Janji Hilangkan UMR dan Kemiskinan, Apa Bukan PHP

author surabayapagi.com

- Pewarta

Selasa, 12 Des 2023 21:22 WIB

Janji Hilangkan UMR dan Kemiskinan, Apa Bukan PHP

i

Raditya M Khadaffi

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Jejak digital mencatat upah minimum buruh sudah ada sejak 1969. Selama 54 tahun, Indonesia tiga kali mengganti standar kebutuhan hidup sebagai dasar penetapan upah minimum.

Adanya beberapa kali ganti istilah upah minimum ini menunjukkan suatu dilemah, baik bagi pemerintah, dan pengusaha. Terutama setelah tumbuhnya berbagai organisasi serikat pekerja.

Baca Juga: Jokowi vs Mega, Prabowo vs Mega = Kekuasaan

Berdasarkan data penelusuran saya sampai Oktober 2023, perjuangan organisasi serikat pekerja mulai ada unsur politiknya. Buruh diorganisir bukan hanya untuk memperjuangkan hak hidupnya.

Menganalisis beberapa pernyataan ketua organisasi serikat pekerja selama ini perjuangan buruh saat ini bukan cuma meminta upah layak. Tapi hak politik.

Termasuk berorganisasi sebagai buruh industri. Ada kecenderungan memperjuangkan "hak" buruh sebagai profesi dan bukan lagi pekerja kuli. Saya mencatat gerakan buruh mulai ada yang bersifat pressure.

Padahal dari literasi yang saya baca, UMR muncul sebagai upaya pemerintah untuk melindungi pekerja agar perusahaan bisa membayarkan upah bulanan secara layak kepada para karyawannya.

Harapan pemerintah sejak Orba, adanya aturan UMR, perusahaan wajib membayar gaji maupun tunjangan sesuai dengan upah minimum yang sudah ditetapkan.

Dikutip dari Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), Upah minimum bermula ditetapkannya kebutuhan fisik minimum (KFM) pada 1956 melalui kesepakatan tripartit dan ahli gizi. Regulasi upah minimum pertama kali diperkenalkan pada awal 1970-an setelah dibentuknya Dewan Penelitian Pengupahan Nasional dan Daerah.

Tercatat, kebijakan upah minimum berlaku setelah keluarnya Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 05 Tahun 1989. Upah minimum ditetapkan berdasarkan pertimbangan KFM, indeks harga konsumen (IHK). Termasuk aspek perluasan kesempatan kerja, upah umum regional, kelangsungan dan perkembangan perusahaan, juga tingkat berkembangnya ekonomi regional atau nasional.

Ketentuan upah minimum ini kemudian direvisi dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Per-01/Men/1990. Revisi upah minimum berbentuk upah pokok ditambah tunjangan tetap. Artinya, ketentuan pembayaran pokok paling rendah 75 persen dari upah minimum.

Dengan catatan jurnalistik saya ini, akal sehat saya berbisik janji kampanye capres Prabowo yang akan menghilangkan UMR, tampaknya sekedar impian.

Saat ini saja, saya gali di Disnaker, saat ini ada dua jenis upah minimum di Indonesia. Ada yang berlaku di tingkat provinsi (UMP) dan kabupaten/kota (UMK).

Akal sehat saya berbisik janji kampanye capres Prabowo, tak ubahnya janji orang tua kepada anak dengan iming iming permen coklat. Sementara anak anak remaja wanita (ABG) yang jadi korban pacarnya menyebut kena PHP (Pemberi Harapan Palsu). Masya Allah.

 

***

 

Data yang saya peroleh dari BPS, kemiskinan sejak pemerintahan Soeharto sampai Jokowi, tak pernah bisa dihilangkan? Mengapa?

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan kesulitannya. Misal mengelola data masyarakat miskin di daerah-daerah.

Ini karena adanya oknum pimpinan di pemerintah daerah yang membuat masyarakat miskin 'jadi-jadian'. Maksudnya, keluarga penerima program perlinsos itu bukan termasuk golongan miskin, melainkan dibuat-buat supaya dapat manfaat dari program perlinsos.

"Ada masalah tata kelola di mana Pemda akan memilih keluarga miskin yang memberikan suara bagi mereka, tapi dia bukan benar-benar miskin," kata mantan pejabat Bank Dunia tersebut.

Disana, ada belanja negara dalam program perlindungan sosial.

Ini karena adanya oknum pimpinan di pemerintah daerah yang membuat masyarakat miskin 'jadi-jadian'. Maksudnya, keluarga penerima program perlinsos itu bukan termasuk golongan miskin, melainkan dibuat-buat supaya dapat manfaat dari program perlinsos.

"Ada masalah tata kelola di mana Pemda akan memilih keluarga miskin yang memberikan suara bagi mereka, tapi dia bukan benar-benar miskin," kata mantan pejabat Bank Dunia tersebut. (CNBC Selasa, 09/05/2023 19:30 WIB).

Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik (BPS) sejak 1970 hingga 2018, tren angka kemiskinan cenderung menurun meski sempat naik di tahun 1996, 1998, 2002, 2005, 2006, 2013, 2015, dan 2017.

Kemiskinan tertinggi terjadi pada 1970, di mana terdapat 60 persen penduduk yang masuk kategori miskin atau 70 juta jiwa. Sementara angka terendah ditunjukkan pada data BPS bulan Maret 2018, yakni 9,82 persen dengan 25,95 juta penduduk miskin. Ini pertama kalinya angka kemiskinan di Indonesia berada di bawah 10 persen.

 

Era Presiden Soeharto

1970 : Angka kemiskinan 60 persen dengan 70 juta jiwa.

1976 : Angka kemiskinan turun menjadi 40,1 persen dengan 54,2 juta jiwa.

1978 : Angka kemiskinan turun menjadi 33,3 persen dengan 47,2 juta jiwa.

1980 : Angka kemiskinan turun menjadi 28,6 persen dengan 42,3 juta jiwa.

1981 : Angka kemiskinan turun menjadi 26,9 persen dengan 40,6 juta jiwa.

1984 : Angka kemiskinan turun menjadi 21,2 persen dengan 35 juta jiwa.

1987 : Angka kemiskinan turun menjadi 17,4 persen dengan 30 juta jiwa.

1990 : Angka kemiskinan turun menjadi 15,1 persen dengan 27,2 juta jiwa.

1993 : Angka kemiskinan turun menjadi 13,7 persen dengan 25,9 juta jiwa.

1996 : Angka kemiskinan naik menjadi 17,47 persen dengan 34,01 juta jiwa.

 

Era Presiden BJ Habibie

1998 (Desember) : Angka kemiskinan naik menjadi 24,2 persen dengan 49,5 juta jiwa.

1999 (Februari) : Angka kemiskinan turun menjadi 23,43 persen dengan 47,97 juta jiwa.

 

Era Presiden Abdurrahman Wahid

2000 : Angka kemiskinan turun menjadi 19,14 persen dengan 38,74 juta jiwa.

2001 : Angka kemiskinan turun menjadi 18,41 persen dengan 37,87 juta jiwa.

 

Era Presiden Megawati Soekarnoputri

2002 : Angka kemiskinan naik menjadi 18,20 persen dengan 38,39 juta jiwa.

Baca Juga: Cari SIM Dibawah 17 Tahun, Benchmark Gibran

Meski persentase turun, jumlah penduduk miskin meningkat.

2003 : Angka kemiskinan turun menjadi 17,42 persen dengan 37,34 juta jiwa.

2004 : Angka kemiskinan turun menjadi 16,66 persen dengan 36,15 juta jiwa.

 

Era Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono

2005 : Angka kemiskinan naik menjadi 16,69 persen dengan 36,8 juta jiwa.

2006 : Angka kemiskinan naik menjadi 17,75 persen dengan 39,3 juta jiwa.

2007 : Angka kemiskinan turun menjadi 16,58 persen dengan 37,17 juta jiwa.

2008 : Angka kemiskinan turun menjadi 15,42 persen dengan 34,96 juta jiwa.

2009 : Angka kemiskinan turun menjadi 14,15 persen dengan 32,53 juta jiwa.

2010 : Angka kemiskinan turun menjadi 13,33 persen dengan 31,02 juta jiwa.

2011 (Maret) : Angka kemiskinan turun menjadi 12,49 persen dengan 30,12 juta jiwa.

2011 (September) : Angka kemiskinan turun menjadi 12,36 persen dengan 30,01 juta jiwa.

2012 (Maret) : Angka kemiskinan turun menjadi 11,96 persen dengan 29,25 juta jiwa.

2012 (September) : Angka kemiskinan turun menjadi 11,6 persen dengan 28,71 juta jiwa.

2013 (Maret) : Angka kemiskinan turun menjadi 11,36 persen dengan 28,17 juta jiwa.

2013 (September) : Angka kemiskinan naik menjadi 11,46 persen dengan 28,61 juta jiwa.

2014 (Maret) : Angka kemiskinan turun menjadi 11,25 persen dengan 28,28 juta jiwa.

2014 (September) : Angka kemiskinan turun menjadi 10,96 persen dengan 27,73 juta jiwa.

 

Era Presiden Joko Widodo

2015 (Maret) : Angka kemiskinan naik menjadi 11,22 persen dengan 28,59 juta jiwa.

2015 (September) : Angka kemiskinan turun menjadi 11,13 persen dengan 28,51 juta jiwa.

2016 (Maret) : Angka kemiskinan turun menjadi 10,86 persen dengan 28,01 juta jiwa.

Baca Juga: Sengketa Pilpres 2024 Berakhir dengan Dissenting Opinion

2016 (September) : Angka kemiskinan turun menjadi 10,7 persen dengan 27,76 juta jiwa.

2017 (Maret) : Angka kemiskinan naik menjadi 10,64 persen dengan 27,77 juta jiwa. Meski persentase turun, jumlah penduduk miskin meningkat.

2017 (September) : Angka kemiskinan turun menjadi 10,12 persen dengan 26,58 juta jiwa.

2018 (Maret) : Angka kemiskinan turun menjadi 9,82 persen dengan 25,95 juta jiwa.

 

Dari data itu, sejak dulu, sampai sekarang, siapapun presidennya, soal kemiskinan menjadi pekerjaan rumah utama yang harus segera dituntaskan.

 

Menggunakan data itu, katakan Prabowo, dalam pilpres 2024 menang, akal sehat saya tak yakin mantan menantu Soeharto, bisa hilangkan sama sekali kemiskinan di Indonesia.

Landasan berpikir saya sederhana penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan nilai garis kemiskinan (GK) pada September 2022 naik sebesar 5,95% dibandingkan Maret 2022, dari semula Rp 505.469 menjadi sebesar Rp 535.547 per kapita per bulan.

Dengan besaran GK Rp 535.547 per kapita per bulan, maka pengeluaran masyarakat kurang dari Rp 17.851 per hari. Mengerikan! Masih banyak rakyat masuk kategori miskin atau di bawah garis kemiskinan.

 

***

 

Berpatokan data UMR dan kemiskinan di atas, bisa ditebak janji capres Prabowo, janji manis. Apalagi sebelumnya disertai pernyataan yang gratis-gratis makan dan susu. Sebagai jurnalis dengan pijakan ilmu sosial, janji semacam itu tanpa pijakan rasionalitas.

Bila kita rangkum semua janji manis itu, barangkali akan tercipta surga dunia di Indonesia. Terlepas apakah itu sungguh nyata atau fatamorgana. Yang penting janji saja dulu, bagaimana realisasi urusan nanti setelah pencoblosan.

Tak salah negarawan Uni Soviet Nikita Sergeyevich Khrushchev pernah menggambarkan betapa mengada-ada janji politik itu.

“Politikus itu di mana-mana sama. Mereka berjanji membangun jembatan, meskipun tidak ada sungai di sana”.

Maklum, meski saya tak pernah kuliah di jurusan ekonomi pembangunan, saya paham setiap janji berkorelasi dengan penganggaran dan cara pendanaan. Artinya bila banyak capres yang dijanjikan gratis, dari mana sumber pendanaannya? Saya tahu dana APBN bukan warisan nenek moyang saya yang boleh dihambur-hamburkan. melainkan harus dibelanjakan dengan memenuhi prinsip akuntabilitas. Saya tahu sumber APBN salah satunya berasal dari pajak yang dibayarkan oleh masyarakat.

Akal sehat saya paham janji yang muluk-muluk, bisa jadi menghina kecerdasan pemilih. Karena data Kementerian Dalam Negeri di pengujung tahun 2022 mencatat sejumlah 77,63 juta penduduk Indonesia telah mengenyam pendidikan minimal SMA hingga S3. Atau sekitar 38 persen dari total jumlah pemilih yang sebesar 204, 8 juta sekian. (Antara, Rabu, 15 November 2023 19:10 WIB).

Jadi saat para capres - cawapres menyemburkan janji-janji, harapan saya semoga ditepati.

Janjinya semoga bukan omong kosong. Bukan sekadar janji untuk merayu konstituen. Semoga dalam debat debat capres malam ini dan seterusnya, janji manis diganti gagasan rasional yang tak bodohi rakyat.

Why? Saya juga tidak tahu, seberapa besar pengaruh janji-janji capres terhadap para konstituen. Mungkin ada yang “kemakan”. Sehingga, tertarik memilih capres tertentu.

Capres yang menjanjikan banyak hal, namun tidak ditepati. "Ini seperti tong kosong nyaring bunyinya." Dalam bahasa gaul, PHP atau memberikan harapan palsu. ([email protected]).

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU