SURABAYAPAGI.COM, Jakarta - Sudah dua akademisi hukum yang kritik Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron. KPK menyampaikan tidak bisa menetapkan status penerimaan fasilitas jet pribadi oleh Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kaesang Pangarep sebagai gratifikasi.
Hingga Jumat (8/11/2024) sudah dua dosen yang soroti Nurul Ghufron. Pertama, Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi UGM (Pukat UGM), Zaenur Rohman dan kedua, Pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia (UI) Gandjar Laksmana Bondan.
Baca Juga: Kaesang : Inginkan Jalan Mulus, Pilih Paslon Bagus
KPK melalui Nurul Ghufron menyampaikan tidak bisa menetapkan status penerimaan fasilitas jet pribadi oleh Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kaesang Pangarep masuk kategori gratifikasi atau tidak.
Keputusan itu menuai polemik sehingga dikritik banyak pihak. Terlebih, keputusan dimaksud keluar tanpa ada klarifikasi terhadap pihak pelapor dalam hal ini Dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubaidilah Badrun dan Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman.
Pernyataan Menyesatkan
Pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia (UI) Gandjar Laksmana Bondan menilai pernyataan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron yang menyatakan tidak bisa menetapkan status penerimaan fasilitas jet pribadi oleh Kaesang Pangarep adalah keliru bahkan menyesatkan.
Menurut Gandjar, KPK harus mengoreksi putusan dengan membuka penyelidikan dugaan gratifikasi tersebut.
"Bukan cuma keliru menurut saya, malah jadi menyesatkan," ujar Gandjar usai mengisi materi dalam agenda matrikulasi hukum tindak pidana korupsi di KPK, Jakarta, Rabu (6/11).
Gandjar menjelaskan istilah gratifikasi baru muncul di Undang-undang 20/2001. Akan tetapi, larangannya sudah ada sejak lama di zaman Presiden RI ke-2 Soeharto. Kata dia, penerima gratifikasi tidak harus pejabat langsung.
"Jadi, di dalam konteks gratifikasi, penerimanya tidak harus pejabatnya langsung. Bisa lewat orang lain, lewat perantara, siapa pun itu. Bisa juga ditujukan kepada orang dekatnya, terutama keluarga inti," ucap dia.
Berlaku Pada Keluarga Inti
Atas dasar itu, tegas Gandjar, larangan kepada pejabat untuk menerima gratifikasi, suap dan lain sebagainya juga berlaku pada keluarga intinya.
Baca Juga: Vinanda dapat Mentoring dari Kaesang dan Emil Dardak untuk Kemenangan Pilwali Kediri
Di kasus dugaan penerimaan gratifikasi yang melibatkan Kaesang, kata Gandjar, yang harus disasar penegak hukum adalah ayahnya yang pada saat itu menjabat Presiden RI yakni Joko Widodo.
"Kita sudah punya yurisprudensi menyangkut riwayat Pasal-pasal suap, baik bagi pemberi maupun penerima. Bisa diterima oleh orang lain, orang dekatnya, keluarga, baik sebagai titipan maupun sebagai adresaat. Jadi, dari situ sudah jelas bahwa memang yang disasar bukan si anak, yang akan diminta pertanggungjawaban hukum adalah bapaknya atau ibunya yang pejabat," terang dia.
Gandjar yang mengambil bagian dalam tim perumus Rancangan Undang-undang (RUU) Perampasan Aset ini menjelaskan dalam hukum tidak diatur pengecualian pidana terhadap mereka yang telah pisah kartu keluarga.
Bantah Klaim Nurul Ghufron
Pernyataan tersebut untuk membantah klaim Nurul Ghufron yang mengatakan alasan KPK tidak bisa melanjutkan pemeriksaan terhadap Kaesang adalah karena yang bersangkutan bukan penyelenggara negara dan sudah pisah kartu keluarga dengan keluarga intinya yang notabene merupakan pejabat.
"Pisah kartu keluarga ini saya tidak tahu siapa yang ngajarin, siapa yang mulai, ini menyesatkan," tegas Gandjar.
Baca Juga: Kaesang Putra Bungsu Presiden Lawatan ke Lamongan, Jargon "Ganti Bupati" Semakin Menggema
"Makanya saya bilang begini, kata kuncinya adalah hubungan keluarganya, terutama keluarga inti. Konteks hukumnya apa? Bahwa ada hubungan hukum. Nah, hubungan hukum itulah yang membuat ia dilarang juga. Cuma yang diminta pertanggungjawaban bukan dia-nya, tapi si pejabatnya yang harusnya dikejar," tandasnya.
Keputusan KPK Sangat Menyedihkan
Sebelumnya, Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi UGM (Pukat UGM), Zaenur Rohman melihat keputusan KPK ini sangat menyedihkan.
Dikutip dari Tempo, Zaenur menilai lembaga selevel KPK membuat keputusan berdasarkan legal reasoning (alasan hukum) yang lemah dan dangkal. Alasan KPK menyatakan tindakan Kaesang nebeng jet pribadi bukan gratifikasikarena Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) itu sudah pisah kartu keluarga (KK) dengan mantan Presiden Joko Widodo alias Jokowi. "Saya lihat ini adalah alasan yang dibuat-buat," ujarnya.
Zaenur menjelaskan, sebab pertimbangan tersebut bertentangan dengan yurisprudensi Mahkamah Agung nomor 077 Tahun 1973. Yurisprudensi itu menyatakan penerimaan gratifikasi itu tidak terbatas pada penyelenggara negara, tapi juga kepada anak-istri atau keluarga.
"Yang seharusnya diteliti KPK adalah ada atau tidaknya kaitan penikmatan fasilitas oleh Kaesang itu dengan status penyelenggara negara keluarganya, apakah Bapaknya Presiden atau kakaknya Wali Kota Solo waktu itu," ucap Zaenur. n erc/jk/rmc
Editor : Moch Ilham