Singgung Presidential Threshold O Persen, Ketua KPK Sangat Berani

author surabayapagi.com

- Pewarta

Rabu, 15 Des 2021 20:42 WIB

Singgung Presidential Threshold O Persen, Ketua KPK Sangat Berani

i

Ilustrasi karikatur

SURABAYAPAGI.COM, Jakarta - Ketua KPK Firli Bahuri belakangan ini mendadak viral akibat pernyataannya terkait ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold. Menurut Firli, presidential threshold seharunya 0 persen dan bukan 20 persen sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU) nomor 7 tahun 2017 tentang pemilu.

Alasan ia menekankan 0 persen, lantaran temuan KPK di berbagai daerah terkait mahar politik yang tinggi. Salah satu implikasi dari ambang batas presiden sendiri adalah kemungkinan munculnya multi calon sangat susah. Atau dengan kata lain, presidential threshold membatasi jumlah calon yang akan maju dalam pemilu.

Baca Juga: Enam Elemen Masyarakat Sidoarjo Desak KPK Jemput Paksa Tersangka Bupati Gus Muhdlor

Karena calon yang terbatas ini, partai politik tentu menetapkan mahar yang tak kecil. Banyak yang mengeluhkan soal mahalnya biaya pemilihan umum yang kemudian jadi alasan untuk melakukan korupsi.

Dari hasil survey KPK terkait Benturan Kepentingan Pendanaan Pilkada tahun 2018, menunjukan setidaknya 20 responden mengakui membayar mahar politik kepada parpol mulai dari angka Rp50 juta hingga Rp500 juta.

"Pada konteks ini, maka saya berpendapat bahwa jika PT (presidential threshold) 0 persen bisa membuat mahar politik parpol hilang dan biaya kampanye murah, sehingga pejabat terpilih lebih leluasa bekerja baik, ketimbang mikir korupsi untuk balik modal dan balas budi donatur, kenapa tidak PT ini 0%. Jika memang biaya politik mendorong hasrat korupsi yang membabi buta bagi seluruh pejabat politik, maka harus segera ditangani akar persoalannya. Salah satunya presidential threshold," kata Firli dinukil dari detik, Rabu (15/12/2021).

Sebagai partai berkuasa, PDI Perjuangan mereaksi keras manuver Firli ini. Anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan , Masinton Pasaribu menegaskan jika Ketua KPK sudah keluar jalur. Anggota Komisi XI DPR ini menilai sebagai pimpinan KPK, Firli Bahuri kurang tepat berbicara mengenai presidential threshold. Namun jika bicara mengenai pemilihan kepala daerah (pilkada), pemilu legislatif (pileg), dan pemilu presiden (pilpres) dengan biaya tinggi sebagai konsekuensi dari demokrasi sangat liberal, masih relevan.

"Biaya politik tinggi yang berdampak pada perilaku korupsi mungkin itu masih relevan tapi kalau bicara presiden threshold itu Ketua KPK, maaf maaf offside menurut saya pernyataannya," ujarnya.

Menurut Masinton, apa yang disampaikan Firli sudah keluar jalur karena presidential threshold merupakan produk politik yang diatur dalam UU Pemilu. "Offside itu sudah keluar jalur, threshold itu produk politik dan itu diatur dalam UU Pemilu," kata mantan Anggota Komisi III DPR ini.

Menariknya data KPK menyebut hampir 82,3 persen calon kepala daerah mengaku memiliki donatur. Mayoritas dari mereka kemudian berupaya melakukan korupsi untuk bentuk balas budi.

"Salah satunya 95,4 persen balas budi pada donatur akan berbentuk meminta kemudahan perizinan terhadap bisnis yang telah dan akan dilakukan atau 90,7 persen meminta kemudahan untuk ikut serta dalam tender proyek pemerintahan (pengadaan barang dan jasa)," terang Firli.

Hingga November 2021 setidaknya telah ada sekitar 21 gubernur dari 34 provinsi di Indonesia yang terlibat kasus korupsi. Sementara untuk walikota dan bupati sebanyak 129 orang. Secara akumulasi, telah ada sekitar 150 kepala daerah yang telah tersangkut kasus tindak pidana korupsi.

Untuk kasus sendiri, saat ini sekitar 739 kasus korupsi dengan modus suap yang telah ditangani KPK. Dan untuk pengadaan barang dan jasa 236 kasus serta penyalahgunaan anggaran 50 kasus.

 

Berani

Terpisah, pernyataan Firli ini pun mendapat apresiasi dan pujian dari Pengamat politik Universitas Trunojoyo Madura sekaligus peneliti Survey Center (SSC) Surabaya Surokim Abdussalam.

Menurut Surokim, gagasan presidential threshold 0 persen yang disampaikan oleh Firli merupakan ide yang berani dan progresif.

Baca Juga: Kemenkumham Jatim Siap Dukung Upaya Penegakan KPK Terhadap PTS

"Secara ide usulan presidential treshold 0% itu sangat progresif dan sangat maju. Parpol pasti bereaksi keras terhadap usulan begitu. Itu gak hanya menampar parpol tapi kalau diibaratkan tinju itu pukulan uppercut yg mematikan," kata Surokim kepada Surabaya Pagi, Rabu (15/12/2021).

"Usul begitu termasuk kategori super berani. Ketua KPK bisa mendapat sentimen negatif dari parpol dan itu akan berpengaruh terhadap dukungan politiknya. Jadi sekali lagi ini usulan sangat sangat progresif tapi sensitif," katanya lagi.

Dengan adanya pernyataan ketua KPK terkait presiden threshold, kemungkinan besar percakapan akan isu ini akan muncul kembali ke permukaan. Kabar baiknya, bagi para kelompok yang selalu mengajukan judicial review terkait presiden threshold akan mendapatkan angin segar.

"Namanya usul sebenarnya ya boleh boleh saja. Tapi kalau yang usul ketua KPK tentu implikasi politiknya tinggi dan bisa menjadi pematik diskusi publik yg rame kembali," ucapnya.

Kendati begitu, agar presiden threshold 0 persen atau dihilangkan akan sangat tidak mungkin terjadi. Hal ini kata dia, karena ada relasi kuasa partai politik dengan sejumlah kepentingan dan agenda.

"Menurut saya jalannya akan terjal untuk bisa ke sana kendati secara akademis usulan itu masuk akal dan memungkinkan. Jika pencalonan melalui parpol itu diduga bermahar tinggi dan gara-gara presidential treshold maka usulan itu sama halnya menujuk langsung ke muka partai," pungkasnya.

 

Mudahkan Koordinasi

Baca Juga: Hakim MK Nilai Sejak Pilpres KPU tak Serius

Sementara itu, Ketua DPD Partai Golkar Surabaya Arif Fatoni menyampaikan, dengan adanya presidential threshold, presiden akan dengan mudah berkoordinasi dan berkonsolidasi bersama parlament.

Dengan mudahnya konsolidasi politik ini, maka sejumlah kebijakan dan janji kampanye presiden akan dengan mulus dijalankan.

"Kita lihat untuk menyusun APBN atau undang-undang. Itu ada eksekutif yakni presiden dan legislatif. Nah kalau presidential threshold tidak diatur, presiden akan susah dalam lobi politik saat sidang. Tapi kalau diatur, setidaknya presiden sudah punya modal dan dukungan, jadi presiden terpilih tinggal tancap gas dan menunaikan janji-janji politiknya," kata Arif Fatoni.

Ia pun menambahkan, munculnya ide presidential threshold didengungkan pada masa kepemimpinan SBY dengan dukungan partai Demokrat.

Tujuannya saat itu adalah untuk memajukan sistem demokrasi di Indonesia. Oleh karenanya, bila sistem yang telah dibuat tersebut dihilangkan maka akan mengurangi semangat demokrasi yang telah dibangun.

Ditambah lagi tahun 2024 masih dalam suasana pemulihan ekonomi akibat pandemi covid-19. Bila presidential threshold di-nol kan maka, yang menjadi korban adalah seluruh masyarakat Indonesia.

"Kenapa? Karena kalau dinolkan, presiden tidak punya modal di parlamen. Sehingga harus konsolidasi. Nah konsolidasi minimal setahun. Nah apakah presiden punya waktu untuk konsolidasi? Sementara rakyat telah menunggu kebijakan dari presiden untuk membantu mereka keluar dari kesulitan ekonomi," tegasnya.

"Jadi presiden threshold itu harus ada. Soal apakah jumlahnya terlalu sedikit bukan berarti sistemnya yang dirubah. Tapi kita bisa mencari solusi dan alternatif lain," tambahnya. sem/rl

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU