Wayang Jadi Tuntunan, Tantangan Bagi Menbud Fadli

author surabayapagi.com

- Pewarta

Minggu, 10 Nov 2024 20:23 WIB

Wayang Jadi Tuntunan, Tantangan Bagi Menbud Fadli

i

Raditya M Khadaffi

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta menggelar perayaan Hari Wayang Dunia ke-10, tiga hari berturut awal November 2024 lalu. ISI mengusung tema “Wayang Inovasi: Geliat Reka Cipta Wayang untuk Kejayaan Negeri.” Acara ini menjadi ajang bertukar ide, gagasan, serta pengalaman bagi para seniman dan akademisi dalam melestarikan dan mengembangkan seni wayang, yang merupakan warisan budaya Indonesia.

Maklum, Hari Wayang Nasional diperingati setiap 7 November oleh masyarakat Indonesia. Tanggal ini mengacu pada pengakuan UNESCO terhadap wayang sebagai warisan kebudayaan takbenda pada 7 November 2003.

Baca Juga: Pagi Sarapan Nasi Uduk, Siang Nasi Rp 10 Ribu

Saat ini, wayang menjadi salah satu kebudayaan yang dipentaskan untuk hiburan dan sekaligus edukasi melalui sebuah cerita. Menurut catatan sejarah, wayang telah ada sejak zaman kerajaan kuno di tanah Jawa.

Menteri Kebudayaan (Menbud) Fadli Zon membuka gelaran terbesar di Indonesia tersebut.

Dalam sambutannya, Fadli Zon menegaskan wayang bukan sekadar tontonan yang kaya akan nilai regilius dan estetis.

"Wayang adalah bagian dari warisan adiluhung yang telah mendunia. Wayang bukan sekadar tontonan tapi juga tuntunan yang penuh nilai-nilai luhur," katanya .

Makna tuntunan dari wayang ini yang menurut akal sehat saya jadi tantangan Menbud Fadli Zon, yang berasal dari Sumatera Barat.

 

***

 

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Sensus Penduduk (SP) Tahun 2010 Indonesia memiliki lebih dari 300 kelompok etnik atau Suku bangsa. Lebih tepatnya, Indonesia memiliki 1.340.

Dan suku bangsa Jawa sendiri disebut sebagai suku bangsa yang mendominasi wilayah Indonesia.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Sensus Penduduk 2010, jumlah populasi Suku Jawa di Indonesia mencapai 95.217.022 jiwa.

Angka ini mewakili 40,22 persen dari jumlah penduduk Indonesia.

Literasi yang saya baca wayang Kulit berasal dari Jawa Timur.

Ini, sebuah seni pementasan yang terbuat dari kulit hewan kulit Kerbau atau Sapi. Konon, wayang sudah berkembang sejak zaman kerajaan Majapahit sekitar abad ke sepuluh.

Bagi kebanyakan seniman, Wayang Kulit tidak hanya sebagai Tontonan, tetapi juga Tuntunan dan Tatanan, karena wayang kulit mengandung makna kehidupan manusia berupa tingkah laku, pitutur atau ucapan dan tigkatan spiritual seseorang.

Maka itu, terutama wayang kulit, banyak dipakai sebagai media penyebaran agama – agama di Indonesia pada masa lampau.

Praktis pertunjukan wayang dapat dimaknai sebagai pertunjukan tentang bayang-bayang atau refleksi manusia. UNESCO lembaga yang membawahi kebudayaan dari PBB, bahkan menetapkan wayang sebagai pertunjukkan bayangan boneka tersohor dari Indonesia. Ini sebuah warisan mahakarya dunia yang tak ternilai dalam seni bertutur (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity) pada 7 November 2003.

Sedangkan penetapan hari Wayang Nasional telah ada payung hukumnya yaitu Keppres 30 Tahun 2018. Tingggal bagaimana Fadli Zon, sebagai Menteri Kebudayaan memperluas pagelaran wayang di kalangan generasi Z dan seterusnya.

 

***

 

Saya baca di kepustakaan, dicatat wayang telah tumbuh dan berkembang menjadi aset nasional yang memiliki nilai sangat berharga. Termasuk dalam pembentukan karakter dan jati diri bangsa.

Saya sebagai generasi milineal yang sejak kecil diajari ayah suka menyaksikan seni pertunjukan wayang, tak tertarik sampai sekarang. Padahal, ayah saya bilang wayang tidak bisa lepas dari perilaku kehidupan manusia di muka bumi ini.

Baca Juga: Kursus Kecantikan, Lakukan Treatment Derma Roller, Malpraktikkah?

Bagi saya saya, wayang memang merupakan simbol kehidupan manusia yang mempunyai paparan lengkap. Di dalamnya memuat kandungan intensitas filosofis seiring dengan jentera kehidupan manusia. Tapi saya masih tak tertarik.

Padahal wayang merupakan salah satu warisan budaya yang tak ternilai harganya. Pewarisannya sudah turun temurun sejak nenek kakek saya yang berasal dari Solo dan Magelang.

Bagi ayah saya yang pernah ikut pagelaran wayang orang, wayang memiliki nilai hiburan yang mengandung cerita pokok dan juga berfungsi sebagai media komunikasi.

Kata ayah, kadang penyampaian dalam narasi wayang diselingi pesan-pesan yang menyentuh berbagai aspek kehidupan, sehingga memiliki nilai pendidikan.

Jadi wayang tidak sekedar tontonan. Betul ada tuntunannya. Karakter dan sifat tokoh-tokoh wayang merupakan cermin kehidupan manusia. Mengingingat dalam wayang terdapat tokoh suci, jujur, baik hati, bijaksana, lembut, namun ada pula yang kasar, curang, dan jahat.

Pendeknya, setiap lakon dalam wayang diisi dengan ungkapan yang mengandung pitutur atau nasehat hidup serta kekayaan falsafah Jawa. Pitutur tersebut biasa diucapkan oleh tokoh para dewa, raja, resi, pendeta, para sepuh, atau oleh dalangnya sendiri.

Dalam wayang, kata ayah, ada sosok wong cilik yang diwakili oleh Punakawan. Semar, Gareng, Petruk dan Bagong, diceritakan memiliki kesaktian setara bahkan melebihi para satria yang diasuhnya. Singkat kata, dengan mengenal wayang dapat dipelajari pesan moral tentang perilaku baik dan buruk.

Lalu, mengapa generasi milineal seperti saya kurang suka menonton wayang kulit yang digelar semalam suntuk?

 

***

 

Hasil sharing dengan generasi sebaya saya, ada beberapa faktor yang mempengaruhi anak muda sekarang menjadi lebih kurang mengapresiasi wayang, sebagai budaya lokal. Ada yang masih menganggap pertunjukkan wayang, kolot. Pertunjukkan wayang hanya cocok untuk orang tua.

Baca Juga: Polisi Rekayasa Kasus Dipecat, Diumumkan ke Publik, Presisi

Apalagi waktu pertunjukan wayang kulit yang berlangsung lama dan larut malam sehingga generasi saya tidak berminat. Maklum kebanyakan generasi muda pada siang hari harus sekolah dan bekerja.

Apalagi generasi saya tidak faham dengan bahasa yang di gunakan pada pertunjukan wayang kulit. Mengingat bahasa dalam pertunjukan wayang kulit menggunakan bahasa kawi.

Ini yang menurut teman sebaya, merasa jenuh atau bosan ketika melihat wayang kulit. Terutama pembawaan wayang kulit kurang terpadu dengan kebudayaan modern.

Lebih lebih pertunjukan wayang kulit dibuat baku sedemikian rupa, sehingga dalang nyaris tidak bisa berkreasi lebih dari itu. Paling mentok, dalang akan mengeksplorasi adegan perang dan adegan lawak, karena kedua adegan itu masih fleksibel.

 

***

 

Hasil sharing dengan ayah dan teman sebaya, saya berpendapat, wayang adalah potret kehidupan berisi piwulang dan pitutur. Ada kebiasaan hidup dan tingkah laku manusia yang dialami sejak lahir, hidup, meninggal yang semua nya itu merupakan proses alamiah.

Lalu bagaimana generasi milineal dan seterusnnya mau menyerap tuntunan pelakon wayang?

Menurut akal sehat saya, cara efektif mengenalkan kisah pewayangan pada anak-Anak sejak SD. Makin merasuk ke jiwa anak-Anak bila dikemas dengan visual.

Sebab saat saya diajak menyaksikan pagelaran wayang yang suntuk tidak betah. Artinya, meski ada pagelaran wayang di berbagai acara seperti pentas kesenian atau hajatan, saya mlengos.

Bahkan berkunjung Ke Museum wayang, juga kurang minat. Tak tahu bila menteri baru ini akan memperbanyak festival dalang di kalangan anak muda. Semoga Udah Fadli Zon, kreatif menularkan tuntutan perilaku dan sifat wayang ke generasi saya dan berikutnya. ([email protected])

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU