SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Polri sebagai lembaga penegak hukum perkara pidana tetap boleh berbangga. Salah satu anggotanya kini dipiliih oleh Rapat Pleno Komisi III di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (21/11). DPR-Ri, menjadi Ketua KPK periode 2024-2029.
Ia adalah Komjen Setyo Budiyanto. Setyo Budiyanto juga langsung terpilih menjadi ketua KPK. Perwira tinggi Polri bintang tiga itu meraih suara terbanyak dengan 45 suara untuk menduduki kursi ketua KPK.
Baca Juga: Pagi Sarapan Nasi Uduk, Siang Nasi Rp 10 Ribu
Rapat dipimpin oleh Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, dan pimpinan Komisi III DPR lainnya serta anggota.
Habiburokhman membacakan rekapitulasi perolehan suara para calon pimpinan KPK dan calon Dewas KPK. Hasilnya, terdapat lima calon pimpinan KPK terpilih berdasarkan voting Komisi III DPR.
"Jadi ini setuju untuk 5 orang terpilih sebagai anggota, wakil ketua 4, ketua 1 Setyo Budiyanto ya?" kata Habiburokhman.
"Setuju," kata anggota Dewan disambut ketuk palu Habiburokhman.
Dalam rapat siang itu, anggota Komisi III DPR memilih lima nama dari 10 nama capim KPK periode 2024-2029 yang telah mengikuti (fit and proper test).
Masing-masing anggota dewan wajib memilih lima nama dalam selembar surat suara. Nama capim KPK yang mendapat suara terbanyak terpilih menjadi pimpinan KPK.
Setyo mendapat suara terbanyak dalam pemilihan capim KPK di Komisi III DPR dengan 45 suara yang memilih dirinya untuk menjadi ketua KPK.
Setyo akan memimpin lembaga antirasuah lima tahun mendatang bersama Johanis Tanak, Fitroh Rohcahyanto, Ibnu Basuki Widodo, dan Agus Joko Pramono.
***
Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai pemberantasan korupsi di Komisi Pemberantasan Korupsi akan semakin buruk pada periode mendatang. Penilaian ICW tersebut berpijak pada rekam jejak lima pemimpin KPK periode 2024-2029 yang baru saja terpilih lewat uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat, hari Kamis.
Di tengah pemberantasan korupsi yang memang terus harus dihela, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menjadi garda terdepannya saat ini kembali harus berganti komisioner lantaran masa jabatan komisioner yang lama sudah berakhir. Pergantian ini bukan hal yang baru, tentu nya, mengingat perihal pengisian komisioner KPK sudah berkali-kali dilakukan. Kita sudah pernah mengisi secara lima orang komisioner bersamaan, hanya mencari empat, bahkan juga pernah melakukan seleksi untuk memilih satu orang saja komisioner.
UU KPK sesungguhnya memberikan isyarat yang sangat jelas soal pengisian jabatan pim pinan KPK, yakni wajib untuk `diseleksi’. Pasal 30 UU KPK mengatur bahwa pimpinan KPK dipilih oleh DPR berdasarkan calon anggota yang diusulkan oleh presiden. Untuk proses usulan dari Presiden tersebut, pemerintah membentuk panitia seleksi yang bertugas melakukan seleksi berdasarkan apa yang diatur di dalam UU KPK. Ketentuan tersebut adalah ketentuan yang mendasari proses pemilihan biasa. Nah, itu aturan normatifnya.
Baca Juga: Kursus Kecantikan, Lakukan Treatment Derma Roller, Malpraktikkah?
***
Keterpilihan lima Komisioner KPK melalui proses politik di DPR, Apakag wajar membuat Indonesia Corruption Watch (ICW) cemas? Siapakah lembaga ICW?
Dikutip dari akun https://sahabaticw.org, pada 12 March 2024, Indonesia Corruption Watch (ICW) adalah lembaga swadaya masyarakat yang didirikan sejak tahun 1998 lalu dengan tujuan untuk memberdayakan masyarakat dalam mewujudkan sistem birokrasi, hukum, sosial, politik dan ekonomi yang berkeadilan sosial dan bersih dari korupsi. Untuk mencapai tujuan tersebut, ICW melakukan sejumlah kegiatan antikorupsi seperti kajian, kampanye, pelatihan, pemantuan kinerja, pemberdayaan dan pendidikan masyarakat serta mengungkap adanya praktek korupsi.
Pada tahun 2017 – dari donasi publik yang diterima – ICW akan melaksanakan kegiatan anti korupsi yang difokuskan pada 5 (lima) kegiatan utama. Kelimanya yaitu upaya pemiskinan koruptor, pemantauan dan pelaporan kasus korupsi, pencegahan korupsi di sektor pengadaan barang dan jasa serta sumber daya alam, mencetak kader anti korupsi (melalui Sekolah Antikorupsi -SAKTI) dan advokasi mendorong partai politik bersih.
Indonesia CorruptionWatch (ICW) juga menyoroti seleksi calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dinilai belum optimal dalam menggali rekam jejak kandidat. Peneliti ICW Diky Anandya mengungkapkan kekhawatirannya terkait 20 nama kandidat yang lolos tes profile assessment. Ada beberapa di antaranya dianggap bermasalah. "Ada sejumlah nama yang sebelumnya pernah dilaporkan atas dugaan pelanggaran kode etik, seperti Johanis Tanak.
Ia juga mengkritik penunjukan pejabat struktural KPK yang masih lolos seleksi, seperti Johanis Tanak, yang dinilai telah membawa persepsi negatif terhadap lembaga pemberantasan korupsi tersebut.
Diky mempertanyakan apakah Pansel memang menginginkan KPK diisi oleh aparat penegak hukum?. Jika benar, ada sejumlah potensi pelanggaran dan kesesatan berpikir pada cara pandang tersebut.
Baca Juga: Polisi Rekayasa Kasus Dipecat, Diumumkan ke Publik, Presisi
Diky menilai bahwa Panitia Seleksi (Pansel) belum maksimal dalam mengevaluasi rekam jejak calon, padahal banyak informasi yang bisa dimanfaatkan untuk menilai integritas mereka, termasuk dari Dewan Pengawas KPK.
Ia juga mengkritik lembaga pemberantas korupsi itu kerap dipersepsikan negatif oleh masyarakat, serta kerap menimbulkan kegaduhan. Jika model kepemimpinannya begitu, lalu untuk apa tetap diloloskan? Ia khawatir hanya akan mengulangi hal yang sama jika kelak ia terpilih.
Diky juga menyoroti dominasi kandidat dari klaster penegak hukum dalam seleksi kali ini. Dari 20 calon, 45 persen atau sekitar 9 orang berasal dari klaster ini, baik yang aktif maupun purnatugas. Diky mempertanyakan apakah Pansel memang menginginkan KPK diisi oleh aparat penegak hukum. Jika benar, ada sejumlah potensi pelanggaran dan kesesatan berpikir pada cara pandang tersebut. Ia menganggap Pansel melanggar Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 mengenai kesamaan di mata hukum.
"Mestinya proses seleksi ini dapat mengikuti perintah UU KPK yang memberikan keleluasaan bagi setiap kalangan, sepanjang memenuhi syarat, untuk bisa mendapatkan kesempatan menjadi Komisioner atau Dewan Pengawas KPK, Kemudian dominasi aparat penegak hukum dalam hasil seleksi kali ini juga mengundang persepsi di tengah masyarakat terkait adanya dugaan intervensi pihak lain kepada Pansel.
Intervensi yang dimaksud dapat berasal dari pihak mana pun, seperti kalangan eksekutif atau pimpinan aparat penegak hukum. Ketiga, cara pandang tersebut menggambarkan bahwa Pansel pada dasarnya benar-benar tidak memahami seluk beluk kelembagaan KPK. Sebab, di dalam UU KPK tidak ditemukan satupun pasal yang mewajibkan kalangan aparat penegak hukum untuk mengisi struktur kepemimpinan KPK.
ICW menolak dan mengecam sikap Komisi III DPR tersebut. Pasal 21 ayat (1) dan (2) UU KPK yang hanya mengatur tentang komposisi pimpinan KPK ditafsirkan sedemikian rupa untuk menghambat pemberantasan korupsi. Diperkirakan, DPR ingin KPK tidak menetapkan tersangka korupsi sampai ada pengganti Ketua KPK. Hal ini sangat potensial mengkerdilkan komisi pemberantasan korupsi.
Karena, kewenangan KPL diatur tidak hanya di UU KPK, tetapi juga di Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU No. 31 tahun 1999 jo UU 20 tahun 2001 dan aturan organik lainnya.
Komisi III DPR pantas disebut Intervensi Politik terhadap penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Agaknya pihak-pihak tertentu merasa cemas KPK ber-OTT akan menjerat lebih banyak tersangka kasus korupsi di DPR, DPRD dan lembaga pemerintahan pusat hingga daerah. ([email protected])
Editor : Moch Ilham