Home / Pilpres 2019 : Catatan Politik Sekitar Peristiwa 21-22 Mei (2)

Kerusuhan 21 Mei, Ancam Pemerintah Sah

author surabayapagi.com

- Pewarta

Selasa, 28 Mei 2019 09:24 WIB

Kerusuhan 21 Mei, Ancam Pemerintah Sah

Dr. H. Tatang Istiawan Wartawan Surabaya Pagi Pada tanggal 21 Mei siang ada demonstrasi menentang hasil rekapitulasi Pilpres 2019 di depan Kantor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Jakarta Pusat. Unjuk rasa politik ini akhirnya berujung ricuh. Mabes Polri menduga aksi damai ini berakhir malam hari dan kemudian disusupi sekelompok orang yang melakukan provokasi dan akhirnya berakhir rusuh. Kerusuhan setelah sholat terawih ini berlanjut hingga Rabu (22/5/2019) pagi. Kerusuhan yang berpola sosial ini, meluas dari depan kantor Bawaslu hingga ke kawasan Tanah Abang, Jalan Sabang, dan Asrama Brimob di Jalan KS Tubun, Jakarta Barat. Usai penangkapan dan penahan terhadap ratusan perusuh, Polri menemukan dugaan kerusuhan yang dilakukan dengan scenario. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto menyebutkan, aksi yang berujung ricuh ini dilakukan oleh perusuh. Menurut Wiranto, ada skenario untuk membuat kekacauan yang bertujuan menyerang aparat keamanan dan menimbulkan antipati terhadap pemerintahan yang sah. Herannya, aksi oleh kelompok perusuh ini dilakukan hampir bersamaan setelah berakhirnya aksi yang dilakukan oleh massa yang menolak hasil Pilpres 2019. Para perusuh ada yang melakukan penyerangan asrama keluarga Brimob dan polisi . Tujuannya menciptakan kekacauan hingga menimbulkan korban. Wiranto sedih,korban ini dari kerusuhan ini dituduhkan kepada aparat keamanan bahwa aparat keamanan yang melakukan. Alhamdulillah, akhirnya Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Wiranto mengakui, pemerintah sudah mengetahui dalang dari aksi kerusuhan sejak Rabu (22/05). Tapi sampai semalam, dalang kerusuhan belum dibeberkan ke publik. Justru publik tertentu mendapat informasi dari Medsos, diantara dalang ada dua jenderal pensiunan dan anak mantan petinggi Negara ini. Minggu laliu, Wiranto, sudah memastikan, aparat keamanan akan bertindak tegas. Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian, bahkan menjelaskan lebih detail. Dalam aksi kerusuhan ditemukan uang dengan jumlah total Rp 6 juta. Uang ini dikantongi oleh para provokator yang ditangkap karena melakukan aksi anarkistis di depan gedung Bawaslu dan Asrama Brimob Petamburan. Provokator yang mayoritas anak-anak muda ini mengaku dibayar untuk melakukan aksinya. *** Mengacu pada keterangan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian ini, kerusuhan 21-22 Mei ini bukan kerusuhan politik tetapi kerusuhan sosial. Kerusuhan sosial oleh masa yang beringas mengaku santri ternyata ditemukan Polri mayoritas preman ini timbul karena ada pertikaian politik Pilpres 219. Dua kubu, Jokowi-Maruf dan Prabowo-Sandi, sama-sama mengeras mempertahankan hasil rekapitulasi final KPU 21 Mei yang diawali Quick Qount. Denyut permusuhan ini bisa kita rasakan bersama sejak pengumuman quick qount tanggal 17 April 2019. Permusuhan ini makin meluas karena ditiupkan setiap hari di media sosial. Praktis, sejak itu, elit politik sudah terbelah. Bahkan ditenggarai ada salah satu yang ikut menjadi sponsor utama kerusuhan sosial 21-22 Mei. Hanya sampai catatan ini saya tulis, pemerintah belum mengumumkan dalang dan pendana kerusuhan sosial yang dinilai oleh Mabes Polri, by design Kerusuhan sosial ini telah menimbulkan huru-hara dan keadaan yang tidak aman di beberapa wilayah di Jakarta Pusat dan Barat. Temuan Polri, kerusuhan ini melibatkan lapisan masyarakat kelas bawah dan usia muda dari beberapa daerah di luar Jakarta. Masyarakat yang berakal sehat insha Allah mengatakan, bila aparat kepolisian dan TNI tidak tegas, kerusuhan yang terorganisir ini dapat menciptakan potensi kerawanan tidak hanya di Jakarta, tetapi bisa di beberapa daerah. Saat itu, kerusuhan sempat terjadi di Medan dan Pontianak. Berpikir kesatuan, apabila Polri dan TNI tidak cepat mengatasi kerusuhan sosial itu dengan baik, bukan tidak mungkin dapat berdampak pada disintegrasi bangsa. Ini karena sebelum kerusuhan, beberapa elite politik kubu Prabowo-Sandi, seperti Amien Rais, Eggi Sudjana, Kivlan Zen dan Permadi sudah mengobarkan semangat people power dan revolusi. Alhamdulillah Polri dan TNI sigap, sehingga penciptaan people power hingga timbulnya kerusuhan sosial itu tidak berekses pada problem sosial-politik yang berkepanjangan. Sejauh ini, saya menangkap sinyal masih banyak anggota masyarakat yang sehat, sehingga tidak tergoda oleh provokator yang ingin memecah belah bangsa ini. Polri dan TNI tampaknya sampai kini masih punya cara untuk menyelesaikan kerusuhan sosial by desaign yang menumpang kebebasan berpendapat. Diakui atau tidak, pelaku kerusuhan yang ditangkap Polri ini, tak paham makna kebebasan dalam berpendapat sebagai kebebasan setiap orang dalam menyampaikan pendapat baik secara lisan maupun tulisan. Justru pada peristiwa tanggal 21 Mei ini kebebasan berpendapat siang-sore malah memunculkan kerusuhan sosial yang pelakunya berbeda ada preman dan ada yang mengaku santri. Para pelaku kerusuhan yang ditangkap terdiri pelaku pendana, pembuat setting, berperan provokator, operator lapangan sampai pembuat onar. Mereka ditangkapi karena melempari petugas dengan bom molotov, petasan, batu dan melakukan pembakaran asrama Brimob di Petamburan Jakarta. Bahkan diikuti menjarah warung dan merusak serta membakar mobil yang ada di jalanan. Kerusuhan sosial tengah malam sampai dini hari Rabu 22 Mei telah menimbulkan banyak korban nyawa, harta dan bangunan. Kerusuhan sosial ini justru merugikan orang banyak orang. *** Pasca kerusuhan sosial ini juga menimbulkan tanda tanya besar. Gubernur DKI Anies Baswedan yang mengaku baru pulang dari Jepang, pagi-pagi di kantornya mengumumkan korban mati dan luka di rawat di beberapa rumah sakit. Padahal Polri dan TNI, tidak tahu adanya jumlah korban. Banyak warganet yang menuding Anies menjadi humas pelaku kerusuhan sosial ini. Apalagi, jauh sebelum demo pecah, beredar selebaran pembiayaan korban demo aksi KPU dan Bawaslu ditangani oleh pemprov DKI. Padahal saat itu Gubernur DKI tengah berada di Jepang. Anehnya, tanpa koordinasi dengan Kapolda Metro Jaya dan Pangdam Jaya yang memimpin pengamanan, Anies Baswedan selaku Gubernur, hanya memberikan himbauan atau selebaran untuk menghindari aksi massa. Tapi, nyatanya dia malah memberikan pengobatan gratis bagi korban kerusuhan. Ada apa pada diri Anies.? Mengapa sebagai bagian dari Forkopimda (Forum Koordinasi Pimpinan Daerah) bersama TNI dan Polri untuk mengamankan ibukota dari kerusuhan, ia nyempal sendirian. Mengapa Anies malah berlagak seperti petugas medis yang mengumumkan kematian dan tukang gali kubur yang mengangkat keranda mayat sang perusuh. Bukannya mensupport Polri dan warga yang menjadi korban? Sikap Anies seperti ini mengundang kecurigaan warga negara yang masih waras. Ada apa dengan Gubernur yang diusung Partai Gerindra ini? Sebagai kepala daerah istimewa Jakarta, mengapa ia langsung mengumumkan korban mati dan tidak melakukan koordinasi dengan Kapolda Metro Jaya dan Pangdam Jaya, yang sejak beberapa hari mengamankan ibu kota Jakarta dari ancaman perusuh? Kecurigaan anggota masyarakat yang waras pada sikap Gubernur DKI Jakarta Anies,selama ini tak bisa disepelekan. Terutama menggunakan teori konspirasi. Maklum, capres yang tidak puas atas hasil rekapitulasi oleh KPU adalah bosnya yang memenangkan Anies dalam pilkada DKI 2017 lalu. Apalagi, Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu Bogor, pernah memanggil Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, karena dugaan kampanye terselubung untuk pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Dugaan ada konspirasi, secara politik bukan hal baru dalam teori konspirasi. Hal ini terus membayangi selama paling tidak 100 tahun ini, kata Profesor Joe Uscinski, penulis American Conspiracy Theories. Teori ini juga menyebar lebih luas dari yang diperkirakan. James Tilley, seorang guru besar ilmu politik dan Fellow of Jesus College, Universit as Oxford mengatakan, orang yang mencurigai teori konspirasi perlu memahami pengaruh "kekuatan tidak jelas yang mengendalikan peristiwa politik" dan unsur kejiwaan di balik teori konspirasi. Artinya, teori konspirasi umumnya terkait dengan pemikiran politik. Nah, Saat maju sebagai Gubernur DKI tahun 2017 bersam Sandiago Uno, Anies diusung Partai Gerindra. Dan penggagas demo di Bawaslu 22 Mei lalu adalah elite-elite dari Partai Gerindra. Inilah fakta politik Anies memiliki hubungan dengan Prabowo dan Sandiaga Uno. Ada kesan, usai dicopot dari jabatan menteri oleh Jokowi, Anies seolah membangun barikade pada posisi yang berseberangan dengan pemerintah Jokowi terutama. Anies bergabung dengan partai oposisi pemerintahan Jokowi. Tak keliru beberapa orang-orang cerdas menenggarai kini, dibawah komando Anies Baswedan, ada penampakan seolah pemerintah DKI adalah "oposisi" pemerintah pusat. Walahualam. *** Selain itu dampak dampak lain dari posisi oposisi Anies terhadap pemerintah pusat Jokowi dan perilaku Anies dalam penanganan peristiwa 22 Mei diata dapat memberi opini yang menyesatkan. Maklum, di dalam masyarakat yang terbuka seperti sekarang ini, tidak menutup kemungkinan terjadi suatu berita di media masa, terutama media sosial yang kritis. Berita kritis semacam ini dapat mempengaruhi pola pikir dan sudut pandang masyarakat. Sampai semalam, Anies tampak tenang-tenang saja termasuk tidak pernah memberi keterangan pers bersama Kapolda dan Pangdam Jaya, terkait dalang kerusuhan sosial 21-22 Mei di Jakarta. Masyarakat berakal sehat bisa ditebak menyaksikan kerusuhan sosial yang polanya seperti peristiwa Mei 1998. Masyarakat berakal sehat menurut saya, harus proaktif mencari solusi. Saya tidak tahu apakah dengan sikap Anies yang demikian ini, ia termasuk bagian dari elite Gerindra di pemerintahan DKI mengelola pemikiran dan tindakan politik agar situasi pasca pilpres 17 Agustus 2019 bisa makin panas?. Walahualam. Masyarakat berakal sehat yang cinta NKRI, Pancasila, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika, Insha Allah banyak yang tidak ingin api menyala di negeri ini dari Jakarta. Berkaca dari peristiwa politik tanggal 21-22 Mei di Jakarta, menggunakan akal sehat ternyata banyak memberi dampak yang merugikan masyarakat. Mengingat dari kebebasan berpendapat yang sesungguhnya ternyata juga dijadikan senjata yang dapat menghancurkan kesatuan bangsa serta merugikan bangsa Indonrsia yang saat ini hidup rukun ditengah kemajemukan (Bhineka). Apabila provokasi oleh elite koalisi Prabowo-Sandi, terus digulirkan, bisa terjadi konflik akan terus menerus meranah dan mengakibatkan kesengsaraan orang banyak. Tak salah bila masyarakat berakal sehat yang menginginkan kedamaian dan persatuan Indonesia mau menjunjung tinggi norma dalam bermasyarakat. Termasuk sama-sama meningkatkan rasa saling menghargai satu sama lain dalam kubu Jokowi dan Prabowo. Mengingat, pada dasarnya semua orang punya hak asasi yang sama rata sehingga dapat menciptakan keharmonisan semua lapisan masyarakat di Indonesia dari Sabang sampai Marauke. ([email protected], bersambung)

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU