Untuk Kepentingan Publik, Pers Liput Kasus Brigadir J

author surabayapagi.com

- Pewarta

Minggu, 17 Jul 2022 20:46 WIB

Untuk Kepentingan Publik, Pers Liput Kasus Brigadir J

i

H. Raditya M Khadaffi

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Saya heran, perkara yang dilaporkan ada tembak menembak antar Brigadir J dan Brigadir E di rumah Kadiv Propam Polri, mulai mengusik kebebasan pers nasional.

Pertama, pengacara istri Irjen Ferdy Sambo, mendatangi gedung Dewan Pers, minta pers berempati pada Putri, istri si jenderal. Kedua, ada jurnalis dari dua media digital Jakarta, dihardik tiga pria berambut cepak saat meliput di rumah Irjen Ferdy, di komplek Polri Duren Sawit Jakarta. Ada apa kok sampai muncul dua peristiwa seperti diatas.

Baca Juga: Sandra Dewi, Perjanjian Pisah Harta, Sebuah Strategi

Sudah adakah pers nasional melakukan Trial By The Press.? Sebagi jurnalis muda media mana yang tidak berhati-hati agar tidak terjerat kasus penghakiman oleh pers (trial by the press).

Apa reporter dan media nasional yang meliput momen kejadian tersebut sesuai fakta-fakta yang ditemukan di publik. Dan dipandang penting secara berimbang dari informasi keluarga Irjen Ferdy, keluarga Brigadir J dan ahli yang kompeten seperti forensik, psikolog sampai anggota DPR-RI.

Dalam kajian saya, semua media yang sekarang terbit dan mengudara, insha Allah menyadari, mereka sebuah industri pers.

Sebagai sebuah industri pers, para pengelola dan wartawannya (terutama tingkat redaktur) tahu batasan -batasan narasumber yang credible dan tidak. Mereka saya pikir paham berita hoax dan peristiwa faktual.

Ini karena karakter media komersial ditandai dan dipengaruhi oleh entitasnya sebagai institusi bisnisnya.

Dan ini dapat disaksikan bagaimana arus kepentingan kekuasaan politik dan ekonomi yang dari tahun ke tahun terus merubah karakter jumalismenya. Saya dalami karakter jurnalismemya tidak hanya soal media komersial, akan tetapi juga menjadi referensi bagi style trend jumalisme pers nasional Indonesia. Sebagai pengelola, saya akui ada dominasi arus kepentingan kekuasaan dan modal usaha media. Ini pada akhimya berdampak pada logika kinerja media (media logic) dalam proses news

gathering dan newsproducing.

Juga terkait komersialisasi pemberitaan media juga kian menjadikan media terjebak dalam dramatisasi fakta. Ini bisa diamati pemberitaan kasus tertembaknya Brigadir J. Antar satu media lokal saja bisa berbeda. Apalagi antar media lokal dan nasionalFakta yang dihadirkan dalam tindak pidana di rumah Kadiv Propam

Polri, bisa bias. Ini karena konstruksi realitas dramatisnya. Pendapat saya, praktik ini akibat tuntutan kompetisi pasar.

Maka fakta liputan kasus Brigadir J, semata-mata dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan pasar/konsumen, bukan untuk kepentingan privat.

Pembaca atau pasar, selama ini dibingungkan kejanggalan demi kejanggalan kasus ini. Atas pembeberan beberapa kejanggalan, perkara yang melibatkan istri Irjen Ferdy Sambo, tindak pidana ini menjadi perkara yang menjadi perhatian publik.

 

***

 

Kejanggalan yang terungkap di publik dimulai, pengumuman kasus ini baru dibuka setelah 3 hari tembak-menembak yang menewaskan sopir-ajudan Irjen Ferdy Sambo. Saat publikasi, Biro Humas Polri tidak menunjukan alat bukti tembak-menembak maupun pelecehan seksual terhadap istri Irjen Ferdy Sambo.Kejanggalan kedua, Brigadir J, yang tewas dengan laporan tertembak, ada luka sayatan di beberapa badan dan wajah. Kejanggalan ketiga, soal lokasi kejadian tak ada tembok bekas lubang peluru. Kejanggalan keempat CCTV di dekat tempat Kejadian Perkara tidak ada dan dinyatakan rusak. Kejanggalan kelima, saat kejadian Irjen Ferdy dilaporkan tidak ada di rumah. Kabarnya tes PCR. Sejumlah kejanggalan diungkap Menko Polhukam, beberapa anggota DPR-RI, Pengurus RT yang juga pensiunan Polri berpangkat Irjen: ahli forensik sampai keluarga Brigadir J.

Sorotan pers terhadap beberapa kejanggalan, karena media juga memiliki beragam relasi. Pertama, relasi organisasi media dengan masyarakat. Kedua, relasi organisasi media dengan kelompok penekan (pressure groups). Ketiga, relasi organisasi media dengan pemilik, klien dan suppliers. Keempat, relasi organisasi media. Kelima, relasi organisasi media dengan audiences. Keenam, relasi organisasi media dengan internal organisasi.

Bahkan dalam pengalaman saya kelola perusahaan, riil media juga memiliki lima jenis tujuan utama; pertama, memperoleh keuntungan; kedua, tujuan pengaruh sosial dan prestis; keriga, memaksimalkan pengaruh terhadap audiens. keempat, tujuan politik, budaya dll/; kelima, melayani kepentingan publik.

Mengutip pendapat (Shoemaker dan Reese, 1991), McQuail (2005) merumuskan beberapa konsep normative media yang mencerminkan performance media dalam berbagai kemungkinan interaksi ke publik.

Pertama, isi media merefleksikan realitas social (mass media as mirror of society).

Kedua, isi media dipengaruhi oleh proses sosialisasi dan sikap pekerja media (a-communicator-centred approach).

Baca Juga: Budi Said, Dituding Mafia Tanah, Apa Iya??

Ketiga, isi media dipengaruhi oleh rutinitas organisasi media.

Keempat, isi media dipengaruhi oleh institusi social dan kekuasaan di luar media..Kelima, isi media merupakan fungsi dari pemapanan ideology dan status quo (the hegemonic approach)

Sebagai pengelola media cetak, saya mendapati tantangan terbesar yaitu saat menulis hasil peliputan pemberitaan, tergoda oleh kepentingan publik yaitu bersaing dengan media online (cyber).

Apalagi sejak saya jadi wartawan, sudah diisi oleh senior-senior saya tentang sepuluh— prinsip-prinsip jumalisme. Prinsip utamanya seorang jumalisme harus mendahulukan pada kebenaran.

Bagi wartawan di seluruh dunia, kebenaran menjadi penting bagi kerja jumalisme . Ini agar masyarakat bisa memperoleh informasi yang mereka butuhkan untuk berdaulat.

Ini yang saya pahami bentuk “kebenaran jumalistik” yang ingin dicapai. Jadi kebenaran jurnalistik bukan sekadar akurasi, namun merupakan bentuk kebenaran yang praktis dan fungsional.

Pertanyaan menggelitik saya sejak awal jadi wartawan adalah, bagaimana kebenaran tersebut dapat diwujudkan oleh media sehari-hari? Dalam praktik, ini menjadi dilematis seperti pers yang meliput kasus dugaan pelecehan terhadap istri Irjen Ferdy Sambo. Pagi-pagi, lawyernya mendatangi Dewan Pers, minta pers berempati pada istri Irjen Ferdy Sambo. Atas ajakan ini, sebagai jurnalis muda, apakah media tak boleh berempati juga pada keluarga Brigadir J, yang tahu anaknya mati ada sayatan di mata, hidung dan jari-jari.

Akal sehat saya berkata, pengacara Irjen Ferdy, sepertinya menutup mata atas esensi jumalisme yaitu disiplin verifikasi.

Juga pengacara istri Irjen Ferdy, seperti mengabaikan “obyektivita’s” dalam jumalisme.

Ia tampaknya mengabaikan prinsip bahwa obyektivitas dalam jurnalisme bukanlah pada obyek liputan pemberitaannya, akan tetapi metode yang digunakannya dalam meliput berita. Ini terkait

media dan jumalis harus bersikap independen.

Baca Juga: Jual-beli Opini WTP, BPK Minta Rp 40 M

Maklum secara formal, jurnalis dituntun tetap menjaga independensi. Ini ada pada semangat dan pikirannya.

Nah, dalam praktik yang saya alami, seringkali jumalis sulit keluar dari jebakan empati dan simpati terhadap realitas yang diliputnya. Apalagi jika realitas tersebut sarat dengan nilai-nilai social, moral dan ideology yang dekat dengan dirinya. Pertanyaannya, bagaimana jurnalis bisa melakukan empati dan simpati pada istri Irjen Ferdy, karena sampai kini Bu Putri, nama istri Irjen Ferdy Sambo, tak pernah muncul di publik. Apalagi berkomunikasi dengan wartawan yang meliput kasus ini.

Tak salah, bila sampai belum bisa berkomunikasi dengan Bu Putri, media dan jumalis nasional tetap menjalankan tugas sebagai pemantau independen terhadap kekuasaan dalam melakukan penegakan hukum Jenderal vs tamtama?.

Dalam realita ini, advokat istri Irjen Ferdy, sepertinya tak mau tahu pola hubungan antara ’’kepentingan publik” timbulnya publikasi kasus ini.

Dalam kegiatan yang saya alami sebagai pengelola media, disitu ada pola hubungan ’’akuntabilitas media”. Dari berbagai kasus tindak pidana dan sengketa sengketa yang terjadi di publik, sering saya alami persepsi diantara para pihak (stake holder) dalam memahami kebebasan pers dan aturan perundang-undangan yang menjamin kebebasan pers.

Pengalaman saya dalam merawat pola hubungan ’’akuntabilitas media”, pada akhirnya minta mediasi ke Dewan Pers, sebelum dilaporkan secara pidana.

Sampai kini dalam kebijakan liputan,

kepentingan publik yang saya pegang adalah kepentingan publik sebagai penjumlahan kepentingan pribadi, kepentingan umum dan kesatuan .

Maka, kepentingan publik dalam kasus ini adalah menekankan pada “apa yang diinginkan oleh orang banyak”.

Denyut nadi yang saya rekam, kepentingan publik dalam kasus ini buka, dan ungkap secara transparan kasus ini. Tembak menembak tanpa penyiksaan atau pelecehan seksual antara istri jenderal dan ajudan-sopirnya. Mari kita ikuti secara seksama episode pengungkapan yang transparan dari tim bentukan Kapolri. ([email protected])

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU