Dicari Profesor Tandingan, Lawan Profesor Penggugat Rezim Jokowi

author surabayapagi.com

- Pewarta

Kamis, 14 Mar 2024 20:22 WIB

Dicari Profesor Tandingan, Lawan Profesor Penggugat Rezim Jokowi

i

Raditya M Khadaffi

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Saat ini telah muncul gerakan mahasiswa tandingan. Rabu (13/3/2024) lalu, ada dua kelompok mahasiswa pro-kontra Hak Angket di depan gedung DPR-RI, Senayan Jakarta.

Sebelumnya sudah ada beberapa aksi demo di DPR-RI. Termasuk dua aksi mahasiswa pro- kontra pemakzulan Jokowi.

Baca Juga: Jokowi vs Mega, Prabowo vs Mega = Kekuasaan

Selasa (13/3) lalu muncul tokoh tokoh kampus dan puluhan civitas academica Jogja mendeklarasikan gerakan Kampus Menggugat. Gugatan demi menegakkan etika, konstitusi, dan memperkuat demokrasi Republik Indonesia.

Deklarasi gerakan Kampus Menggugat itu dilangsungkan di Balairung, UGM, Sleman, DIY. Dalam deklarasi itu ada alumni UGM dan universitas lain. Selain elemen masyarakat sipil.

Pakar tata hukum tata negara, Zainal Arifin Mochtar, juga tampil berorasi. Zainal Arifin Mochtar, mengajak para akademisi UGM khususnya untuk membangun pengadilan rakyat.

Kata Uceng, nama panggilan Zainal Arifin Mochtar, ini karena lembaga negara tak serius mengadili dan menjatuhkan sanksi, maka rakyat mengambil peran tersebut seperti yang sudah dilakukan di negara luar.

"Demokrasi bukan tidak pernah kalah tapi demokrasi itu membutuhkan perjuangan," ucap Uceng.

Juga ada seruan UGM. Seruan berisi:

1. Civitas academica UGM melalui gerakan moral Kampus Menggugat pun menyerukan sejumlah hal sebagai berikut yang dibacakan Prof. Wahyudi:

2. Universitas sebagai benteng etika menjadi lembaga ilmiah independen yang memiliki kebebasan akademik penuh untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan menyuarakan kebenaran berbasis fakta, nalar dan penelitian ilmiah.

3. Segenap elemen masyarakat sipil terus kritis terhadap jalannya pemerintahan dan tak henti memperjuangkan kepentingan rakyat banyak.

4. Ormas sosial keagamaan, pers, NGO, CSO, tidak terkooptasi, apalagi menjadi kepanjangan tangan pemerintah.

Para pemegang kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif diharapkan:

- Memegang teguh prinsip-prinsip demokrasi secara substansial dan menjunjung tinggi amanah konstitusi dalam menjalankan kekuasaan demi mewujudkan cita-cita proklamasi dan janji reformasi. Politik dinasti tak boleh diberi ruang dalam sistem demokrasi.

- Menegakkan supremasi hukum dan memberantas segala macam bentuk korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) tanpa mentolerir pelanggaran hukum, etika dan moral dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara.

- Secara serius mewujudkan keadilan ekonomi dan sosial bagi semua warga dan tak membiarkan negara dibajak oleh para oligarki dan para politisi oportunis yang terus mengeruk keuntungan melalui kebijakan-kebijakan yang merugikan rakyat pada umumnya.

"Sebagai akademisi yang memahami hak dan tanggung jawab konstitusional, kami mengetuk nurani segenap elemen masyarakat untuk bersinergi membangun kembali etika dan norma yang terkoyak dan mengembalikan marwah konstitusi yang dilanggar. "Apa yang kita perjuangkan saat ini akan menentukan Indonesia yang akan kita wariskan kepada generasi anak-cucu. Hidup Demokrasi, Panjang Umur Republik!" tegas Prof Wahyudi.

Turut hadir sejumlah tokoh seperti Guru Besar Psikologi UGM Prof Koentjoro, Warek UGM Arie Sujito, Rektor UII Prof Fathul Wahid, Prof Sigit Riyanto dari Fakultas Hukum UGM, dosen Fakultas Hukum UGM Zainal Arifin Mochtar hingga Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas.

 

***

 

Baca Juga: Cari SIM Dibawah 17 Tahun, Benchmark Gibran

Literasi yang saya baca, Profesor adalah istilah lain dari guru besar, yang merupakan seorang guru senior, dosen atau peneliti yang biasanya dipekerjakan oleh lembaga-lembaga pendidikan perguruan tinggi.

Di Indonesia, gelar profesor merupakan jabatan fungsional, bukan gelar akademis.

Persyaratan untuk menduduki jabatan akademik profesor harus memiliki kualifikasi akademik pada jenjang doktor (S3). Ini karena, seorang profesor memiliki berbagai kewajiban utama sebagai peneliti. Selain itu, profesor juga memiliki kewajiban khusus untuk menulis buku dan karya ilmiah. Dan menyebarluaskan gagasannya kepada masyarakat.

Menyimak persyaratan menjadi profesor, menurut akal sehat saya, tidak mudah bagi suatu rezim menggiring satu profesor ((apalagi beberapa profesor dari disiplin ilmu berbeda) untuk mengimbangi apalagi menangkis seruan Guru guru besar UGM yang didalamnya ada Wakil Rektor UGM. Selain beberapa profesor sepuh.

Saat ini, Kemendikbud membuat batas isia pensiun (BUP) jabatan fungsional profesor adalah 65 tahun.

Sementara untuk profesor yang berprestasi dapat diperpanjang batas usia pensiunnya sampai 70 tahun.

Info yang saya tahu saat masih kuliah dulu, ada gelar profesor tidak hanya didapat melalui jenjang pendidikan saja. Seorang jadi profesor bisa karena gelar kehormatan

Dalam pasal 23 UU No 20/2003 disebutkan bahwa profesor merupakan guru besar yang diangkat oleh perguruan tinggi sesuai dengan peraturan yang berlaku. Disebutkan juga bahwa gelar profesor hanya berlaku selama aktif mengajar di sekolah tinggi saja.

Menurut pasal 1 UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen, Profesor merupakan jabatan fungsional pada institusi, bukan merupakan sebuah jenjang akademik. Disebutkan bahwa seorang profesor bertugas untuk mendidik calon doktor yang tengah menempuh pendidikan S3.

Bahkan menurut Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia No 26/2023,

Baca Juga: Sengketa Pilpres 2024 Berakhir dengan Dissenting Opinion

Seorang profesor hanya dapat diberikan dosen yang nemperoleh ijazah doktor paling singkat tiga tahun.

Selain menyelesaikan karya ilmiah yang dipublikasi dalam jurnal internasional bereputasi.

Disamping memiliki pengalaman kerja sebagai dosen paling singkat 10 tahun.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa tidak semua orang yang punya gelar doktor bisa bergelar profesor. Singkatnya, profesor merupakan tenaga pengajar yang mendidik di jenjang S3.

Meski terlambat : “Pengangkatan” seseorang menjadi Professor, mungkin merupakan produk hukum, karena ada ketentuannya. Ketentuan ini diperlukan untuk dapat menetapkan “nilai balas jasa negara” atas ke-professor-an orang itu. Namun “Pengakuan” seseorang terhadap ke-Professor-an seseorang yang lain, tidak butuh “dasar-hukum”.

Ada profesor nyentrik. Era sekarang, profesor itu masih setia menulis menggunakan mesin ketik keluaran lumayan lama. Profesor ini tak mau didekte.

Profesor ini tak butuh “pengakuan” atas ke-professor-annya. Banyak profesor di Unair yang kenal tidak perduli dengan “dasar hukum” apalagi dengan “balas-jasa negara” untuk ke-professorannya .

Mereka juga mengaku tak butuh wadah organisasi formal Guru besar, melainkan menjaga kemandirian nuraninya dan individualitasnya. Dua hal ini yang tidak bisa dijual belikan.

Mengenal profesor seperti itu, akal sehat saya bilang kemungkinan kecil ada profesor yang mau dimobilisir oleh suatu rezim. Apa perhitungan saya? Profesor asli selalu menjaga kemandirian nuraninya dan individualitasnya.

Seperti Profesor Adam Smith dikenal karena memiliki kepribadian intelektual sejati. Ia termasuk penyelamat kaum intelektual dan pemulihan peran kaum intelektual. Kan begitu ya Prof. ([email protected])

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU