SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Harian kita edisi Rabu, menurunkan headline berjudul "Pilgub Jakarta, Bawa Korban 1 Lembaga Survei".
Ditulis, Lembaga Survei Poltracking Indonesia Diberi Sanksi oleh Dewan Etik Perkumpulan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi). Poltracking Ditemukan Punyai Dua Data Berbeda.
Baca Juga: Polisi Rekayasa Kasus Dipecat, Diumumkan ke Publik, Presisi
Judul itu suka atau tidak suka atau sadar, ada nuansa satire dan sarkasme. Saya buat semacam kritik sekaligus ejekan.
Menelaah keputusan Persepi organisasinya perkumpulan Survei Opini Publik Indonesia itu, ada nuansa bisnis jasa survei politik. Menjamurnya lembaga survei politik saat ini tak bisa dilepaskan dari iklim demokrasi di Indonesia saat ini.
Jasa jajak pendapat dalam momen jelang pilgub seperti survei tampaknya makin ketat.
Jasa ini diduga ada nuansa rekayasa elektabilitas yang bisa berimplikasi hasil pilgub.
Maka muncul perhitungan alternatif oleh lembaga survei terkait elektabilitas.
Cagub yang diusung partai politik dikatakan memiliki elektabilitas jika memiliki daya pilih yang sesuai dengan kriteria keterampilan dan popularitas.
Dalam negara demokrasi, partai politik pengusung cagub mesti berupaya meningkatkan elektabilitas untuk dapat memenangkan pemilihan umum.
Peristiwa pilgub di Jakarta misalnya, elektabilitas politiknya dikaitkan dengan tokoh-tokoh partai politik seperti Ridwal Kamil atau RK dan Pramono Anung-Rano Karno.
Nama mereka akan semakin diperbincangkan menjelang masa-masa pencoblosan.
Semakin tinggi nilai elektabilitasnya, potensi caleg untuk dipilih akan semakin tinggi.
Praktis, elektabilitas adalah tingkat keterpilihan yang disesuaikan dengan kriteria pilihan. Elektabilitas tak ubahnya barang dan jasa.
***
Menurut catatan jurnalistik saya, lembaga survei terlama di antaranya Internasional Republican Institute (IRI), Lembaga Survey Indonesia (LSI) hingga Soegeng Sarjadi Syndicated (SSS).
Pada 2003, LSI muncul dibidani akademisi Saiful Mujani dan Denny JA. Keduanya adalah jebolan Ohio State University, Amerika Serikat.
Dalam perjalanannya, reputasi lembaga survei di Indonesia tak lepas dari kontroversi. Sorotan tajam publik ke lembaga survei terjadi pada Pemilu 2014 ketika Puskaptis merilis quick count dengan hasil ngawur.
Hasil quick count Puskaptis saat itu menyatakan perolehan suara Prabowo Subianto-Hatta Rajasa mengungguli Joko Widodo-Jusuf Kalla. Beda dengan hasil quick count yang dilakukan mayoritas lembaga lainnya.
Hasil quick count yang dilakukan Puskaptis kala itu juga berbeda jauh dengan real count KPU. Setelah itu, Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) melakukan audit dan mengeluarkan Puskaptis dari keanggotaan. Nah, kasus itu sepertinya terulang lagi dalam Pilgub Jakarta 2024 ini.
Perbedaan mengenai elektabilitas atau popularitas suatu calon. Saya catat peristiwa bulan Mei 2023. Saat itu beberapa lembaga survei ternama merilis hasil berbeda.
Lima lembaga yang merilis hasil survei elektabilitas capres di Bulan Mei antara lain Saiful Mujani Research Center (SMRC), Charta Politika, LSI Denny JA, Litbang Kompas dan Indikator Politik.
Periode survei kelima lembaga tersebut tak jauh berbeda. Survei SMRC dilakukan melalui telepon sepanjang 23-24 Mei, survei Indikator dilaksanakan pada 26-30 Mei, Charta Politika pada 2-7 Mei, Litbang Kompas lewat wawancara tatap muka 29 April-10 Mei, dan survei LSI Denny JA pada 3-14 Mei di 34 provinsi.
Baca Juga: Mengintip Kekuasaan Presiden Al Assad, Cenderung Pentingkan Dirinya
Jika dirinci, Litbang Kompas, LSI Denny JA dan Indikator Politik menyatakan Prabowo Subianto memiliki elektabilitas paling tinggi dibanding capres lainnya. Namun, SMRC dan Charta Politika merilis survei berbeda. Ganjar Pranowo yang punya elektabilitas tertinggi.
Tak lama kemudian, beredar rekaman video akademisi Rocky Gerung mengkritik lembaga survei. Dia menganggap survei yang ada sekarang hanya upaya tipu menipu.
Pernyataan Rocky itu dibantah oleh para bos-bos lembaga survei. Salah satunya pendiri lembaga survei SMRC Saiful Mujani yang menegaskan pihak pemberi biaya tidak boleh mendikte proses dan hasil.
Dengan kata lain, hasil survei tetap berdasarkan proses dan hasil ilmiah, bukan manipulasi sesuai pesanan.
***
Kini soal Lembaga survei Poltracking Indonesia diberi sanksi oleh Dewan Etik Perkumpulan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi), telah menjadi perbincangan di ruang publik. Ini buntut perbedaan signifikan hasil survei Pilgub Jakarta 2024.
Hasil survei LSI yang diumumkan Rabu (23/12) memotret elektabilitas Pramono Anung-Rano Karno tertinggi di Pilkada Jakarta 2024, secara berbeda.
Lembaga Survei Indonesia (LSI) merilis Pramono-Rano meraih elektabilitas 41,6 persen. Disusul Ridwan Kamil-Suswono di posisi kedua dengan 37,4 persen dan Dharma-Kun di posisi paling buncit dengan 6,6 persen.
Survei dilakukan setelah debat perdana Cagub-Cawagub Jakarta. Survei dilaksanakan pada 10-17 Oktober 2024.
Sampel survei sebanyak 1.200 orang diambil dengan menggunakan metode multistage dengan tingkat margin of error +- 2,9 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen, menggunakan asumsi simple random sampling.
Baca Juga: Fenomena Jurnalis Jadi Penguasa, Praktikan Independensi
Sehari setelahnya, Poltracking Indonesia mencatat keunggulan pasangan nomor urut satu Ridwan Kamil-Suswono dengan keunggulan elektabilitas mencapai 51,6 persen.
RK-Suswono unggul dari paslon nomor urut tiga, Pramono Anung-Rano Karno di urutan kedua dengan elektabilitas sebesar 36,4 persen. Lalu di urutan ketiga ada Paslon nomor urut 2, Dharma Pongrekun-Kun Wardhana dengan 3,9 persen.
Survei Poltracking dilakukan pada 10-16 Oktober 2024 terhadap 2.000 responden warga DKI yang memiliki hak pilih berusia 17 tahun ke atas atau sudah menikah.
Survei menggunakan metode multi stage random sampling dengan margin of error kurang lebih 2,2 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.
Perkumpulan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) memeriksa Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan Poltracking Indonesia terkait perbedaan signifikan hasil survei Pilgub Jakarta 2024. Berdasarkan hasil pemeriksaan itu, Persepi pun menjatuhkan sanksi kepada Poltracking karena mempunyai dua data yang berbeda.
"Dewan Etik PERSEPI telah menyelesaikan penyelidikan terhadap prosedur pelaksanaan survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia dan Poltracking Indonesia," kata Persepi dalam keterangan tertulis, Senin (4/11/2024).
Persepi mengungkapkan, pemeriksaan pada kedua lembaga menggunakan parameter dan ukuran yang sama. Pemeriksaan pada Lembaga Survei Indonesia dilakukan pada Senin, 28 Oktober 2024.
Pertanyaannya, saat lembaga survei yang seharusnya menjadi penjaga netralitas informasi mulai kehilangan kredibilitasnya, apakah bisa berdampak ke seluruh warga kota Jakarta. Artinya tidak hanya dirasakan oleh lembaga tersebut.
Kini publik disuguhi gasil survei yang tidak obyektif. Publik bisa disesatkan persepsi masyarakat.
Jadi, ketika lembaga survei mengklaim bahwa popularitas seorang kandidat sangat tinggi, padahal hasil survei tersebut tidak mencerminkan realitas di lapangan. Sadar atau tidak rilis lembaga survei semacam itu bisa menambah keraguan pemilih terhadap cagub itu . Data yang bias ini sadar atau tidak dari lembaga survei mempengaruhi persepsi publik dan bahkan bisa mengubah hasil pilgub karena pemilih ragu-ragu cenderung memilih kandidat yang dianggap lebih kuat.
Hasil lembaga survei yang menyebutkan bahwa mayoritas masyarakat mendukung cagub tertentu, padahal kenyataannya hanya sebagian kecil yang benar-benar mendukung, hal ini akan menimbulkan illusion of consensus. Ini tampaknya salah satu cara lembaga survei yang diduga "dibayar" memanipulasi opini publik. Masya Allah. ([email protected])
Editor : Moch Ilham