SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Harian Surabaya Pagi, edisi Jumat (9/8/2024) kemarin, menurunkan berita berjudul "Laporkan Hakim Pembebas Tannur, Pengacara Korban Mengeluh."
Pengacara Dini Sera Afriyanti, Korban penganiayaan Gregorius Ronald Tannur, mulai mengeluh.
Baca Juga: Anies Baswedan, Akademisi yang tak Realistis
Ini karena mereka melaporkan Majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya, ke Badan Pengawasan Mahkamah Agung (MA) dinilai jalan di tempat.
Kamis (8/8), tim pengacara Dini Sera Afriyanti, memenuhi panggilan Komisi Yudisial (KY).
Kuasa hukum Dini Sera Afriyanti, Dimas Yemahura Al Faraauq, mengatakan pemeriksaan di KY, akan berlangsung tertutup. Pihak yang diperiksa hanya dari tim pengacara tanpa adanya keluarga Dini Sera.
"Iya, karena yang menghadiri persidangan adalah kami dari tim kuasa hukum maka yang diperiksa adalah tim kuasa hukum," katanya.
Dia menjelaskan ada saksi yang turut dihadirkan oleh tim pengacara Dini Sera dalam pemeriksaan di KY. Saksi tersebut sebelumnya juga ikut dalam persidangan kasus pembunuhan kepada Dini yang digelar di PN Surabaya.
"Berjalannya persidangan dalam penanganan kasus ini menurut kami tidak fair. Artinya hakim tidak objektif, tidak berpihak kepada korban," jelas Dimas.
Dia menambahkan dalam pemeriksaan di KY pihaknya akan memberikan bukti terkait tidak objektifnya majelis hakim di PN Surabaya, dalam menjatuhkan vonis bebas kepada Ronald Tannur.
"Di sini kami tidak dalam rangka mengintervensi putusan tapi bagaimana hakim itu tidak memiliki objektifas dalam proses mengambil pertimbangan hukum karena itu bertentangan dengan fakta-fakta yang ada," katanya.
Juru Bicara KY, Mukti Fajar Nur Dewata, kepada wartawan, sehari sebelumnya
meminta majelis hakim di sidang Ronald Tannur bersikap koperatif. Kehadiran para hakim itu juga merupakan kesempatan untuk menjelaskan adanya dugaan pelanggaran etik yang telah diterima KY atas laporan keluarga Dini.
"Pemanggilan terhadap majelis hakim sebagai hak jawab atas dugaan pelanggaran KEPPH (Kode Etik Pedoman Perilaku Hakim) yang dilaporkan oleh pelapor," ujar Mukti.
Selain itu, KY juga siap berkoordinasi dengan aparat penegak hukum lain seperti KPK.
Pertanyaannya, apa urgensinya pengaduan kuasa hukum korban Dini dengan KPK? Apa telah ditemukan alat bukti suap ke Majelis hakim?
***
Selama ini, hakim yang berurusan dengan KPK, terkait OTT. Termasuk Hakim Agung Gazalba Saleh yang Agustus ini masih sidang gratifikasi dan TPPU. Serta pengurusan perkara di Mahkamah Agung (MA).
Sebelumnya, Hakim Agung nonaktif Sudrajad Dimyati (SD) dan kawan-kawan, lebih dulu diadili.
OTT KPK digelar setelah penyidik menerima informasi tentang dugaan penyerahan sejumlah uang kepada Sudrajad atau perantaranya terkait penanganan sebuah perkara di MA.
Baca Juga: Nyali KPK, Diuji Menantu Jokowi
Tim KPK berdasarkan info telah terjadi penerimaan sejumlah uang dalam bentuk tunai dari saudara S kepad DY sebagai representasi SD di satu hotel di Bekasi.
Tim KPK kemudian bergerak mengamankan DY di rumahnya beserta uang tunai sejumlah 205.000 Dolar Singapura.
Para tersangka yang berasal dari Mahkamah Agung adalah Hakim Agung Sudrajad Dimyati, Panitera Pengganti Mahkamah Agung Elly Tri Pangestu, 2 pegawai negeri sipil (PNS) pada Kepaniteraan MA Desy Yustria dan Muhajir Habibie, serta 2 PNS MA Albasri dan Redi.
KPK total menetapkan 10 tersangka dalam kasus tersebut. Enam tersangka selaku penerima ialah SD, Hakim Yustisial/Panitera Pengganti MA Elly Tri Pangestu (ETP), dua PNS Kepaniteraan MA yakni Desy Yustria (DY) dan Muhajir Habibie (MH), serta dua PNS MA yaitu Nurmanto Akmal (NA) dan Albasri (AB).
KPK menduga, Desi, Muhajir dan Elly menjadi perantara Sudrajad Dimyati dan beberapa pihak di Mahkamah Agung guna menerima suap dari orang-orang yang berperkara di MA.
Laporan tim pengacara Dini, akan merundung dunia peradilan kita? Mari kita tunggu hasil pemeriksaan KY dan Bawas MA.
Catatan jurnalistik saya, hakim dan panitera yang terjaring operasi tangkap tangan itu diduga terkait dengan upaya memenangkan sebuah perkara yang sedang disidangkan pada pengadilan tersebut. Tentu ini semakin menguatkan kesimpulan bahwa ada persoalan serius dalam konteks pengawasan di lingkungan Mahkamah Agung.
ICW mencatat pada era kepemimpinan Hatta Ali, Ketua Mahkamah Agung, setidaknya sudah ada 20 orang Hakim yang terlibat praktik korupsi. Padahal di lain hal regulasi yang mengatur pengawasan pada lingkungan MA telah tertuang secara jelas dalam Peraturan Mahkamah Agung No 8 Tahun 2018. Untuk itu maka sebenarnya dapat dikatakan bahwa implentasi dari regulasi tersebut telah gagal dijalankan di lingkup pengadilan.
***
Baca Juga: Menyorot Gaya Hidup Bobby, Kaesang dan Paus
Akal sehat saya patut mengapresiasi kegigihan tim pengacara Dini. Soal apakah mereka bisa membuktikan Majelis Hakim Tannur, terlibat kasus korupsi? Kasus ini, sebenarnya tidak hanya bersinggungan pada regulasi hukum saja, akan tetapi juga dugaan pelanggaran kode etik. Pada Pasal 12 huruf c UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dinyatakan seorang Hakim yang menerima hadiah atau janji untuk mempengaruhi sebuah putusan diancam dengan pidana maksimal 20 tahun dan denda paling banyak Rp 1 milyar.
Juga ada Keputusan Bersama Ketua MA dan Ketua KY tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Ditegaskan bahwa Hakim tidak boleh meminta atau menerima pemberian atau fasilitas dari advokat ataupun pihak yang sedang diadili.
***
Seorang hakim senior beritahu saya, salah satu wujud peningkatan kualitas putusan hakim serta profesionalisme lembaga peradilan yakni ketika hakim mampu menjatuhkan putusan dengan memperhatikan tiga hal yang sangat esensial. Tiga hal itu keadilan (gerechtigheit), kepastian (rechsecherheit) dan kemanfaatan (zwachmatigheit). Apakah pembebasan Tannur, telah mencerminkan tiga hal esensial itu?
Hakim senior itu angkat bahu. Ia mengatakan pada saya, mencari dan menemukan keserasian dalam hukum tidaklah sulit dan tidak juga mudah. Kesulitan mencapai hukum yang ideal adalah dimana pihak-pihak yang bersengketa atau berurusan dengan hukum merasa puas atau menerima hasil putusan dengan lapang dada. Nah, dalam kasus Tannur, pihak keluarga korban, kecewa. Artinya tak berlapang dada atas vonis bebas Tannur.
Hakim sebagai aktor utama atau figure sentral dalam proses peradilan Tannur, memang dituntut untuk mengasah kepekaan nurani, memelihara integritas, kecerdasan moral dan meningkatkan profesionalisme. Terutama dalam menegakkan hukum dan keadilan bagi rakyat banyak. Apakah Majelis hakim yang namanya diendeng endeng kemana-mana oleh tim pengacara keluarga Dini, sadar?
Saya catat tim pengacara keluarga Dini, kini mencari keadilan dan kebenaran. Tampaknya, mereka tidak mendapatkan keadilan.
Kemana lagi, mereka menuntut, setelah melapor KY dan Bawas MA. Apa mesti tunggu KPK meng-OTT Majelis hakim pembebas Tannur? Kita tunggu! ([email protected])
Editor : Moch Ilham