15,79 triliun. Jadi totalnya dalam 3 tahun itu kita menyiapkan anggaran sebanyak Rp25,59 triliun,” kata Direktur Jenderal Anggaran (Dirjen Anggaran) Kementerian Keuangan, Askolani, sebagaimana dikutip www.kemenkeu.go.id, Selasa (26/3).

Askolani menjelaskan, alokasi penganggaran untuk Pemilu 2019 terbagi dalam kelompok penyelenggaraan, pengawasan dan kegiatan pendukung seperti keamanan.

Selain anggaran penyelenggaraan Pemilu sebesar Rp25,6 triliun. Dana juga dialokasikan untuk pengawasan sebesar Rp4,85 triliun (naik dibanding 2014 sebesar Rp3,67 triliun), dan anggaran keamanan dialokasikan sebesar Rp3,29 triliun (anggaran 2014 Rp1,7 triliun). Begitupun anggaran untuk kegiatan pendukung pemilu, meningkat dari Rp1,7 triliun pada Pemilu 2014 menjadi Rp3,29 triliun pada Pemilu 2019.

Askolani menyampaikan terdapat dua faktor utama kenaikan anggaran pemilu ini. Pertama, adanya pemekaran daerah. “KPU Provinsi jumlahnya bertambah satu ya, dari 33 sekarang jadi 34. Kemudian untuk KPU kabupaten, itu bertambah 17 KPU Kabupaten dari 497 menjadi 514 KPU Kabupaten/Kota.

Hal ini selanjutnya berdampak pula pada kenaikan jumlah penyelenggara pemilu di daerah, baik PPK, PPS, hingga KPPS. Inilah yang menyebabkan biaya bertambah. Karena memang penyelenggaranya dan lembaganya juga bertambah, ungkap Askolani.

Kedua, adanya kenaikan honorarium bagi para penyelenggara pemilu, seperti PPK, PPS, dan KPPS. Termasuk juga panitia yang ada di luar negeri.

Pilpres Tahun 2014, ada biaya khusus yang tercantum dalam APBN 2014. Biaya untuk menciptakan pemilihan umum yang sehat, terencana, dan demokratis serta menjaga stabillitas nasional.

Menurut penjelasan dalam nota keuangan, pemerintah mengharapkan biaya tersebut dapat meningkatkan partisipasi politik masyarakat pada 2014 hingga 75 persen.

Walawalawala, ada-ada saja argumentasi pemerintah.

 

***

 

Mengapa pilkada mesti dilakukan langsung dan serentak? Dari berbagai sumber, disebutkan Pilkada lansung perlu dilakukan dengan berbagai alasan. Dalam artikel “Dinamika Politik Pilkada Serentak” yang diterbitkan Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI 2017, disebutkan sejumlah latar belakang perlunya penyelenggaraan pilkada langsung di negara ini.

Pertama, pilkada secara langsung diperlukan untuk memutus mata-rantai oligarki pimpinan partai dalam menentukan pasangan kepala dan wakil kepala daerah yang dipilih oleh DPRD. Selain itu, pemilihan oleh segelintir anggota DPRD pun cenderung oligarkis karena berpotensi sekadar memperjuangkan kepentingan para elite politik belaka.

Kedua, pilkada langsung diharapkan dapat meningkatkan kualitas kedaulatan dan partisipasi rakyat. Secara langsung, rakyat dapat menentukan dan memilih pasangan calon yang dianggap terbaik dalam memperjuangan kepentingan mereka.

Ketiga, pilkada langsung bagaimanapun mewadahi proses seleksi kepemimpinan secara bottom–up dan sebaliknya meminimalkan lahirnya kepemimpinan yang di-drop dari atas atau bersifat top-down.

Keempat, pilkada langsung diharapkan dapat meminimalkan politik uang yang umumnya terjadi secara transaksional ketika pemilihan dilakukan oleh DPRD. Karena diasumsikan relatif bebas dari politik uang, pimpinan daerah produk pilkada langsung diharapkan dapat melembagakan tata kelola pemerintahan yang baik dan menegakkan pemerintah daerah yang bersih.

Kelima, pilkada langsung diharapkan meningkatkan kualitas legitimasi politik eksekutif daerah sehingga dapat mendorong stabilisasi politik dan efektivitas pemerintahan lokal.

Sementara itu, pilkada langsung yang diselenggarakan secara serentak sejak 2015 hingga sekarang dimaksudkan untuk meminimalkan biaya, baik sosial, politik, maupun ekonomi. Ada ada saja argumentasi politisi dan birokrat kita saat itu?

 

***

 

Baca Juga: Megawati Ingin ketemu Prabowo, Butuh Aktualisasi Diri

Diungkap, sebelum dilaksanakan secara serentak, hampir setiap pekan berlangsung pilkada di daerah atau wilayah yang berbeda-beda, baik di provinsi, maupun kabupaten dan kota. Selain itu, meskipun bersifat lokal, dinamika politik pilkada berpotensi menimbulkan gejolak yang dipicu banyak faktor.

Di samping sebagai upaya meminimalkan biaya sosial, politik, dan ekonomi, pilkada langsung secara serentak diharapkan lebih efisien dari segi waktu dan biaya. Kabarnya, walaupun pilkada berlangsung di daerah, segenap dinamika yang menyertainya menyita perhatian dan energi. Melalui pilkada serentak, segenap dinamika yang menyertai pilkada disatuwaktukan agar perhatian dan energi bangsa selebihnya tercurah untuk pembangunan.

Efisiensi yang sama diharapkan dapat dilakukan dalam pembiayaan pilkada.

Pada saat menjelang pilkada, APBD tersedot untuk segenap keperluan atas nama keberhasilan pilkada. Melalui pilkada serentak, yang sebagian pembiayaannya menjadi beban APBN, diharapkan terjadi efisiensi anggaran terkait pengeluaran untuk pesta demokrasi lokal tersebut.

Dalam rangka meminimalkan potensi konflik sosial dan gejolak politik serta demi lebih efektif dan efisien, pemerintah dan DPR bersepakat menyelenggarakan pilkada langsung secara serentak secara bertahap.

Walawala, ada saja argumentasi para politisi ini, sehingga usai pilkada serentak November 2024, Presiden Prabowo Subianto, mengevaluasi, biaya pilkada serentak 2024, terlalu mahal. Waduh! Nasi sudah jadi bubur!

 

***

 

Sejarah dipilih Kepala daerah secara langsung oleh rakyat, diawali pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintah menerbitkan UU 22/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. UU tersebut disahkan dan ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di pengujung masa tugasnya sebagai presiden pada 30 September 2014.

Undang-Undang tersebut mengembalikan mekanisme pemilihan kepala daerah kepada DPRD. Namun, UU 22/2014 mendapatkan penolakan yang luas oleh rakyat. Oleh karena itu, pada 2015 di era pemerintahan Presiden Joko Widodo, pemerintah menerbitkan UU 1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Menjadi Undang-Undang.

Dengan UU tersebut, kepala daerah kembali dipilih secara langsung oleh rakyat. Regulasi ini juga menandai era pilkada serentak. Beberapa tahun sebelumnya, pilkada dilaksanakan pada tahun yang sama, tetapi pelaksanaannya belum tentu pada bulan dan tanggal yang sama.

Sesuai dengan dinamika perkembangan politik, UU 1/2015 mengalami empat kali pembaruan. Pembaruan pertama melalui UU 8/2015 tentang Perubahan atas UU 1/2015. Pembaruan kedua terjadi melalui UU 10/2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU 1/2015. Pembaruan ketiga dilakukan melalui Perppu 2/2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU 1/2015. Perppu 2/2020 ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 4 Mei 2020. Produk hukum ini mengatur perlunya penundaan pelaksanaan pilkada serentak di tengah pandemi. Perubahan keempat terjadi melalui UU 6/2020 tentang Penetapan Perppu 2/2020 Menjadi Undang-Undang.

Dengan demikian, UU 6/2020 merupakan aturan terbaru sebagai dasar penyelenggaraan pilkada serentak di tengah pandemi Covid-19. Undang-Undang ini ditandatangani Presiden Joko Widodo pada tanggal 11 Agustus 2020 tanpa banyak mengubah ketentuan syarat pencalonan kepala daerah sebagaimana tercantum dalam UU 10/2016. Teknis tahapan dan pelaksanaan pilkada di tengah pandemi selanjutnya dituangkan dalam peraturan KPU.

Semula, Pilkada Serentak 2020 akan dilaksanakan pada tanggal 23 September 2020. Akan tetapi, karena pandemi virus korona belum mereda, pelaksanaan pilkada dilaksanakan pada 9 Desember 2020. Pilkada Serentak 2020 dilaksanakan di 270 daerah, dengan perincian 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.

Dan untuk pertama kalinya dalam sejarah, Indonesia akan menggelar pemilihan kepala daerah langsung serentak secara nasional. Sebanyak 545 daerah, terdiri dari 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota bakal melaksanakan pemungutan suara pada 27 November 2024.

Tak kurang dari 203.657.354 pemilih akan menggunakan hak pilihnya untuk menentukan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Mereka bakal memilih calon pemimpin daerah di dua tingkatan sekaligus, yakni tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

Jumlah daerah yang menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 secara serentak nasional kali ini merupakan yang terbanyak dibandingkan dengan beberapa gelombang pilkada serentak sebelumnya.

Baca Juga: Patrick Kluivert, Keturunan Suriname-Curacao, Dipacaki Indonesia

Sejarah mencatat konsep dipilihnya Kepala daerah secara langsung oleh rakyat, ada kontribusi dari Presiden Jokowi.

 

***

 

Retno Saraswati, menulis artikel di jurnal Masalah-Masalah Hukum yang berjudul “Calon Perseorangan: Pergeseran Paradigma Kekuasaan dalam Pemilu” tahun 2011.

Prof. Dr. Retno Saraswati, S.H., M.Hum, Dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (FH Undip) untuk periode 2024-2029 ini menyebutkan empat sistem pemilihan kepala daerah yang pernah digunakan di Indonesia sebelum pemilihan langsung.

Pertama, sistem penunjukan atau pengangkatan oleh pusat. Sistem ini sudah digunakan sejak masa Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, penjajahan Jepang, serta setelah kemerdekaan. Setelah kemerdekaan, pemerintah menggunakan sistem ini berdasarkan UU 1/1945, UU 22/1948, dan UU 1/1957.

Kedua, sistem penunjukan. Sistem ini digunakan berdasarkan Penetapan Presiden 6/1959 jo Penetapan Presiden 5/1960, UU 6/1956, dan UU 18/1956, atau yang dikenal dengan era Dekrit Presiden. Selain itu, sistem ini juga diberlakukan berdasarkan Penetapan Presiden 6/1959 jo Penetapan Presiden 5/1960 disertai alasan “situasi yang memaksa”.

Ketiga, sistem pemilihan perwakilan. Sistem ini merupakan perwujudan UU 5/1974. Dengan sistem ini, pemilihan kepala daerah dilakukan oleh lembaga DPRD. Selanjutnya, presiden akan menentukan calon kepala daerah terpilih.

Keempat, sistem pemilihan perwakilan (murni). Sistem ini mendasarkan pelaksanaannya pada UU 18/1965 dan UU 22/1999. Dengan sistem ini, kepala daerah dipilih secara murni oleh lembaga DPRD tanpa intervensi pemerintah pusat.

Selanjutnya, sejak 2005, pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung berdasarkan UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dasar hukum penyelenggaraan pilkada periode 2005-2008 menggunakan undang-undang tersebut yang kemudian mengalami dua kali perubahan.

Perubahan pertama melalui UU 8/2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 menjadi Undang-Undang. Perubahan kedua melalui UU 12/2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Dalam UU 32/2004, disebutkan bahwa partai politik merupakan satu-satunya institusi yang bisa mengajukan pasangan calon peserta pemilihan kepala daerah. Hal itu menunjukkan pilkada yang dilangsungkan pada periode 2005-2008 merupakan arena kuasa istimewa partai politik.

Dengan kata lain, partai politik memiliki posisi kuat dalam hal pengajuan pasangan calon peserta pilkada dibandingkan dengan institusi atau lembaga lain, misalnya organisasi kemasyarakatan, asosiasi, maupun lembaga berbadan hukum. Hanya melalui pintu partai politiklah seseorang atau kandidat bisa memiliki kesempatan untuk berkompetisi menjadi calon pemimpin di daerah.

Akan tetapi, berdasarkan UU 12/2008, sumber calon kepala daerah maupun wakilnya, tak lagi hanya berasal dari partai politik, tetapi juga dari calon perseorangan. Munculnya kesempatan bagi calon perseorangan berawal dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-V/2007 tanggal 23 Juli 2007 tentang Calon Perseorangan. Putusan MK tersebut lantas ditindaklanjuti dengan pembentukan UU 12/2008.

Dengan terbitnya UU 12/2008, terbuka kesempatan bagi calon kepala daerah untuk maju dalam pemilihan tanpa harus melalui pengajuan dari partai politik. Ini pikiran seorang akademisi.

Kini baru terbuka, Pilkada Serentak Terlalu Mahal? What Next? Atau What to do next?. Pesan saya dari meja redaksi, apa yang harus Presiden dan Legislatif lakukan setelah tahu Pilkada serentak terlalu mahal? Jangan omon-omon saja, pesan kampanye Prabowo, saat Pilpres lalu. ([email protected])

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU