Home / Pilpres 2019 : Parpol Sikapi Survei yang Unggulkan Jokowi Jelang

Jokowi Kalah dari Duterte

author surabayapagi.com

- Pewarta

Sabtu, 07 Okt 2017 00:20 WIB

Jokowi Kalah dari Duterte

Politik nasional makin ramai membicarakan Pilpres 2019. Tak hanya soal kontroversi Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo yang dinilai sedang berpolitik. Tetapi posisi Presiden Jokowi juga jadi bidikan. Apalagi, survei terbaru yang dikeluarkan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menunjukkan, Jokowi belum mendapatkan lawan yang kompetitif. Bahkan, jauh mengungguli pesaing terberatnya, yakni Prabowo Subianto yang tingkat keterpilihannya hanya 12 persen. Sedang Jokowi mendapat suara 38,9 persen. Lantas dengan hasil ini, apakah menutup peluang tokoh lainnya? Melihat fenomena itu, parpol pun tidak mau berdiam diri. ---------------- Laporan : Joko Sutrisno – Tedjo Sumantri, Editor : Ali Mahfud ------------- Survei sendiri diambil dari interval 3-10 September 2017 dengan sampel 1.220 WNI yang telah memiliki hak pilih dan dipilih secara acak (multistage random sampling). Margin of error dalam survei sendiri sebesar 3,1% dengan tingkat kepercayaan 95%. Direktur Eksekutif SMRC Djayadi Hanan mengungkapkan bahwa jika pemilihan Presiden diadakan sekarang atau pada waktu survei dilakukan maka Jokowi akan menang. Tren pilihan Presiden top of mind, Jokowi unggul dengan 38,9 persen disusul Prabowo Subianto 12,0 persen, dan Susilo Bambang Yudhoyono 1,6 persen. Nama lainnya masih dibawah 1 persen. "Dalam jawaban spontan, dilihat dari itu belum ada calon lain yang kompetitif," sebut Djayadi. Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon punya pandangan lain. Menurutnya, elektabilitas Presiden Jokowi di angka 38,9 persen masih rendah. Menurut Fadli Zon, sebagai petahana, elektabilitas Jokowi seharusnya di atas 50 persen. "Kalau menurut pribadi saya, itu rendah, 38 persen itu kecil. Biasanya (petahana) 50 persen elektabilitas. Artinya itu rendah dan masyarakat menginginkan pemimpin baru," tandas Fadli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (6/10/2017). Dengan posisinya saat ini, lanjut Fadli, Jokowi memiliki banyak kesempatan untuk bertemu masyarakat dan menyosialisasikan programnya. Jokowi juga punya banyak kesempatan untuk mendapatkan simpati rakyat melalui program kerjanya. Bahkan, kata Fadli, petahana di negara lain elektabilitas jelang tahun pemilu sudah di atas 50 persen. Ia mencontohkan, Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Filipina Rodrigo Duterte elektabilitasnya sudah jauh di atas 50 persen. “Putin itu bisa di atas 30 persen elektabilitasnya ya, 60 persen, 70 persen. Duterte 80 persen," ungkap Fadli. Ketua Fraksi PKB Ida Fauziah menyebut hasil survei yang menempatkan Jokowi unggul, belum final. Sebab, Pemilu 2019 masih lama. "Sekarang belum bisa diukur banget ya karena pemilunya masih lama. Kalau kita melihatnya fine-fine saja, nggak terlalu, Pak Prabowo misalnya masih dianggap rendah, Pak Jokowi juga dianggap rendah, tidak. Pak Jokowi masih punya banyak kesempatan untuk membangun trust publik, Pak Prabowo juga masih bisa bekerja untuk mencapai dukungan yang signifikan," terang dia. Ida menambahkan hasil survei itu masih bisa berkembang jelang Pilpres 2019 mendatang. "Pemilu masih lama, nanti kan akan berkembang yang mungkin di luar apa yang kita perkirakan hari ini, di luar perkiraan survei hari ini. Pemilu Pilpres maupun Pilkada masih lama ya," imbuhnya. Peluang Tokoh Lain Hal senada diungkapkan Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Nurhayati Ali Assegaf. Menurutnya, hasil survei yang dilakukan lembaga survei hanya merupakan pemetaan jelang Pemilu 2019. Menurut dia, turun-naiknya elektabilitas tokoh dalam setiap survei adalah hal biasa. "Masih terlalu cair untuk bicara siapa yang akan menang," kata Nurhayati, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (6/10/2017). Meski demikian, hasil survei itu tetap dijadikan Demokrat sebagai bahan untuk menentukan langkah politik ke depan. Salah satunya, melihat peluang putra sulung Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Bagi Demokrat, dinamisnya elektabilitas figur-figur potensial yang diprediksi maju pada Pilpres 2019 menjadi peluang bagi Agus. "Ya pasti dong (menjadi peluang). Kami kan terus mengenalkan. Kami selalu mengenalkan AHY baik di semua produk-produk logistik kami untuk kampanye itu. Kami kenalkan AHY supaya publik mengenal AHY lebih dekat," ujar Nurhayati. Nurhayati mengatakan, Demokrat mengenalkan Agus melalui sejumlah kegiatan partai dan media-media lainnya. Target Demokrat adalah target politik jangka panjang. "Sekarang kan kami masih dalam tahap pengenalan semua ya. Jadi makanya saya bilang masih terlalu jauh bicara survei ini menentukan," tandas anggota Komisi XI DPR itu. Untuk diketahui, AHY diusung Demokrat sebagai calon Gubernur DKI Jakarta 2017 dan berpasangan dengan Sylviana Murni. Langkah tersebut merupakan langkah perdana Agus di dunia politik setelah sebelumnya berkarier di militer. Strategi PDIP PDIP memiliki strategi awal untuk menjaga tren elektabilitas positif Presiden Jokowi. Ketua DPP PDIP Andreas Pareira mengatakan salah satu strateginya yakni mengawal dan menyosialisasikan capaian kinerja Jokowi sejak saat ini. "Partai mengawal dan mendukung khususnya menyosialisasikan program dan keberhasilan pemerintahan Jokowi," kata Andreas. Andreas melihat hasil survei SMRC bisa menjadi masukan untuk semakin giat menyosialisasikan hasil kerja pemerintah selama 3 tahun terakhir. "Tentu hasil survei ini menjadi baham masukan yang berharga bagi pemerintahan Jokowi, terutama dalam hal sosialisasi program dan hasil kerja pemerintahan," terangnya. Duet Jokowi-Gatot Presiden Joko Widodo diprediksi meraih keuntungan besar seandainya memilih calon wakil presiden (Cawapres dari kalangan militer atau individu yang berasal dari luar Pulau Jawa pada pemilihan presiden 2019 mendatang. Untuk kalangan militer, muncul nama Jenderal Gatot Nurmantyo yang saat ini menjabat Panglima TNI. Jika Jokowi dipasangkan dengan Jenderal Gatot, apakah duet ini ‘menjual’? Pengamat Politik Universitas Al Azhar Indonesia (UAI)‎, Ujang Komarudin menilai pasangan Jokowi-Gatot cukup bagus. Pasangan ini dinilai saling melengkapi karena Jokowi yang diketahui seorang sipil dan Gatot Nurmantyo adalah berlatar belakang militer. "Bagi saya ini pasangan yang sempurna perpaduan satu sipil satu lagi militer," ujar Ujang Komarudin, Jumat (6/10) kemarin. Apalagi, lanjut dia, Gatot Nurmantyo juga dekat dengan komunitas Islam. Sehingga itu menjadi modal besar bagi Gatot Nurmantyo dalam meraih suara di Pilpres 2019 nanti. "Artinya bagus untuk mengisi ruang kekurangan Pak Jokowi," terang dia. Namun demikian, Direktrur Eksekutif Indonesia Political Review ini mengaku ada satu kelemahan apabila pasangan tersebut bersanding. Karena sama-sama dari pulau Jawa. Jokowi yang diketahui dari Surakarta, sedangkan Gatot Nurmantyo dari Tegal. Namun, semua itu bisa disiasati apabila Jokowi memerintahkan orang-orang yang dipercaya untuk jadi menterinya kelak, bisa ikut bergerak mencari dukungan masyarakat di luar pulau Jawa. "Jadi kekurangannya itu cuma satu, karena ini Jawa semua," imbuhnya. Ia menambahkan, Jokowi akan mendapatkan dukungan kuat dari militer apabila bersanding dengan Gatot Nurmantyo. Walaupun TNI tidak diperbolehkan untuk mencoblos. Tapi para prajurit TNI tersebut memiliki keluarga‎ yang sudah pasti akan dirayu untuk bisa mencoblos pasangan Jokowi-Gatot Nurmantyo. "Saya rasa TNI solid ya, apalagi tentara satu komando, jadi sudah pasti berikan suaranya," pungkasnya. n

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU