Duet Jokowi-Tito Atasi Karhutla

author surabayapagi.com

- Pewarta

Jumat, 13 Okt 2017 00:09 WIB

Duet Jokowi-Tito Atasi Karhutla

SEDIANYA HUT Ke-72 Tahun Jatim menjadi materi kontemplasi hari ini, meski pada akhirnya dengan penuh hormat cukuplah dihaturkan Dirgahayu Jatim. Aku bersyukur menjadi warga Jatim dan Indonesia. Kemajuanmu adalah harapan wargamu. Biarlah untuk selanjutnya pertarungan pilgub mewarna di pendar pagi dan di rona senja tatkala bendera berkibar menyapa Upacara Peringatan HUT Jatim tertanggal 12 Oktober 2017, di bentang Tugu Pahlawan. Calon lama bermunculan mencoba peruntungan dengan “mengilik” penguasa puncak negeri ini saat berkelana ke Madura. Hari-hari mendatang situasi Jatim amat berwarna dengan jeda di tanggal 15 Oktober, sejurus waktu ada partai yang hendak mengumumkan jagonya untuk menapak jalan meraih “singgasana kuasa” yang kini sedang diduduki Pakde Karwo. Lihat saja dengan saksama, jangan berkomentar sebelum semuanya berpendar walau agak remang. Dalam konfigurasi problema yang kian beragam di Surabaya, kejadian kebakaran hutan di kawasan Santa Rosa, California, sejak 9 Oktober 2017 lalu yang mengakibatkan rusaknya perkampungan dan harta benda serta nyawa 10 orang meregang tidak patut kuabaikan. Sedikitnya 1.500 bangunan ludes. Suatu peristiwa yang amat serius di sebuah negara adidaya. Kebakaran hutan akhirnya menyembul menjadi warta dunia. Di Indonesia, masalah ini menjadi perhatian banyak pihak, termasuk dalam Rapat Kerja Terbatas di Wantannas akhir September 2017, dan di hari-hari ini proses hukum terhadap pembakar hutan sedang berlangsung di banyak pengadilan di Sumatera maupun Kalimantan. Berbagai kampus menggelar kajian ilmiah kasus ini dan saya harus menyikapinya penuh makna dengan beragenda menghadiri acaranya. Memang telah diberitakan bahwa kebakaran lahan di wilayah Sumatera di musim ini telah terjadi di Kabupaten Bungo. Kejadiannya terpantau dari helikopter Bolkow 105 milik BPBD Provinsi Jambi. Ini sekadar contoh kecil “ritual tahunan” di negeri ini yang melengkapi titik api yang menyembul di Riau. Aneh memang. Meskipun sudah ada aturan larangan membakar lahan yang tertuang dalam peraturan daerah, pembukaan lahan dengan cara dibakar masih tetap terjadi. Karhutla (kebakaran hutan dan lahan) pun tampak mengusik untuk saling mendekat antara dua persona institusi negara: Presiden Joko Widodo dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian. Ini bukan ramalan politik menuju perhelatan pilpres 2019, tetapi narasi yuridis-ekologis yang memiliki “sabda”, bahwa membiarkan karhutla dapat merepotkan tahta dimana mandat disematkan. Simaklah peristiwa di Mapolda Jambi pada 5 Agustus 2017, Kapolri mengintrodusir perintah Presiden: “jika terjadi kebakaran, tidak mampu memadamkan, para kepala satuan TNI dan Polri akan dievaluasi”. Konsekuensi yang menyerta adalah seperti diberitakan di banyak media “Kapolda bakal dicopot”. Jauh sebelumnya, Presiden telah memberikan arahan yang lugas-tegas pada Rakornas Pengendalian Karhutla di Istana Negara tertanggal 23 Januari 2017: penegak hukum diperintahkan tidak ada kompromi terhadap perusahaan pelaku karhutla. Sebuah permintaan yang menampar keras pemangku otoritas hukum yang kerap naif menghadapi kasus karhutla. Publik menyaksikan karhutla “dipamerkan” berkelanjutan di Sumatera maupun Kalimantan. Hutan dijadikan ladang pembunuhan flora-fauna yang melecehkan wibawa penegak hukum, sekaligus menantang kedigdayaan negara. Disinggung Presiden saat itu bahwa karhutla 2015 mengganggu perekonomian setara Rp.220 triliun, merusak 2,6 juta hektare lahan, serta memperburuk kesehatan dan kegiatan belajar mengajar. Forest Watch Indonesia menyebutkan hutan alam Sumatera tersisa 11,4 juta hektare akibat alih fungsi hutan untuk tanaman industri, perkebunan, dan pertambangan. Diprediksi dalam 10 tahun ke depan, hutan Sumatera hanya tinggal 16% dari total luas pulau ini. Khalayak menyaksikan, instruksi Presiden dan sikap tanduk Kapolri tampak mampu “meredakan” karhutla. Bukankah selama ini memang aneh, rezim silih berganti, mengapa karhutla tidak berhenti? Sampai kapan “siklus tahunan” karhutla enyah dari negeri ini? 72 tahun merdeka ternyata belum terbebas dari karhutla. Bahkan sebaran hot spot, dari Aceh semakin berderet di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan. Kapolri waktu di Mapolda Jambi itu mencatat ada 369 hektar lahan terbakar, dan sekitar 300 hektare di areal perusahaan. Dua sosok itu, kini tampak serius menuntaskan kasus karhutla. Itulah yang dinanti rakyat negeri ini. Tiga Jerat Hukum Jokowi-Tito pun hadir menjadi “pengantin” yang tengah diuji kesungguhannya untuk mengatasi karhutla. Terhadap kasus karhutla, secara yuridis dapat diterapkan tiga jerat hukum yang terpadu. Pertama, aspek administratif yang dilakukan dengan pengawasan dan penerapan sanksi. Apabila suatu wilayah mengalami karhutla, hal itu menandakan betapa lemahnya kinerja pengawasan instansi birokrasi. Organisasi pemerintahan menjadi pihak yang dapat diminta pertanggungjawaban hukum atas berkobarnya karhutla. Pejabat pengawas yang tidak melakukan tugasnya secara profesional, dapat dipidana. Sedangkan bagi korporasi pelaku karhutla wajib dijatuhi sanksi paksaan pemerintahan (“bestuursdwang”) tanpa teguran, karena aktivitasnya mengancam kesehatan warga. Sanksi administrasi merupakan jerat hukum utama untuk menghentikan karhutla dengan supremasi kewenangan di tangan Presiden. Sebuah kewenangan yang sangat “menakutkan” bagi pegawai untuk tidak sungguh-sungguh berkinerja, karena ancaman pemecatan berarti “keterpurukan” karir birokrasinya. Kedua adalah aspek kepidanaan. Ini menyangkut pelaku karhutla perseorangan dan/atau korporasi. Korporasi menjadi prioritas penanganan karhutla sejurus dikeluarkannya PERMA No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi. Pertanggungjawaban pidana lingkungan memang dapat dibebankan kepada perseorangan (natuurlijke persoon) atau badan hukum (rechtspersoon). Pertanggungjawaban pidana terhadap pengurus (corporate officers) atau pimpinan (chief executive officers) ini juga diatur di Amerika Serikat. UU Air dan UU Konservasi di Amerika Serikat menyebutkan bahwa korporasi digolongkan dalam pengertian persons yang dapat dikenai sanksi pidana, karena dipandang mengetahui atau semestinya telah mengetahui (should have known) terjadinya pelanggaran lingkungan. Pasal 51 UU Pidana Belanda (Stb. 1998 No. 35) pun memuat sanksi pidana dan pertanggungjawaban pidana bagi korporasi serta pengurusnya. Artikel 95 ayat (1) UU Pengendalian Udara dan Pasal 15 UU Tindak Pidana Ekonomi Belanda menetapkan bahwa managing director memikul tanggung jawab pidana. Jerat hukum ketiga berupa gugatan atas kerugian yang dialami korban karhutla dengan landasan konstitusional Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 28 Piagam Hak Asasi Manusia (Tap. MPR RI No. XVII/MPR/1998). Ketentuan ini memberikan basis hukum kepada setiap orang untuk merealisir kepentingannya. Gugatan lingkungan dapat dilakukan oleh perseorangan, kelompok masyarakat (class action), LSM, bahkan pemerintah pusat dan daerah atas kerugian yang disebabkan karhutla. Kehadiran KLHK yang kian rajin mengajukan gugatan kepada korporasi yang melakukan karhutla sangatlah tepat dan patut diacungi jempol, meskipun sering berhadapan dengan akademisi yang acapkali menjadi saksi ahli dari pembakar hutan. Tiga jerat hukum itu tentulah amat memadai untuk menjadi piranti legal mengatasi karhutla. Namun suatu realitas dapat dipelajari adalah mengapa beratnya sanksi hukum atas karhutla tersebut masih terkesan sebatas normatif, karena fakta empirisnya memotret kejadian karhutla tetap marak sampai akhirnya memunculkan “persandingan Jokowi-Tito”. Duet Jokowi-Tito yang bertindak tegas pada pelaku karhutla diniscayakan menyemai Indonesia yang berhutan lestari. Meneguhkan Komitmen Jokowi-Tito telah memancangkan tonggak memperkuat komitmen penegakan hukum untuk mengentas derita kemanusiaan dan lingkungan akibat karhutla. Publik menunggu aksi nyata tanpa jeda jajaran Presiden dan Kapolri selaku aparatur penegak hukum lingkungan dalam merealisir “peneguhan janji” yang disuarakan dari lorong kekuasaan negara. Kejahatan karhutla bukanlah tarian indah di panggung NKRI ini, melainkan penaburan “pagebluk” dari prilaku destruktif yang nista dan menghina negara. Konstruksi pikir rakyat sudah sangat terang ke mana tapak penegakan hukum harus diayunkan, kecuali karhutla adalah proyek yang harus dilanjutkan? Akhirnya, seperti usai mengikuti kisah-kisah pahit nan sarkastis dari Guy de Maupassant (1850-1893) di cerpennya Mademoiselle Fifi: “sering kita terhenyak atau merenung, terkadang tertawa menertawakan kelemahan”. Oh ... Jangan khawatir, Jokowi-Tito membawa optimisme mengatasi karhutla seirama cerita dalam novel A Prisoner of Birth karya Jeffrey Archer (2008) yang lakonnya, Danny Cartwright bertekad menyeret para pelaku ke kursi terdakwa dan memaksa mereka mengucapkan satu kata: bersalah. Akhirnya kembali lagi ke Jatim: Dirgahayu Provinsiku.

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU