Pinjaman Online tak Berizin OJK

author surabayapagi.com

- Pewarta

Jumat, 16 Nov 2018 17:30 WIB

Pinjaman Online tak Berizin OJK

SURABAYAPAGI.com, Surabaya - Di era teknologi yang serba canggih saat ini membuat masyarakat mudah melakukan sejumlah transaksi keuangan melalui sistem online. Tak terkecuali bagi mereka yang ingin melakukan pinjaman online. Dalam beberapa tahun terakhir, perilaku melakukan pinjaman online dimulai dari bermunculannya perusahaan startup Financial Teknologi (fintech) yang menawarkan jasa pinjaman uang berbasis aplikasi dengan cara mudah. Sayangnya, maraknya startup fintech pinjaman uang tersebut tidak semua mematuhi aturan yang sudah diterapkan oleh regulator. Bahkan, sejumlah fintech tersebut justru belum mengantongi izin Otoritas Jasa Keuangan. Buruknya kondisi tersebut kemudian mulai terlihat dari sejumlah kisah-kisah dari nasabah pinjaman online yang mengeluh atas praktik tidak baik para pemain fintech tersebut. Salah satu praktik tidak baik dan melanggar aturan tersebut terjadi pada Agustin Cahyani (23) yang meminjam uang di salah satu aplikasi pinjaman online (Pinjol). Agustin saat itu melakukan pinjaman kepada Pinjol sebesar Rp1,8 juta pada akhir September 2018. Namun, karena belum bisa dibayar, Pinjol mengenakan bunga Rp80 ribu per hari, sehingga Ia harus kembalikan uang Rp1,9 juta. Padahal, saat peminjaman Agustin hanya menerima uang dari Pinjol sebesar Rp1,3 juta karena adanya berbagai potongan administrasi yang dikenakan kepada nasabah. Tak sampai di situ, Agustin yang belum bisa membayar pinjamannya juga mendapatkan perilaku yang tidak baik dari para penagih utang. Salah satunya adalah menyebarkan privasi konsumen kepada publik. Proses penyebaran data yang dialami Agustin merupakan salah satu cara penagihan yang dilakukan oleh para penagih utang pinjaman online. Kasus itupun kini sudah ditangani oleh LBH Jakarta. Pengacara Publik dari LBH Jakarta, Jeanny Silvia Sari Sirait mengatakan mekanisme pengumpulan, pengambilan dan penyebaran data pribadi yang dilakukan aplikasi pinjaman oleh sebenarnya telah melanggar Undang-undang. "Itu enggak boleh. Itu melanggar Undang-undang, Pasal 27, Pasal 29 UU ITE, itu tindak pidana, sanksinya diatur di Pasal 45 (UU) ITE," kata Jeanny. Menurut Jeanny, aplikasi pinjaman online itu merupakan praktik rentenir yang menggunakan teknologi digital, yang melakukan praktik lebih jauh. Untuk itu, LBH Jakarta masih menampung keluhan nasabah sampai 25 November 2018. Dan sejak 2016, LBH Jakarta telah menerima pengaduan dari 283 orang terkait pinjaman online. Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, Nurhaida mengakui, maraknya kasus rentenir online akhir-akhir ini lantaran cepatnya industri keuangan digital berkembang di Indonesia. Menurut dia, cepatnya perkembangan tersebut membuat beberapa aspek-aspek dalam pengawasan yang belum dicakup pada sejumlah aturan-aturan yang sudah dibuat oleh OJK. Untuk itu, dia pun mengatakan bahwa untuk melakukan penertiban terhadap kasus-kasus rentenir online itu, kerancuan akan penggunaan regulasi masih menjadi kendala untuk ditentukan dengan menggunakan aturan yang mana. "Jadi, itu sebenarnya juga tantangan bagi regulator, untuk bisa memasukkan semua jenis kegiatan di sektor jasa keuangan itu, agar ada peraturannya," kata Nurhaida di kantornya, di Jakarta Selatan, Selasa 13 November 2018. "Sehingga, kalau ada hal-hal yang dilanggar, maka itu jelas sanksinya bagaimana dan enforcement-nya seperti apa," ujarnya menambahkan. Adapun untuk tindakan yang akan diambil OJK untuk rentenir online tersebut, Nurhaida menyatakan, pihaknya akan melihat apakah perusahaan fintech tersebut sudah terdaftar atau memang sudah memiliki izin dari OJK. "Kalau (perusahaan fintech) itu belum (terdaftar), tentu ada ranah lain yang harus dilihat. Karena, OJK itu melakukan pengawasan dan pengaturan, dan ada ketentuan bagi pihak yang mau terdaftar dan dapat izin di OJK," kata Nurhaida. Untuk perusahaan fintech yang belum terdaftar, lanjut Nurhaida, maka hal itu akan menjadi tugas bagi Satgas Waspada Investasi, di mana OJK juga menjadi anggota koordinatornya untuk melakukan penertiban terhadap perusahaan-perusahaan fintech tersebut. Sementara itu, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia atau YLKI, Tulus Abadi mengungkapkan maraknya pengaduan konsumen terhadap perusahaan fintech pinjaman online harus ditanggapi serius OJK. Bahkan, OJK dan Kementerian Komunikasi dan Informatika di desak untuk segera memblokir perusahaan-perusahaan tersebut. Sebab, saat ini sudah lebih dari 100 pengaduan konsumen korban fintech yang diterima YLKI. Tulus mengungkapkan dari 100 pengaduan konsumen tersebut rata-rata berupa Teror, denda harian, atau bahkan bunga yang setinggi langit. Adapun untuk teror dilakukan berupa fisik, telepon atau SMS dan denda harian. "Ini jelas pemerasan kepada konsumen," kata Tulus. YLKI juga mendesak OJK untuk segera memblokir perusahaan fintech ilegal, karena baru 64 perusahaan Yang telah memiliki izin dari OJK sementara ada lebih dari 300 perusahaan fintech yang beroperasi saat ini.

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU