Home / CatatanHukum : Surat Terbuka (Tafakur) untuk Abdullah Azwar Anas,

Menyoal Kepatutan Perilaku Pejabat Publik

author surabayapagi.com

- Pewarta

Senin, 08 Jan 2018 01:39 WIB

Menyoal Kepatutan Perilaku Pejabat Publik

Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, sejak minggu yang lalu menjadi trendsetter atau topik berita media apa saja, ya media mainstream, televisi, radio dan media sosial. Anas, nama populernya, kali ini, saat dirinya mencalonkan diri sebagai cawagub Jatim 2018-2023 bersama Gus Ipul, ia dikaitkan dugaan kedekatan dengan mantan model dan penyanyi yang kini sudah menjadi istri seorang legislator, Asrilia Kurniati. Tahun 2015, saat ia mencalonkan diri sebagai cabup Bupati Banyuwangi periode kedua, dia diterpa berita kawin siri dengan artis Ayu Azhari, janda beberapa pria asing. Kasus-kasus atau desas - desus yang menimpa Anas, seperti ini tidak selalu hanya dilihat dalam perspektif hukum semata. Bisa juga disorot dari aspek etika dan kepatutan. Apalagi Anas, saat ini adalah pejabat publik yaitu Bupati Banyuwangi. Artinya, sebagai pejabat publik, dapat saja terjadi suatu peristiwa yang menderanya tidak cukup masuk kategori tindakan hukum, namun bisa dikaitkan dengan etika. Bagi pejabat publik, etika acapkali digunakan untuk pedoman sikap dan perilaku sehari-hari. Bahkan bangsa ini belum terbiasa menerima pejabat yang bersentuhan dengan etika untuk mengundurkan diri. Sikap pengunduran diri Anas, sebagai cawagub Jatim 2018, bisa dibaca sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban etik, yang bersentuhan kepentingan publik. Dalam surat terbuka ini, selain mengupas etika pejabat publik, saya juga menyoroti dari aspek komunikasi, kepemimpinan dan pengaruh pemimpin dengan wanita. Benarkah pemimpin cerdas dan genius suka dengan wanita? Berikut catatan politik H. Tatang Istiawan, kolumnis tetap harian Surabaya Pagi, melalui surat terbukanya yang pertama. Sdr Azwar Anas, Sebagai jurnalis, saya praktis bertemu dengan Anda secara langsung kira-kira tiga kali. Pertama dalam perjalanan penerbangan menumpang pesawat Garuda, Surabaya-Banyuwangi, tahun 2016. Saat itu kebetulan saya dan Anda duduk berdampingan pada seat bersebelahan. Kedua. Saat saya menghadiri undangan makan malam di pendopo Banyuwangi yang protokoler sepi informal. Ketiga, saat Anda berkunjung ke kantor saya harian Surabaya Pagi, pada bulan Oktober 2017, terkait pencalonan Anda sebagai cawagub Jatim mendampingi Cagub Saifullah Yusuf. Sebelum Anda pamit dalam kunjungan jelang tengah malam, Anda minta masukan untuk bekal menjadi pejabat publik tingkat Jatim mendampingi Wagub sekarang, Saifullah Yusuf. Berhubung waktu sudah malam, saya usul masukan untuk pejabat publik dicarikan waktu yang agak longgar. Maklum, saya wartawan beruntung sejak berkarir sebagai jurnalis tahun 1977 yang pernah bertugas di beberapa bidang. Salah satu saya mengajak ia diskusi di kantor saya pada waktu yang tidak padat, saya juga ingin menyampaikan masukan selain soal ekonomi, politik dan sosial, juga tentang perilaku pejabat publik era transparansi. Malam itu, Anda menjawab, semoga pertemuan dengan tim redaksi harian Surabaya Pagi, bukan yang terakhir. Jawaban Anda ini cukup mencengangkan saya. Mengingat, bagi pengelola koran, kunjungan pejabat publik adalah biasa. Justru kunjungan publik selain sebagai silaturahmi, juga bisa menjadi jembatan berkomunikasinya antara pejabat publik dan media, agar sama-sama well informated. Sdr Azwar Anas, Seminggu yang lalu, Anda menjadi sorotan publik. Antara lain terkait beredarnya foto pria mirip wajah Anda dengan seorang wanita. Dan konon wanita yang ada dalam foto ini dikenal sebagai istri seorang anggota DPR-RI. Ekses dari peristiwa ini, Gus Ipul, mengumumkan kepada wartawan bidang politik, Anda menyatakan mundur sebagai cawagub Jatim yang diusung PKB-PDIP . Dan sehari kemudian, Sekjen PDIP Hasto, menyatakan rencana kemunduran Anda dengan berurai air mata, menyesalkan bahwa peristiwa ini merupakan kampanye hitam. Hasto juga menyebut pihak sana dan hal terkait kekuasaan. Sedangkan Anda sampai hari Minggu kemarin tidak pernah muncul di depan publik dan wartawan untuk menjelaskan duduk persoalan kemunduran Anda sebagai cawagub Jatim mendampingi Gus Ipul. Ironisnya, Anda justru mengirim press release kepada wartawan. Anehnya, rilis yang mengatas namakan Anda tidak menjelaskan secara konkret permasalahan peredaran foto bersama seorang wanita yang disinyalir istri orang. Anda justru membuat analisis dan kesimpulan tentang risiko pejabat publik terkait desas desus yang menyentuh pribadi Anda. Sdr Azwar Anas, Sebagai pejabat publik, saya percaya, Anda paham bahwa antara etika dan hukum tidak mungkin bisa saling bertentangan. Secara teoritis, prinsip ini dapat dilacak secara genealogis dari sisi filsafat. Keduanya merupakan pedoman perilaku manusia sekaligus instrumen sosial untuk mewujudkan tertibnya tentang kehidupan bermasyarakat tentang manusia dan kemanusiaan. Sebagai sarjana magister, Anda pasti paham Sebagai pedoman perilaku, etika bersumber dari ajaran-ajaran tentang kebenaran dan standar perilaku manusia yang benar. Dari sinilah lahir etika yang merupakan filsafat perilaku manusia. Dan untuk menjadikan pedoman perilaku, etika dapat dijadikan sebagai instrumen kontrol dalam membentuk kehidupan tertib sosial. Bahkan etika diturunkan menjadi norma hukum yang dipositifkan dalam peraturan perundang-undangan. Penormaan dan pemositifan acapkali dilakukan untuk dapat menjadi ukuran oleh semua orang. Misal, Bupati itu adalah pejabat publik. Tindakannya adalah panutan bagi masyarakat. Ini bisa kita serap dari pembentukan Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Bernegara. Bahkan sejak reformasi tahun 1998 telah banyak dibentuk undang-undang yang mewajibkan adanya standar etika bagi jabatan publik tertentu. Bahkan, dari sisi institusi juga telah terbentuk berbagai lembaga pengawas dan penegak etika, antara lain Komisi Yudisial, Dewan Etik Hakim Konstitusi, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, dan Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat. Pembentukan regulasi dan struktur lembaga seperti ini merupakan langkah maju, namun sayangnya langkah tersebut tidak dibarengi dengan perilaku pejabat itu sendiri. Malahan yang terjadi justru terdapat pejabat yang menggunakan regulasi dan lembaga tersebut sebagai alat untuk menjustifikasi tindakan non-etisnya. Hal ini bisa menjadi gambaran bahwa akar permasalahannya adalah hilangnya kesadaran akan rasa malu, rasa bersalah dan ketidakmampuannya dalam membedakan mana yang etis dan tidak etis. Terutama menghinggapi pejabat yang tidak memiliki kesadaran akan siapa dirinya. Bupati, Walikota atau Gubernur. Kasus yang kini mendera Anda bisa dianggap sebuah potret dimana pejabat publik disorot oleh kasus yang dipandang tidak etis atau tidak pantas dilakukan. Ini terlepas dari detail kasusnya, serta alasan-alasan untuk membela diri. Dalam kasus seperti yang Anda alami, tentu publik bisa segera memperoleh peluru untuk memprotesnya. Ini karena, suka atau tidak, pejabat seperti Anda yang dipilih langsung oleh rakyat adalah sosok teladan, sehingga, menjadi lumrah jika kehidupan pribadi Anda pun dipandang penting dan relevan untuk dipersoalkan. Dalam buku Political Ethics and Public Office (1987), guru besar filsafat dari Universitas Harvard, Amerika Serikat, Dennis F. Thompson, menegaskan bahwa para pejabat sesungguhnya bukan warga negara biasa. Mereka memiliki kekuasaan atas warga negara, dan bagaimanapun mereka merupakan representasi dari warga negara. Pernyataan Thompson ini amat penting, karena apa pun yang dilakukan pejabat publik seperti Anda akan berpengaruh bagi kehidupan warga negara. Mengingat pengaruh tersebut, tidak ada jalan lain, akal sehatnya para pejabat publik harus menjaga agar perilaku dan kebijakan mereka selalu baik serta tetap berpijak di jalur etika. Maklum, di samping itu, apa pun perilaku dan kebijakan yang mereka ambil merupakan garansi yang membuat warga negara tetap menaruh hormat dan kepercayaan kepada mereka. Ini juga untuk meyakinkan warga negara bahwa para pejabat publik dan negara yang dipilih secara langsung oleh rakyat benar-benar pantas memimpin rakyat dengan perilaku yang baik, terhormat, sekaligus menjadi panutan rakyatnya, baik di Banyuwangi maupun luar Banyuwangi. Dengan demikian, setiap pejabat publik harus mempertanggungjawabkan kepada warga apa pun yang mereka lakukan sbagai personifikasi kepala daerah selaku pejabat publik dan kekuasaan. Sdr Azwar Anas, Saya tidak tahu, apakah Anda seolah-olah, menganggap kekuasaan yang melekat pada diri Anda Bupati Banyuwangi yang kini maju sebagai cawagub Jatim 2018 dari PDIP, identik dengan aneka privilese berupa fasilitas dan perlakuan?. Kepatutan perilaku mestinya bisa dikembangkan dari kemauan untuk selalu berempati, bersimpati, dan punya rasa sepenanggungan dengan lingkungan yang harus Anda layani. Perasaan naik level sosial ketika menduduki peluang menjadi cawagub Jatim periode 2018-2023 adalah suatu jabatan atau jerat seseorang enggan memasuki ruang kesederhanaan hidup yang secara universal dab bisa dirasakan dari pusaran kepedulian. Dalam pengamatan saya sejak tahun 1977, gaya hidup seorang pejabat bukanlah mempersoalkan pilihan cara hidup seseorang, melainkan kepatutan perilaku pejabat publik. Apalagi di tengah kehidupan generasi now dan era transparansi seperti sekarang. Akal sehat saya berbicara bahwa saat menjadi cawagub adalah pilihan cara dan kepatutan. Artinya haruslah dibedakan dengan saat Anda memimpin di sebuah kabupaten ujung timur Surabaya, Dan tidak pada tempatnya kritik dari publik melalui pers ditanggapi secara defensive. Anda tidak bisa menghindar bahwa perilaku pejabat publik jelas dan mudah untuk disorot, dan rakyat berhak untuk mempersoalkan foto Snda yang diviralkan. Meski katakana itu foto yang mirip dengan Anda asli atau tidak, terjadi era sekarang atau sebelum Anda menjadi Bupati. Kadang, karena kesibukan Anda, bisa jadi Anda tidak bisa (atau tidak mau) membedakan antara hak-hak yang masuk dalam lingkup privat, dengan koridor etika kepejabatan yang tentu sarat nilai tentang patut atau tidak patut. Ukuran ruang privat atau sudah masuk publik, menurut akal sehat saya sangat mudah. Tentu manakala kita, saya dan Anda sama-sama mau berpijak pada kemauan untuk selalu berada di posisi publik. Artinya atas nama apa dan untuk kepentingan siapa, Anda bisa berada di sebuah jabatan. Pada titik inilah pertanyaan-pertanyaan yang bertaut dengan etika akan selalu mengusik siapa pun pejabat publik, yakni mengenai baik atau buruk, peduli atau tidak peduli, bertanggung jawab atau tidak bertanggung jawab. Subhanallah. Sdr Azwar Anas, Tiga kali pertemuan, saya pernah di ruang kerja Anda dan sebaliknya Anda berkunjung di ruang kerja saya, kita sebenarnya sudah sebagai saudara. Minimal ukhuwah islamiah. Dalam prespektif ini, tak ada salahnya saya mengatakan bahwa hidup adalah tafakur (berfikir). Tanpa ini. ruh kehidupan kita sebagai manusia akan terasa hampa dan tanpa makna. Ini bagian dari Cogito Ergo Sum (aku berfikir karena itu aku ada), begitu kata Rene Descartes. Oleh karena itu, surat terbuka saya ini saya persembahkan juga untuk dijadikan media tafakur di antara kita dalam berbagai persoalan. Surat terbuka ini menyentuh kajian tentang komunikasi, politik, leadership, akal sehat dan media. Dan tentu tidak menafikan dirinya untuk bersentuhan dengan wilayah-wilayah keilmuan lainnya, hukum dan ketauhidah. Bagi saya, pemimpin publik mesti ingat tentang amanah. Dan amanah, saya pahami bersifat sosial yaitu amanah dakwah. Bagi saya, saya dan Anda sebagai seorang Muslim, sama-sama berkewajiban menyampaikan Islam kepada masyarakat. Tujuannya adalah membangun masyarakat Muslim sesuai dengan aturan Allah. Sehingga kita, terutama Anda sebagai pejabat publik lebih mampu menunaikan amanah yang lebih besar dibanding saya yang hanya jurnalis. Subhanallah. ([email protected], bersambung)

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU