Home / Peristiwa : Kontroversi dr Louis Owien

"Saya tak Percaya Covid-19...."

author surabayapagi.com

- Pewarta

Minggu, 11 Jul 2021 21:17 WIB

"Saya tak Percaya Covid-19...."

i

dr Lois Owien

Belakangan ini ada viral video seorang dokter wanita lulusan UKI (Universitas Kristen Indonesia) membuat heboh publik. Dokter wanita rupawan ini tidak percaya Covid-19 itu ada. Harian kita menurunkan ocehan dr Lois Owien, temannya sampai penggiat dokter Medsos, dr. Tirta, agar publik bisa menyerap dengan logika, benarkah Covid-19 yang telah mematikan lebih 18 juta manusia di seluruh dunia ini tidak ada. Berikut laporan koresponden Surabaya Pagi Jakarta Jaka dan Erick, dalam dua laporan.

Baca Juga: WHO Selidiki COVID Varian 'Eris', Picu Kematian Secara Tiba-Tiba?

 

SURABAYAPAGI.COM, Jakarta - Saya ini awalnya kuliah kedokteran di UI, lalu sempat menjadi PNS 3 Tahun. Kemudian ambil spesialis anti aging hormon di Malaysia. Anti Aging itu dipikir orang awam masalah penuaan/kecantikan. Padahal ini bicara penyakit generatif, penyakit komorbid lansia. Lebih pada recovery DNA, mengembalikan usia lebih muda 5 tahun.

Kenapa saya tak percaya Corona. Ya Karena saya juga mendalami dasar laboratorium di dunia. Karena alat yang untuk deteksi Corona, mirip persis teknis PCR, yakni swab. Yakni Swab mengusap sel mukosa, jadi tak mungkin ketemu virus.

Di awal pandemi, menggunakan rapid test. Kalau dari darah tidak mungkin ketemu virus. Ini berarti faktor imunitas.

Sekarang begini logikanya, sekitar awal bulan Maret 2020, pakai alat rapid test untuk mengetahui / mendeteksi virus (Corona) beberapa bulan. Nah ini khan menggunakan darah, dan tak akurat, berarti bukan virus. Jadi logikanya, khan itu bukan virus.

Karena apa, ini aneh, pandemi lucu-lucuan. Orang sehat dikejar-kejar untuk deteksi pakai alat, begitu reaktif/positif. Langsung di judge, anda terpapar virus Covid-19.

Tapi orang yang sakit yang ingin berobat di Rumah Sakit, faktanya itu harus ditelantarkan dulu. Harus menunggu hasil test. Nah dimana otaknya?

Sekarang positif atau negatif corona itu tergantung alat? Yah itu khan tergantung alat test itu. Tapi gini, logikanya, di kedokteran tidak boleh menjadikan alat sebagai diagnosa utama. Selalu anamnesa, selalu ada keluhan. Misal, saat berobat, harus ada keluhannya apa.

Sementara ini, OTG, dibilang virus karena alat bilangnya / hasilnya keluar positif. Masuk akal tidak? Ini sudah melenceng.

Saya bingung soal Covid? Apa gunanya masker? Virus ini kecil. Jadi saya mau tanya, menurut dokter, ada apa dengan Covid?

Namanya juga plandemi. Berdasarkan pengalaman sebelumnya, pandemi-pandemi khan selalu digagalkan oleh dr Siti Fadilah. Dan dr Siti Fadilah itu sudah berbicara, dan bila ada nama virus,  pandemi virus yang nama dipatenkan. Tujuan akhir yakni Vaksin. Jualan obat dan vaksin.

 

Alat Rapid dan PCR

Alat rapid dan PCR ini khan yang saya sebut sebagai osidosis laktat. Sementara obat-obatan yang ada saat ini, kondisinya kontra dengan apa yang dihasilkan oleh alat yang hasilnya positif. Jadi alat salah deteksi, dianjurkan oleh obat yang salah. Jadi ini bergejala yang keracunan, dan gejala ini namanya virus.

Jadi ini interaksi antar obat, semua kematian yang terjadi di Rumah Sakit baik jaman dahulu kala hingga jaman Covid-19, orang mati karena adanya interaksi antar obat. bukan karena penyakitnya. Jadi ini membuka kedok pengobatan beberapa puluh tahun.

Jadi saya melihat berdasarkan jumlah obat yang diberikan, dan interaksi obat dari satu yang lain. Khan ini biasanya saat dirawat di RS, dirawat beberapa dokter spesialis berbeda.

Dengan kondisi sesak napas misalnya, lalu mengeluh sakit perut. Jadi dikonsultasikannya dengan dokter siapa?

Jadi beberapa spesialis menangani , dan masing-maisng memberikan obat sesuai anjuran dokter spesialis itu. Jadi kalau sudah masuk ke tubuh, hingga enam macam obat, apa namanya?

Keracunan obat sebetulnya.

 

Gak Paham-paham

Andai kata kita diminta untuk membuktikan ini? Saya siap saja, selain dari kata pembuktian. Sebelumnya sikap saya juga banyak didukung dokter dan nakes-nakes banyak. Kalau saya menjelaskan Patofisiologi asidosis laknat, semua dokter itu paham dan mengerti.

Yang gak paham cuma di sosmed itu cuma dr Tirta. Padahal saya sudah kirim materi lengkap, gak paham-paham juga.

Lha ini saya baru jelaskan ke dokter gigi juga langsung paham, ini membuktikan kalau dokter itu IQ nya diatas 200. Lha ini dokter Tirta gak paham-paham. Kebanyakan mikir dagang itu.

Sedangkan, bagi orang yang disuspect Corona, obatnya lebih baik jangan ke Rumah sakit yah?

Sebenarnya Alat ini membaca imunitas. Jadi semua orang dalam kondisi sakit, alat ini membaca sebagai positif. Tetapi alat ini sifatnya dinamis.

Misal, bila dibandingkan menggunakan masker dan kondisi panas, bisa disebut positif. Tetapi kalau dicoba beberapa menit lagi, kondisi yang berbeda, hasilnya bisa berbeda. Bisa negatif.

Baca Juga: Dokter Paru Mereaksi Jokowi Soal Endemi

Jadi bukan RS yang mengcovid-covid setiap pasien. Ini karena alatnya memang tidak stabil. Suka berubah-ubah.

Dan keahilan saya, untuk mengubah positif menjdi negatif dalam hitungan jam, bisa saya kerjakan.

Malah ada orang yang sebut, ayo bawa dr Louis deh ke pasien Covid-19 tanpa APD. Bagaimana? Lha saya ini bergaul dengan pasien Covid berhari-hari. Datang ketemu saya.

Jadi sejak kapan sih, wabah yang normal, gak usah cari-cari alat. Kalau wabah asli, tiba-tiba dirumah, mati sesak napas. Bahkan antrian rumah sakit bisa tiba-tiba tumbang.

Lha ini orang harus mencari-cari tes dan alat. Bagaimana ini? Khan ini gak pernah ada di Indonesia.

Logikanya kalau wabah asli, mereka berkerumun atau habis demo dempet-dempetan, yah langsung mati.

 

Kritik Birokrasi Kedokteran

Kira-kira apa yang dokter lakukan, dengan kondisi yang tidak percaya covid dibanding yang percaya covid?

Dokter pendukung saya itu banyak, tetapi di kedokteran diatur birokasi dengan ketat. Harus ada referensi dan jurnal-jurnal ilmiahnya. Bahkan birokrasi kedokteran yang menghambat dokter yang menyuarakan kebenaran.  Jadi saya melihat, media is the real virus. Jadi TV ini sumber pandemi ini menjadi mendunia.  Jadi pandemi ini ada kepentingan politik, dan ini melawan sistem.

Makanya saya berani menjelaskan secara ilmiah, bahwa pandemi ini hanyalah plandemi. Jadi saya berani mempertanggungjawabkan secara ilmiah. Saya bersama dr Siti Fadilah dan Komjen Pol Dharma Pongrekun yang sepaham dengan saya.

Kalau alat sudah ganti-ganti, obat ganti-ganti. Sedangkan gejala sesak nafas, di rumah sakit. Jadi terbukti, pasien komorbid dan ada obat yang masuk. Itu obat itu yang justru menurunkan saturasi O2. Contohnya Acithromicyn yang bisa menyebabkan penurunan saturasi O2.

 

Bos Vaksin

Baca Juga: Bupati Ikfina Harap Pelayanan Kesehatan Di Bumi Majapahit Terus Meningkat

Nah kalau ditanya soal vaksin? Apa yang saya lihat. Jadi begini, alat saja sudah salah diagnosa? Obat penyebab bergejala dan penyebab kematian? Vaksin perlu tidak? Khan tidak perlu.

Mereka khan lebih percaya bos vaksin.

Khan terbukti, vaksin dibulan Januari 2021 kemarin, sekarang adanya second wave Covid saat ini. Vaksin terbukti tidak? Khan tidak.

Apalagi kini vaksin dijadikan komoditi wajib untuk orang kerja, naik pesawat, atau lain-lain.

Kini banyak tenaga kesehatan yang mau memberikan kita keterangan vaksin tanpa kita divaksin. Jadi mereka bisa menipu kita, tetapi kita bisa menipu mereka dong.

Jadi Corona ini saya anggap hanya plandemi saja.

Bagaimana dengan orang yang tidak bisa mencium dicap sebagai Corona? Itu namanya masalah anosmia. Kalau tidak bisa cium, dan tidak bisa membau. Mereka lupa, ada gangguan sensorik di hidung. Karena anosmia itu kekurangan vitamin B. Vitamin B itu adanya di hewan.

Nah kita khan mungkin saja kurang malkan enak, dan kurang vitamin. Apalagi kita memakai masker, juga bisa penyebab gangguan juga.

Jadi makan yang banyaj, makan seafood dan garam himalaya, serta habbatussauda, madu. Bisa selesai dan sembuh.

Tapi kita tidak sampai kepikran kearah sana. Soalnya duit kita habis untuk PCR.

Karena wabah yang berbahaya itu wabah kelaparan, buakn virus. Karena makan enak dijamin bisa sembuh dan imun kuat.

Jadi Pandemi hanya akan berakhir, yakni buang masker, bakar alat PCR. Itu buang saja semua.

Soalnya virus itu bukan hal yang menakutkan, karena virus itu menurut teori dokter Terawan diawal pandemi, yakni self limiting diseas. makanya menurut buku kedokteran paru, pnemonia yang paling ringan itu disebabkan oleh virus. Masa itu lupa sih ilmunya.

Virus itu bukan sesuatu yang menakutkan. Yang menakutkan itu alat yang mengecek karena adanya positif. Jadi karena alat itu yang bikin takut. (disarikan dari pernyataan Dokter Louis Owien dalam Podcast Babeh Aldo di Youtube ra135 dan direpost oleh akun YouTube Humam Baredwan/ham/rmc)

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU