Stafsus Presiden Jangan Sampai jadi Parasite

author surabayapagi.com

- Pewarta

Senin, 20 Apr 2020 21:27 WIB

Stafsus Presiden Jangan Sampai jadi Parasite

Staf Khusus (Stafsus) ‘milenial’ bentukan Presiden Joko Widodo saat ini tengah disorot dari berbagai pihak. Ada tujuh stafsus milenial Jokowi, yaitu CEO Amartha, Andi Taufan Garuda Putra; perumus Gerakan Sabang Merauke, Ayu Kartika Dewi; pendiri dan CEO Ruang Guru, Adamas Belva Syah Devara; peraih beasiswa kuliah di Oxford, Billy Gracia Yosaphat Mambrasar; CEO dan pendiri Creativepreneur, Putri Indahsari Tanjung; pendiri dan CEO Thisable Enterprise, Angkie Yudistia; dan mantan Ketua PMII Aminuddin Ma’ruf. Nah, dari tujuh stafsus, dalam satu bulan terakhir, dua diantaranya membuat gaduh jagat Indonesia. Muncul nama Andi Taufan Garuda Putra dan Adamas Belva Syah Devara. Mereka berdua, dari 7 stafsus ‘milenial’ Jokowi dengan ‘berani’ melakukan akrobat bisnis. Andi Taufan Garuda Putra mendapatkan perhatian lantaran menyurati seluruh Camat di Indonesia dalam program Relawan Desa Lawan Covid-19 yang diinisiasi oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Surat berkop Sekretariat Kabinet tertanggal 30 Maret 2020 tersebut meminta Camat membantu perusahaannya, PT Amartha Mikro Fintek (Amartha) dalam edukasi lapangan ke masyarakat desa dan pendataan kebutuhan alat pelindung diri (APD) Puskesmas. Selain Andi, Adamas Belva Syah Devara pun juga dipermasalahkan lantaran perusahaan rintisan miliknya Ruangguru.com terlibat dalam pelatihan program Kartu Prakerja. Salah satu kekhawatiran muncul terhadap stafsus milenial yaitu adanya konflik kepentingan, karena para stafsus ada yang mempunyai bisnis masing-masing. Sementara, 5 stafsus lainnya, hingga saat ini masih cukup “anteng” di dalam pemerintahan. Meski, ada stafsus Billy Gracia, sempat menunjukkan dirinya di laman Linkedln, bahwa posisi stafsus yang ia jabat setara dengan Menteri. Tetapi, yang paling disorot kredibilitasnya, yakni Andi Taufan dan Adamas Belva. Pasalnya, mereka mencoba meraih ceruk bisnisnya dengan menggunakan kewenangan atas nama negara. Atas nama staf khusus kepresidenan. Mereka pemilik dua perusahaan start-up . Akan tetapi, di tengah kondisi pandemi Covid-19, cara Andi dan Belva, terkesan kebablasan. Mengutip pernyataan Dr. Suko Widodo, dari pemberitaan harian kita, Senin 20 April 2020, bahwa seharusnya staf khusus Presiden cukup membuat konsep awal sebelum diaplikasikan. "Sebetulnya staf itu cukup membuat konsepnya saja. Tetapi konsepnya juga perlu diuji sebelum diaplikasikan, yang mengaplikasikan akan tepat jika yang sudah punya pengalaman. Kemudian, jangan meninggalkan audit atas konsep dan penerapan konsep tersebut" jelasnya. Nah apalagi kalau sampai membuat manuver-manuver menggunakan bisnisnya sendiri. Wajar publik terpanggil mempersoalkannya. *** Padahal, bila menilik sejarah, staf khusus para pimpinan sejak era zaman kolonial, era Soekarno, Soeharto, semuanya lebih banyak melakukan penelitian-penelitian. Melakukan kajian-kajian yang diberikan untuk pemerintah. Bahkan, era zaman kolonial saja, ada staf khusus yang namanya mencuat hingga memunculkan Balai Pustaka. Ia, Douwe Adolf Rinkes. Semuanya berawal dari Pada 16 Januari 1912, seturut catatan Suminto (hlm. 133), posisi Hazeu sebagai "stafsus" pemerintah kolonial digantikan Rinkes, lulusan Leiden yang juga murid Hurgronje. Rinkes adalah ahli bahasa-bahasa daerah di Hindia Belanda dan pernah meneliti tentang peranan para wali dalam menyebarkan agama Islam. Sebelum menggantikan Hazeu, Rinkes diserahi tugas mengurusi Commissie voor de Volkslectuur (Komisi Bacaan Rakyat), yang belakangan dikenal sebagai Balai Poestaka. Buku 80 Tahun Balai Pustaka Menjelajah Nusantara (1997: 9) menyebut sejak 1910 Rinkes sudah menjadi sekretaris komisi itu. Commissie voor de Volkslectuur makin menggeliat setelah Rinkes merekrut banyak ahli bahasa. *** Yah, staf khusus pada jaman dahulu, cukup memberikan sebuah gebrakan dan peninggalan hingga kini. Bagaimana dengan staf khusus milenial Jokowi yang berjalan hampir 7 bulan ini? Dari informasi yang saya dapat dari kalangan politisi di Jakarta, pemilihan staf khusus milenial Jokowi dianggap mubadzir dan tak punya prestasi. Belum lagi, selama 7 bulan, terobosan-terobosan staf khusus milenial belum tampak di publik. Justru yang tampak adalah kegaduhan. Salah komunikasi, bahkan cenderung penempatan 7 stafsus ini sebagai ‘balas budi’. Mereka pun belum cakap pada sebuah birokrasi tata negara pemerintahan. Bila dibanding dengan Menteri Nadiem Makarim, Menteri paling muda, dirinya bisa menyesuaikan dan mempunyai terobosan-terobosan. Dia berani mundur dari Gojek, tempat ia pertama kali besar. Akan tetapi, 7 staf khusus milenial Jokowi. Mereka masih belum menempatkan kapan berdiri di pemerintahan, kapan berdiri sebagai seorang wiraswasta. Apalagi dari informasi yang saya gali di beberapa politisi di Jakarta, para stafsus Presiden ini akan mendapatkan ‘kursi’ permanen selama lima tahun. Artinya, bila mereka masih bermain dua kaki, untuk bisnis yang sudah dirintis untuk mengeruk keuntungan proyek besar di pemerintahan. Ini sama saja stafsus sebagai parasite. Parasite, seperti film asing Korea pertama yang memenangkan Oscar 2020 kemarin. Di dalam film Parasite itu, ada peran bernama Ki Woo dan Ki Jeong, dengan ulet memanfaatkan kekayaan bos barunya Nyonya Park, yang membutuhkan seorang tenaga ahli. Nah setelah bekerja dengan Nyonya Park, Ki Woo dan Ki Jeong digaji cukup besar. Namun, dengan ‘kewenangannya’ dia, yang bersangkutan mengajak kerja ayah dan ibunya di dalam rumah Nyonya Park. Alhasil, mereka mendapat penghasilan empat kali lipat. Nah, ini yang ditakutkan bila Adamas Belva dan Andi Taufan, kemarin tidak disorot oleh beberapa pihak. Bagaimana Andi Taufan, bila surat-suratnya ke Camat, ‘lancar’ dan aman tidak terkena kritikan. Bisa-bisa, Amartha, perusahaannya untung dobel. Yah Andi dapat gaji Rp 51 juta dari stafsus. Amartha, juga dapat keuntungan berlipat bila suratnya digolkan. *** Nah, bila kasus Andi Taufan dan Belva tidak dikontrol, bukan tidak mungkin menjadi modus baru oligarki paska orde baru era Soeharto. Modus ini bisa menjadi kapal keruk bagi pemerintahan, karena bisa meraup Rp 20 Triliun lebih dengan menggunakan kewenangan atau kekuasaan stafsus milenial Jokowi ini. Itulah yang diprediksi oleh Ubedilah Badrun, Direktur Eksekutif Center for Social Political Economic and Law Studies (CESPELS). “Mereka yang ada di dalam stafsus presiden itu, anak-anak milenial tadi yang bisa mendapatkan Rp 20 triliun misalnya. Ini angka yang cukup besar untuk seorang milenial dalam bisnis, luar biasa. Itu bakal oligarki ekonomi baru,” jelasnya. Bahkan, Ubedilah memprediksi 10 tahun ke depan Indonesia akan dikuasi oleh oligarki ekonomi baru ini lantaran sedang memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi. “Kita bisa memprediksi 5-10 tahun lagi kekuasaan ini dikendalikan oleh mereka-mereka ini. Karena mereka yang punya uang. Dan sistem politik kita kan sistem politik yang highclass, sistem politik yang memang membutuhkan ongkos besar kalau tidak dirubah seperti Kritikan juga ditelorkan anggota Komisi III DPR RI Didik Mukrianto. Didik menuturkan, sejak awal sudah mengingatkan pemerintah tentang bahaya konflik kepentingan antara tugas pemerintahan dan kepentingan bisnis, saat kondisi darurat seperti saat ini. Ia khawatir apabila tugas pemerintah dan kepentingan bisnis dilakukan pejabat negara (baca stafsus Presiden), bisa berpotensi menyalahi kewenangan. "Bisa berpotensi kena delik korupsi. Dan apabila korupsi dilakukan saat ini, di saat negara dalam keadaan bencana nasional, maka ancamannya hukuman mati," ujar anggota Komisi III DPR itu. Didik mengatakan, kebijakan tersebut menuai banyak pertanyaan dari masyarakat. Bahkan Didik menganggap, banyak pihak yang justru pesimistis dengan tujuan yang diharapkan, yakni mengurangi pengangguran di tengah pandemi virus corona. Untuk itu, Didik juga meminta ruang gerak stafsus milenial Presiden itu terus dikawal. "Hati-hati jangan sampai sejarah menjadi hakim atas ketidakadilan dan keserakahan. Semoga menjadi pembelajaran dan penyadaran bahwa kepentingan rakyat yang utama dan jabatan bukan sarana untuk mencari keuntungan, tetapi untuk pengabdian dan melayani rakyat," ingat Didik. Ini yang bisa merusak nama generasi Z, generasi yang lahir pada tahun 1995 – 2010 an ini di masa depan. Padahal, generasi Z itu dikenal sebagai generasi yang kreatif dan generasi teknologi. Dimana, mereka akan berkembang dengan kebiasaannya teknologi. Tetapi, bila dirusak oleh munculnya oligarki ekonomi stafsus milenial Presiden. Meski 1-2 orang. Ini namanya, karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Karena bobroknya perbuatan yang dilakukan 1-2 stafsus milenial, nama beken Gen-Z, bakal rusak. Semoga Presiden Jokowi mau mendengar potret staf khusus milenialnya yang sekarang mendapat sorotan publik. ([email protected])

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU