Home / Kriminal : Pengadilan Tipikor Surabaya Tangani 171 Perkara Ko

Korupsi di Jatim, Tinggi

author surabayapagi.com

- Pewarta

Selasa, 06 Nov 2018 09:01 WIB

Korupsi di Jatim, Tinggi

SURABAYAPAGI.com, Surabaya Tindak pidana korupsi (Tipikor) di Jawa Timur terbilang masih tinggi. Tak hanya ditandai dengan 12 bupati/walikota di Jatim yang ditangkap KPK dan menjadi tersangka. Tingginya korupsi di Jatim juga terlihat dari perkara korupsi yang ditangani Pengadilan Tipikor Surabaya. Meski tidak setinggi jumlah perkara di tahun 2017 yang mencapai 288 perkara, namun tahun 2018 ini Pengadilan Tipikor Surabaya mencatat sebanyak 171 perkara korupsi yang mulai disidangkan. Anehnya, semangat menahan koruptor atau tersangka kasus korupsi oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) justru melempem. Ini berbanding terbalik dengan awal peresmian Cabang Rumah Tahanan (Rutan) Negara Kelas I Surabaya di Kejati Jatim pada 19 Februari lalu. ---- Ketua Pengadilan Negeri (PN) Surabaya Sujatmiko menyebut Pengadilan Tipikor Surabaya pada tahun ini menangani 171 perkara korupsi. Meskipun ada penurunan penanganan perkara korupsi di Pengadilan Tipikor Surabaya, Sujatmiko mengaku hal itu masih terbilang cukup tinggi. Jumlah ini memang lebih rendah jika dibandingkan tahun 2017 lalu. Tapi tetap jumlah perkara korupsi yang ditangani masih ratusan perkara, atau sebanyak 171 perkara tahun ini, ungkap Sujatmiko kepada Surabaya Pagi, Minggu (4/11/2018). Meski perkara tipikor sekitar 117 perkara, namun jumlah tersangka/terdakwa justru lebih banyak. Meskipun tahun ini berkurang dari tahun lalu, tapi jumlah tersangkanya lebih banyak jika dibandingkan tahun lalu, jelasnya. Sujatmiko menambahkan, banyak tersangka dalam perkara korupsi ini cukup naik dibanding tahun 2017 lalu. Sayangnya pihaknya enggan merincikan berapa jumlah tersangka tahun 2018 dengan tahun 2017 lalu. Satu perkara pelakunya bisa sampai 18 tersangka atau bahkan lebih. Ini yang membuat jumlah tersangkanya lebih banyak dari tahun 2017 lalu, tambahnya. Hukuman Tegas Melihat banyaknya penanganan perkara tindak pidana korupsi di Jatim, Sujatmiko berharap dengan adanya penegakkan hukum yang tegas, otomatis bisa memberika efek jera kepada pelaku. Bahkan pihaknya mengimbau agar penerapan hukuman bagi tersangka tindak pidana korupsi bisa dilakukan dengan tegas dan mengacu pada efek jera dari perbuatan yang menyebabkan kerugian bagi negara. Dengan adanya tindak tegas maupun hukuman yang sesuai dengan perbuatannya, semoga setiap tahunnya perkara maupun tersangka korupsi berkurang. Serta memberikan efek jera bagi tersangka. Begitu juga bagi yang hendak mencoba-coba agar mengurungkan niatnya karena hukuman yang berat, tegasnya. Penyidikan Baru Sementara itu, Kejakjaan Tinggi (Kejati) Jatim juga melakukan banyak penyidikan baru kasus dugaan korupsi. Namun, sejumlah kasus besar malah belum ada tersangkanya. Semangat untuk menahan koruptor atau tersangka korupsi, juga tampak mengendur. Ini berbeda saat Cabang Rumah Tahanan (Rutan) Negara Kelas I Surabaya di Kejati Jatim, diresmikan pada 19 Februari 2018. Bahkan sejak difungsikan pada awal Januari 2018, terhitung dalam kurun waktu lima bulan Rutan di Kejati Jatim berhasil menahan 26 tersangka kasus korupsi. Semangat tersebut belum nampak lagi, padahal Kejaksaan yang beralamatkan di Jl A Yani, Surabaya ini setidaknya sudah menaikkan lima kasus korupsi dari level penyelidikan ke penyidikan. Kelima penyidikan (Dik) tersebut adalah dugaan kasus korupsi Penanganan Sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM). Kedua, yakni penyidikan dugaan korupsi Kolam Renang Brantas. Kemudian dugaan kasus korupsi pengadaan kapal di PT Dok dan Perkapalan Surabaya (DPS) senilai Rp 100 miliar. Keempat, penyidikan dugaan kasus korupsi di PT Penjaminan Kredit Daerah (Jamkrida) Jatim senilai Rp 6 miliar. Terakhir, penyidikan dugaan kasus korupsi kredit fiktif program Kredit Usaha Rakyat (KUR) di Bank Jatim cabang Jombang. Dikonfirmasi mengenai hal itu, Kepala Kejati (Kajati) Jatim, Sunarta mengaku memang belum ada penetapan tersangkanya. Pihaknya mengaku masalah penahanan ini terdapat dua pertimbangan yang dipakai. Yakni pertimbangan subjektif dan objektif. Belum ada penetapan orangnya (tersangkanya). Kalau ada penetapan sama kita, nanti masalah penahanan itu ada pertimbangan subjektif dan objektif apa. Kalau memang harus tahan, ya kita tahan, kata Sunarta. Sunarta meyakinkan apabila ada bukti-bukti yang cukup dalam penetapan tersangka, pihaknya tidak segan untuk menetapkan tersangka. Bahkan Sunarta menegaskan bila perlu dilakukan penahanan, pihaknya pasti melakukan penahanan. Tidak ada perbedaan (penanganan kasus korupsi, red). Hanya karena belum ada penetapan tersangkanya saja. Kalaupun ada tersangkanya, dan mengharuskan ditahan, ya kita tahan, tegasnya. Optimalisasi Kasus Kajati asal Subang, Jawa Barat ini mengaku lebih memfokuskan pada optimalisasi penanganan korupsi. Menurutnya, optimalisasi penanganan kasus korupsi ini bisa dilihat dari kualitas daripada kasusnya sendiri. Kalau sekarang lebih kepada optimalisasi penanganan tindak pidana korupsi. Jadi tidak hanya asal ada pelakunya (tersangka, red) yang masuk (ditahan). Tapi dilihat dari kualitas pelakunya dan jumlah kerugian negaranya, ucap Sunarta. Disinggung terkait banyaknya penyidikan baru di bulan Oktober hingga November 2018 ini, Sunarta membenarkan hal itu. Apakah dengan begitu penyidikan kasus lama tersendat, Sunarta menampik hal itu. Pihaknya menegaskan penyidikan kasus yang lama masih jalan terus dan dalam tahap pengumpulan alat bukti tambahan. Penyidikan lama jalan terus. Terkait P2SEM, masih menunggu PPATK karena penelusuran itu tidak mudah. Dan butuh waktu lumayan lama, sebab sudah banyak saksi yang meninggal, serta buktinya paling lama, papar Sunarta Biaya Penyidikan Masih kata Sunarta, kualitas penanganan kasus korupsi tidak hanya dinilai dari jumlah koruptor yang dipenjarakan. Kualitas ini juga diukur berdasarkan nilai keuangan negara yang berhasil dipulihkan. Sesuai juknis (petunjuk teknis) dari Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus) Kejagung, penanganan kasus korupsi difokuskan pada kerugian negara di atas Rp 50 juta. Intinya, sambung Sunarta, jangan asal-asalan menanganai kasus korupsi yang kerugian negaranya dibawah Rp 50 juta. Tapi bukan berati juga kasus korupsi yang kerugian negaranya dibawah Rp 50 juta tidak ditangani. Kalau memang bisa dikembalikan (kerugian negara), pihaknya tetap fokus pada pengembalian kerugian negaranya, sehingga tidak dirugikan. Tetap ada prosesnya, namun biaya operasional penyidikan sampai penuntutan itu Rp 250 juta. Kalau kerugian Rp 50 juta, kita malah rugi. Makanya kalau ada temuan kerugian Rp 50 juta, bagaimana caranya bisa kembalikan. Misalkan uangnya harus setor ke mana, tapi kita tetap menyaksikan dan mengembalikan ke Inspektorat dan sebagainya, ungkapnya. Apakah hal itu berbenturan dengan Pasal 4 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Sunarta mengaku tidak. Menurutnya, Kejaksaan memegang azas Follow The Money dan Follow The Asset. Artinya, pemberantasan tindak pidana korupsi diarahkan untuk mengejar kerugian negara jangan sampai negara dirugikan. Memang ada kontradiktif dalam penerapan azas tersebut. Asalkan negara tidak dirugikan, pakai azas itu. Tapi semua pihak harus tahu bahwa itu bersalah. Kalau nilainya (kerugian negara) kecil, makanya tadi terkait optimalisasi. Contohnya seperti kasus Gelora Pancasila, kerugiannya nol dan SP3, pungkasnya. n bd

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU