Sengketa Pilpres 2024 Berakhir dengan Dissenting Opinion

author surabayapagi.com

- Pewarta

Selasa, 23 Apr 2024 21:04 WIB

Sengketa Pilpres 2024 Berakhir dengan Dissenting Opinion

i

Raditya M Khadaffi

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Ada kontradiksi dari paslon 03, Capres Ganjar Pranowo dan cawapres Mahfud Md.

Kontradiksi antara awal permohonan gugatan sengketa Pilpres 2024 dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Baca Juga: Gerakan Buruh, Jaringan dan Aspirasi Politiknya

Keputusan MK menolak gugatan Ganjar-Mahfud terkait sengketa Pilpres 2024. Ganjar mengucapkan selamat bekerja kepada Prabowo-Gibran selaku pemenang Pilpres 2024.

Ia mengaku menerima keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak gugatannya.

Ganjar bahkan mengatakan proses di MK telah berjalan dengan sesuai padahal dissenting opinion. Ganjar pun menyampaikan terima kasih atas dukungan para relawan dan masyarakat kepadanya.

Mantan Gubernur Jawa Tengah itu juga memberikan apresiasi kepada MK. Terlebih, kata dia, ada dissenting opinion di dalam putusan MK.

Menurut Mahfud, mantan Ketua MK, baru kali ini ada dissenting opinion dalam putusan sengketa Pilpres.

Indikasi apa sebuah putusan sengketa pilpres 2024 ada dissenting opinion? Ini gambaran tidak utuhnya keputusan MK dalam mengamankan keabsahan Prabowo-Gibran, Capres -cawapes Indonesia lima tahun ke depan

 

***

 

"Beri kami waktu untuk menyiapkan beberapa butir-butir yang nantinya akan menjadi respons kami atas putusan," ungkap Anies usai putusan persidangan di Gedung MK, Jakarta, Senin (22/4/2024).

Anies dan Muhaimin tidak memberikan reaksi berarti atas keputusan MK . Keduanya hanya duduk mematung menghadapi putusan yang tidak sejalan dengan keinginannya. Setelahnya, saat Wakil Ketua MK Saldi Isra membacakan argumentasi perihal ketidaksetujuannya atas putusan tersebut, Anies dan Muhaimin, berulang kali memberikan anggukan tanda setuju atas pendapat guru besar Universitas Andalas itu.

Saldi Isra mengungkap, tidak sedikit literatur ilmiah dan kajian akademik di bidang politik dan hukum yang mengulas mengenai penggunaan keuangan negara dalam bentuk implementasi program pemerintah yang digunakan sebagai salah satu bentuk strategi memenangkan pemilu, khususnya dalam pemilu yang diikuti petahana. Saldi Isra, saat membacakan pendapat berbedanya (dissenting opinion) dalam sidang pembacaan putusan sengketa Pilpres 2024, Senin (22/4/2024), mengatakan banyak ahli telah meneliti dan membahas strategi demikian. antara lain dengan menggunakan konsep political budget cycle.

Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Saldi Isra menyoroti asas jujur dan adil dalam pelaksanaan Pilpres 2024. Menurutnya, Pilpres 2024 bisa saja sudah sesuai dengan mekanisme dan prosedur yang ada. Namun, belum tentu menjamin Pilpres berjalan secara jujur. Dia pun menyinggung preseden pada era orde baru lalu.

"Pemilu di masa Orde Baru pun berjalan memenuhi standar mekanisme yang ditentukan dalam UU Pemilu saat itu. Namun, secara empirik, Pemilu Orba tetap dinilai curang," ungkap Saldi Isra.

Saldi menyebut pemilu seharusnya melampaui batas keadilan prosedural. Namun, juga secara substantif.

Baca Juga: Hakim MK Marahi Sekretaris KPU, MK Dianggap Tak Penting

Pada era orba, kata Saldi, pelaksanaan pemilu berjalan tidak adil (fair). Salah satunya karena faktor pemihakan pemerintah kepada salah satu kontestan pemilu.

Oleh karena itu, asas jujur dan adil dalam norma Pasal 22E ayat 1 UUD 1945 menghendaki sebuah keadilan dan kejujuran pemilu yang lebih materiil. Pasal itu adalah buah dari perubahan atau amendemen UUD 1945 pascareformasi 1998 atau setelah Orde Baru jatuh.

"Jujur dan, maksud yang dikehendaki bukan hanya sekadar sikap patuh pada aturan, melainkan sikap tidak berlaku curang," ingat Saldi, yang mengaku bahwa dia merasa mengemban kewajiban moral untuk mengingatkan guna mengantisipasi dan mencegah terjadinya pengulangan atas keadaan serupa dalam setiap kontestasi pemilu. Terlebih, dalam waktu dekat Pilkada 2024 akan segera dihelat secara nasional dan serentak. "Penggunaan anggaran negara/daerah oleh petahana, pejabat negara, ataupun oleh kepala daerah demi memenangkan salah satu peserta pemilihan yang didukungnya dapat dimanfaatkan sebagai celah hukum dan dapat ditiru menjadi bagian dari strategi pemilihan," tambah Saldi.

"Dengan menyatakan dalil a quo terbukti, maka akan menjadi pesan jelas dan efek kejut (deterrent effect) kepada semua calon kontestan dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah bulan November 2024 yang akan datang untuk tidak melakukan hal serupa," ingatnya lagi. Saldi mengakui, memiliki keyakinan yang berbeda dengan sebagian hakim yang lain, termasuk dalam hal tidak mobilisasi aparat yang banyak dilaporkan tetapi tidak ditindaklanjuti oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) . Ia soroti ginakan dalih persyaratan pelaporan yang kurang lengkap.

Ia ungkap, kunjungan aparat ke masyarakat saat pilpres hampir selalu menyampaikan pesan 'bersayap' yang dapat dimaknai sebagai bentuk dukungan atau kampanye terselubung bagi pasangan calon tertentu," tambah guru besar Universitas Andalas itu.

Saldi, merujuk fakta yang terungkap dalam proses persidangan, ada menteri yang terkait langsung dengan tugas tersebut, in casu Menteri Sosial yang seharusnya memiliki tanggung jawab terhadap pemberian bansos menyampaikan keterangan bahwa tidak pernah terlibat dan/atau dilibatkan dalam pemberian atau penyaluran bansos secara langsung di lapangan.

Saldi justru menyinggung fakta dalam persidangan bahwa terdapat sejumlah menteri aktif yang membagikan bansos kepada masyarakat, terutama selama periode kampanye.

Saldi tidak sendirian berbeda pendapat. Ada tiga orang hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan pendapat berbeda atau dissenting opinion dalam putusan perkara sengketa hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Ketua MK Suhartoyo mengungkap nama tiga hakim MK tersebut adalah Saldi Isra, Enny Nurbainingsih, dan Arief Hidayat

Baca Juga: Emil Dardak, Si Genius, Bisa Menteri, Bisa Tetap Wagub

Artinya, selain Saldi Isra, ada hakim Enny Nurbaningsih dan Arief Hidayat yang menyampaikan pendapat berbeda, yang pada intinya tidak setuju dengan lima hakim konstitusi lainnya yang menolak dalil-dalil permohonan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud.

Keputusan mengikatnya, MK menyatakan permohonan pemohon "tidak beralasan menurut hukum seluruhnya".

Dalil-dalil permohonan yang diajukan itu antara lain soal ketidaknetralan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan DKPP.

Kemudian dalil terkait tuduhan adanya abuse of power yang dilakukan Presiden Joko Widodo dalam menggunakan APBN dalam bentuk penyaluran dana bantuan sosial (bansos) yang ditujukan untuk memengaruhi pemilu.

Saldi Isra, mengingatkan asas jujur dan adil tidak bisa berhenti pada batas keadilan prosedural semata tetapi harus pada keadilan substansial. Bilamana hanya sebatas keadilan prosedural, asas pemilu jujur dan adil dalam UUD 1945, ungkap Saldi, tidak akan pernah hadir.

Saldi mengatakan setidaknya ada 2 hal yang membuatnya mengambil dissenting opinion.

Pertama, terkait mengenai penyaluran bantuan sosial (bansos) yang dianggap menjadi alat untuk memenangkan salah satu peserta pemilu presiden dan wakil presiden.

Kedua, keterlibatan aparat negara, pejabat kepala daerah atau penyelenggara di sejumlah daerah. Ini catatan dari Hakim Konstitusi untuk anak bangsa kini dan ke depan. ([email protected])

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU