Home / Pilpres 2019 : Surat Terbuka untuk Capres Jokowi-Prabowo, Peserta

Pasca Tragedi Ratna, Capres Prabowo, saya Prediksi Hadirkan Politik Identit

author surabayapagi.com

- Pewarta

Senin, 08 Okt 2018 05:54 WIB

Pasca Tragedi Ratna, Capres Prabowo, saya Prediksi Hadirkan Politik Identit

Pak Jokowi- Pak Prabowo Yth, Pasca kebohongan Ratna Sarumpaet, diakui atau tidak, menguntungkan Anda Capres Jokowi dan merugikan Anda Capres Prabowo. Saya menyebut kebohongan Ratna Sarumpaet sebagai tragedi politik buat Anda Capres Prabowo. Tragedi politik ini tidak mengenakkan bagi Anda Capres Prabowo. Akal sehat saya memprediksi, sebagian masyarakat yang semula bersimpati pada Anda, ada yang beralih. Prediksi saya, pasca terbongkarnya kebohongan Ratna, akan banyak upaya promosi, terutama Anda Capres Prabowo. Bisa jadi, Anda Capres Prabowo, makin meningkatkan upaya bergerilya di tempat terbuka. Misalnya dengan memasang baliho di tempat-tempat strategis sampai menggunakan media sosial seperti facebook, twitter dan instagram. Selain menggunakan media-media tersebut, Anda akan meningkatkan upaya mendatangi kelompok-kelompok masyarakat dengan dalih silaturahmi. Gerakan-gerakan masif ini tidak hanya Anda lakukan secara individu tetapi juga partai politik pendukung Anda. Termasuk calon legislatif yang juga berkampanye untuk meraih suara agar bisa duduk di kursi parlemen di Gedung DPR RI Senayan, Jakarta. Pantauan saya di provinsi Jawa Timur, Anda berdua, sampai semalam, belum melakukan pemasangan iklan outdoor. Ini wajar, karena masa kampanye masih enam bulan lagi. Pak Jokowi-Pak Prabowo Yth, Proyeksi saya, dalam beberapa bulan ke depan, masyarakat akan disuguhi berbagai aksi dadakan para aktor politik, terutama dari Anda Capres Prabowo. Prediksi saya ini bisa disaksikan oleh publik. Ada kemungkinan tim sukses Anda Capres Prabowo, bakal merealisasikan rencana menurunkan massa yang diorganisir alumni 212. Estimasi saya ini setelah akhir minggu lalu, saya menerima viral di grup media sosial bernama Menang atau Tertindas. Di Medsos ini ada poster kawal dan dampingi sejumlah elite partai Gerindra dan Dewan Pembina PAN Amien Rais, bila dipanggil Polda Metro Jaya. Ada pesan, massa untuk menunggu lokasi berkumpul yang akan ditentukan selanjutnya. Ini poster ditulis terkait pemanggilan mereka dalam kasus kebohongan Ratna Sarumpaet. Saya tidak tahu, apakah pengumuman ini benar atau hoaks. Peristiwa menggerakan masa seperti ini mengingatkan saya pada peristiwa Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 lalu. Pengerahan masa saat Pilkada seperti itu dikenal dengan gerakan politik identitas. Saat itu saya berkesempatan menyelinap diantara kerumunan massa. Menggenakan topi putih, baju taqwa putih dan bercelana hitam, saya turut hanyut diantara masa yang kadang meneriakan takbir berulang-ulang. Mendengar takbir serentak, bulu kuduk saya merinding terasa menangis . Saya mengamati diantara orang-orang yang berdiri di mobil komando aksi masa, ada yang seperti mendadak menjadi pribadi yang populis, dan agamis. Aksi-aksi ini membawa saya pada pemikiran Sun-Tzu, tentang taktik dan strategi bisnis. Dalam buku Sun-Tzu The Art of Warefare terjemahan Roger Ames, Penerbit Lucky Publishers, Sun-Tzu, pria kelahiran negara bagian Chi (saat ini provinsi Shantung, China, sekitar 551 SM dan wafat pada 479 SM) ia menulis teknik-teknik melancarkan pertempuran Dalam berperang. Ada salah satu trik yang diajarkan Sun Tzu yaitu carilah kemenangan yang cepat. Trik ini didasarkan bahwa pertempuran yang berkepanjangan tidak akan membawa keuntungan. Artinya, perang yang berkepanjangan akan menguras biaya tinggi, membuat moral pasukan merosot, dan memberi kesempatan pada musuh Anda untuk menyerang. Sun Tzu, tak menganjurkan siapa pun jenderal perang yang ingin menang tidak melakukan ketergesa-gesaan. Bagi Sun Tzu, tindakan grusa-grusu adalah pilihan yang bodoh. Ini mengingat orang cerdik tak membiarkan perang berkepanjangan. Mengingat, dikaji oleh Sun Tzu, tak pernah ada kondisi yang diuntungkan dari perang yang berkepanjangan. Perang berkepanjangan, selain membutuhkan pasukan di medan tempur yang banyak, juga biaya yang besar. Oleh karenanya, Sun Tzu, tak anjurkan dana perang hanya mengandalkan dari pasokan negara. Eksesnya negara akan bangkrut. Nah, kini tergantung Anda Capres Prabowo dan tim suksesnya yang dipimpin seorang pensiunan Jenderal TNI-AD yang pernah menjadi Panglima TNI dan KSAD (Kepala Staf Angkatan Darat) era pemerintahan SBY. Anda pun juga seorang jenderal TNI dengan pangkat terakhir Letnan Jenderal. Saya tak tahu apakah pasca temuan kebohongan Ratna, salah satu jurkam Anda Capres Prabowo, Jenderal (Purn) Djoko Santoso, sebagai Komandan Timses Anda, boleh menerapkan strategi Perang dengan kemenangan yang cepat? Bila benar, saya prediksi dalam Pilpres 2019 akan muncul lagi politik identitas. Saya mencatat ada praktik politik identitas sukses dua tahun terakhir ini. Salah satunya penerapan politik identitas pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 lalu. Ternyata, Ahok, sebagai Gubernur DKI yang saat itu ditulis oleh sejumlah lembaga survei telah memiliki elektabilitas tinggi, bisa terkalahkan oleh duet Anies Baswedan-Sandiaga Uno, yang didukung Partai Gerindra, pimpinan Anda Prabowo. Pak Jokowi- Pak Prabowo Yth, Saya mencatat politik identitas (identity politics), menjadi tulang punggung utama Anies mengalahkan Ahok. Dalam kajian saya mengenai praktik politik identitas Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 lalu, berbagai kekuatan politik dan kelompok-kelompok strategis dalam masyarakat telah memainkan sentimen agama, ras, dan etnis. Permainan untuk menggolkan agenda-agenda politik oleh kelompok kepentingan di belakang Anies-Sandi. Saat itu saya mencatat ada konsolidasi politik oleh partai politik yang mengambil sikap oposisi terhadap kekuasaan Anda Capres Jokowi. Nah, strategi yang dirancang oleh Sun Tzu menerapkan perang yang tidak perlu panjang. Nah, Parpol dan Ormas yang beroposisi saya kaji telah menggunakan segala macam cara, termasuk cara-cara berbasis provokasi identitas. Cara ini dalam kajian saya ternyata bisa menarik simpati massa. Khususnya umat Islam dihampir kota-kota Pulai Jawa dan Sumatera. Praktik seperti ini menurut akal sehat saya, sejumlah elite pendukung Anies-Sandi, cenderung pragmatis yaitu hanya memikirkan kemenangan semata dan doktrin semacam tagar 2017gantigubernurDKI. Saya mencatat penerapan politik identitas tahun 2017, meskipun dilakukan dengan teknik pembelahan yang tajam di tengah masyarakat lokal Jakarta, karena telah dikemas oleh sejumlah aktor politik, tidak mencolok gambaran mendongkel pemerintahan yang masih sah. Maklum dikemas dan disosialisasikan sebagai bagian dari jalannya demokrasi. Padahal, bila ditelah mendalam antara celotehan Ahok soal penistaan agama dengan gerakan massa yang masif seperti saat itu, saya menilai ada sejumlah elite yang justru menjadi bagian dalam menghancurkan demokrasi. Jadi, menurut akal sehat saya, politik identitas bisa digunakan sebagai strategi politik untuk menggalang simpati massa dalam waktu yang relatif singkat. Dan Pilgub Jakarta telah membuktikan bahwa kampanye menggunakan sentimen identitas dapat mendongkrak popularitas dan elektabilitas Anies-Sandi, dalam waktu singkat dan terbukti berhasil menjungkirkan kursi Ahok, dari kursi Gubernur DKI Jakarta. Pak Jokowi- Pak Prabowo Yth, Sebagai jurnalis yang independen, saya perlu mengajukan pertanyaan pada Anda mengapa politik identitas begitu dominan dalam perbincangan publik pasca Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 lalu? Menurut saya, ada tiga penyebab. Pertama, politisi Indonesia pasca Reformasi cenderung pelaku politik transaksional. Mereka ada yang menganggap politik identitas cukup dahsyat menggulingkan kekuasaan lawan politiknya, terutama penguasa yang nasionalis kebangsaan. Kedua, dalam telaah saya, politisi ideologis yaitu sudah tidak tampak adanya kontestasi ideologi yang sehat di antara berbagai kekuatan politik yang ada. Ini diduga sebagai tak hadirnya kontestasi ideologi. Implikasinya, menyebabkan kekuatan politik oposisi pemerintahan yang sah, memunculkan identitas sebagai daya tarik dan daya ikat konstituennya. Ketiga, politik identitas ini juga terfasilitasi oleh perkembangan kelembagaan politik era reformasi yang menumbangkan politik otoriterian. Pasca runtuhnya kekuasaan sentralistik rezim Orde Baru, telah marak pemekaran daerah-daerah baru sebagai hasil dari kebijakan otonomi daerah. Tiga hal ini yang menurut saya telah menyeabkan partai politik dan aktor-aktor politik saat ini ada yang berani mengidentikkan dirinya dengan rakyat pemilih bukan berdasarkan progam-program politik yang rasional dan terukur. Politik identitas cenderung bisa menerapkan penarikan masa pemilih melalui cara-cara yang sarat emosi dan persuasif. Misalnya, saat Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 lalu, penggerak politik identitas telah menjual isu agama dan etnis, sehingga pemilih dikondisikan untuk memilih bersama penggerak politik identitas atau menjadi musuh elite penggerak politik identitas. Praktik tahun 2017 lalu misalnya, jangan pilih Ahok, karena ia berbeda agama atau berbeda etnis dengan diri penggerak aksi memenjarakan Ahok dengan brand penista agama. Saya tak tahu apakah mereka yang memilih Anies - Sandi, saat itu karena berpikir rasional atau ketakutan. Saya khawatir dengan riuhnya politik identitas dalam ruang publik Pilpres 2019 nanti pemilih rasional pun bisa terprovokasi? Apakah dihadirkannya politik identitas, partisipasi publik merosot alias jumlah Golput bakal meningkat? Walahualam. Akal sehat saya justru menilai pengerahan masa melalui politik identitas nanti, bisa memunculkan identitas masing-masing pemilih. Termasuk diantara pemilih rasional akan berusaha mengokohkan dan meneguhkan otentisitasnya, saya agama ini, kamu agama lain, kamu etnis keturunan dan saya etnis pribumi dsbnya. Hal ini saya khawatirkan bisa berujung pada politik isolasi sekaligus eksklusi. Artinya, bakal ada warga negara yang mengisolasi diri agar tidak tercemar pengaruh dari luar, sekaligus mengeksklusi karena yang lain itu dianggap tidak murni. Ujung-ujungnya bisa berujung di fasisme. Maklum, ujung ekstrim dari politik identitas yang saya pelajari adalah fasisme. Baik fasisme relijius maupun fasisme sekuler yang berbasis ras dan etnis. Bahkan tak menutup mata dalam politik identitas bisa ada fitnah dan pemutarbalikkan fakta. Dua hal ini dikenal sebagai konspirasi politik dan mobilisasi massa. Dua-duanya bisa memiliki tujuan kekerasan di jalanan. Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 lalu memunculkan tontonan politik vulgar tentang penerapan politik identitas. Saya berharap dalam Pilpres 2019 penerapan politik identitas tidak kembali terulang. Mengingat Anda berdua telah menandatangani deklarasi kampanye sejuk dalam bingkai demokrasi kampanye damai. ([email protected], bersambung)

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU