SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Judul ini adopsi judul berita utama harian kita edisi Selasa (24/9/2024) kemarin. Soal tagline "guyub adem" saya jadi teringat tagline eks Bupati Tulungagung, Heru Cahyono, Guyub Rukun.
Narasi guyub, jelas menguraikan ideologi yang berkaitan dengan keragaman. Ideologi ini melihat “guyub” di implementasikan dalam tatanan hidup bangsa Indonesia.
Baca Juga: Relakah Surabaya Barat Disulap Jadi Macau, Genting, Marina Bay
Saya diajari nenek saya nilai guyub dalam perspektif individu manusia. Maklum, secara filosofis, manusia adalah makhluk sosial dan simbolis yang dinamis, kompleks, dan kaya.
Dan secara prerogatif, manusia berhak untuk memilih antara menggunakan pikiran akal budi secara rasional atau tidak. Maka tidak jarang dalam pilgub, hal ini bisa menjadi tantangan cagub dalam mewujudkan “guyub”. Menurut akal sehat saya, ketika ada cagub tidak berfipir secara rasional, maka kendali nafsu yang membawa pemikirannya, dan tindakannya. Seorang cagub bisa memilih berperilaku yang bebas namun tidak terarah.
***
Saat ini sudah melewati undian nomor paslon oleh KPU. Nah, jelang pemilihan Gubernur Jatim, para pasangan calon saya percaya sudah siapkan konsep dan cara beradu gagasan untuk kemajuan Jatim selanjutnya.
Menanggapi soal peristiwa adu gagasan politik yang ditujukan untuk warga Jatim
Khofifah seperti mengajak bahwa perdebatan yang mengutamakan adu program mesti guyub adem. Isyaratnya ojok ngelek ngelekno podo cagube. Bahasa politiknya, silahkan mengkritisi tapi dengan cara tidak mencela.
Tagline "guyub adem" itu bisa menyasar pada suasana kampanye yang kerap dipenuhi dengan bongkar aib dan saling serang.
Tagline "guyub adem' ini ajakan dalam perbedaan pilihan politik jangan sampai memicu permusuhan.
Sebagai petahana, ia sadar pasti bakal dikritik cagub Risma dan Luluk. Taglinenya itu menekankan kritik terhadap kinerjanya yang lalu adalah hal yang wajar, asalkan dilakukan dengan cara yang baik dan tidak menjurus pada pencemaran nama baik.
Sebagai sarjana ilmu politik, Khofifah paham hidup bersama dengan banyak perjumpaan bisa membawa pemikiran - pemikiran kritis serta reflektif.
Sebagai ilmuwan bidang ilmu politik, ia bisa memotret kenyataan problem masyarakat yang heterogen. Makanya ia menawarkan “guyub”. Termasuk dalam melihat problematika sosial, ekonomi-politik di Jawa Timur.
Dalam KBBI, kata guyub merupakan turunan atau serapan dari kata “peguyuban” yang memiliki arti masyarakat atau kelompok yang ikatan sosialnya didasari oleh ikatan perseorangan yang kuat.
Maka arti guyub itu sendiri adalah rukun, dengan arti baik, damai, dan bersatu hati. Makna ini membawa guyub itu nilai positif yang harus dilaksanakan dalam hidup bersama.
Permasalahan dalam kontestasi adalah bisakah hidup dengan persainga tidak rebut, bertengkar atau konflik satu dengan yang lainnya ?.
Pertanyaan ini cukup menggugah makna rukun itu sendiri, apakah yang dimaknai rukun itu harus berdamai, tidak ada perbedaan pandangan atau bahkan semua harus memiliki satu pandangan?.
***
Akal sehat saya berbisik Khofifah, paham kebebasan untuk berpendapat, memilih, dan mempertahankan idealisme tiap cagub. Mengingat itu merupakan hak dan martabat sebagai manusia yang berakal. Khofifah juga tahu dengan dialog dan berkolaborasi maka “guyub” itu dapat dihidupi. ‘
Jadi rukun antar cagub bukan berarti harus memiliki keseluruhan yang sama, atau rukun bukan berarti tidak berbeda. Namun rukun itu lebih kepada nilai hidup yang mengedepankan proses kerja sama secara musyawarah untuk membangun kehidupan bersama. Nilai-nilai kebersamaan inilah yang disebarkan dalam rangka keragaman kepada setiap manusia. Tentu melalui tindakan yang mengayomi, edukatif, dan kooperatif sebagai nilai kemanusiaan.
Baca Juga: Kekuatan Duit, Bisa Kalahkan Hukum dan Politik
***
Catatan jurnalistik saya mencatat Khofifah ini petarung. Ia tidak kali ini saja beradu gagasan membangun Jawa Timur. Sudah dua kali, ia berebut kursi L-1. Pertarungan yang ia lakoni sangat sengit. Khofifah sampai berproses di Mahkamah Konstitusi. Pemilihan Gubernur saat itu sampai diulang di Madura. Dari dua peristiwa itu, saya menggambarkan Khofifah, bukan Gubernur kaleng kaleng. Ia wanita tanpa pernah takut terhadap persaingan. Apalagi, kini Khofifah, ditantang dua kandidat sesama wanitanya, Risma dan Luluk.
Ada orang menyebut pilgub Jatim 2024 ini persaingan antar tiga Srikandi. Saya tidak setuju. Pilgub Jatim 2024 ini justru adu stretegi antar politisi wanita bagai tak lekang zaman.
Menurut saya, makna tak lekang zaman bisa diartikan sebagai sesuatu yang tidak lekang oleh waktu atau tidak lekang ditelan zaman.
Khofifah mencintai Jawa Timur, sebagai sebuah Pilihan yang (Seharusnya) Tak Lekang oleh Waktu. Kasih Sayangnya terhadap warga Jatim tak lekang oleh Waktu.
Soal pepatah ini saya teringat lagu yang berjudul "Tak Lekang Oleh Waktu" yang dipopulerkan oleh grup musik Kerispatih dan diciptakan oleh Badai.
***
Hasil penelusuran saya di google tak ditemukan pepatah "guyub Adem". Kecuali "guyub rukun".
Pepatah guyub rukun yang dominan.
Baca Juga: Tangkap Si Bandar Kasino, untuk Efek Jera
Malah ada bedah buku berjudul Guyub Rukun, Ayem Tentrem karya seorang praktisi keluarga, Cahyadi Takariawan.
Logika saya menyebut adem itu merupakan sebuah kata bahasa Jawa ngoko, bahasa yang digunakan apabila kita berbicara dengan teman sebaya atau seumuran dan sama. Kata ini untuk memberikan kesan akrab atau bisa juga berbicara dengan orang yang lebih muda dari kita. Kalau dilihat dari kedua pengertian itu, kata adem pun bersinonim dengan kata dingin
adem, sejuk, tenteram (pikiran, hati); tenang, hambar (rasa makanan); dan tawar.
Ada dialog gunakan kata adem yang sering saya dengar ”Kantor ini adem banget ya?”
”Dingin, Cak, bukan adem.”
Khofifah, pasti tahu siapa Tri Rismaharini atau Risma, Mantan Wali Kota Surabaya. Risma, yang baru melepas jabatan sebagai Menteri Sosial, dikenal sebagai tokoh yang temperamental. Akal sehat saya berbisik tagline ini bisa menyentuh ke Risma.
Akal sehat saya berkata Khofifah, mengajak suasana kampanye nanti tidak dipenuhi dengan bongkar aib dan saling serang. Mengingat, hal itu tidak memberikan dampak positif bagi masyarakat.
Secara umum, "guyub adem" serapan dari bahasa jawa. Guru bahasa saya bilang, keunikan bahasa Jawa terletak pada kekayaan kosakata yang lebih banyak dibanding bahasa Indonesia.
Ada tingkatan dalam bahasa Jawa. Adem adalah salah satu bukti bahwa kosa kata bahasa Jawa itu lebih kaya. Tingkatan bahasa Jawa itu kan ada Ngoko, Kromo, dan Kromo Inggil. Variannya paling tidak seperti itu.
Karena pilkada serentak masih era politik. Situasi kampanye bisa panas (tidak adem). Pesan moral saya dari laptop redaksi, jangan sampai terpancing. Ojo ngelek-elekno podo cagube.
Eyang buyut saya yang asal Jogja bilang bahasa Jawa itu penuh dengan bahasa simbolik. Guyub adem itu bisa bermakna macam macam.
Saya mengintepretasikan adem adem ae ya bu Risma dan bu Luluk saat kampanye nanti gunakan semangat guyub, beda politik tapi satu tujuan membangun propinsi Jawa Timur sebagai pusat ekonomi Kawasan Timur Indonesia . Kan begitu ya bu Khofifah.. ([email protected])
Editor : Moch Ilham