Keluarkan Napi Masal, Pemerintah Dianggap Salah

author surabayapagi.com

- Pewarta

Rabu, 22 Apr 2020 22:24 WIB

Keluarkan Napi Masal, Pemerintah Dianggap Salah

Kritik Dosen Fakultas Hukum Unair dan Bhayangkara Surabaya, terkait Kebijakan Asimilasi bagi Narapidana Umum Saat ada Pandemi Virus Corona. Akibatnya, Napi kembali Melakukan Kejahatan Jalanan SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) yang telah mengeluarkan kebijakan asimilasi bagi narapidana umum, dikritik oleh dosen-dosen hukum di Surabaya. Karena telah membebaskan dari penjara sebanyak 35.000 ribu napi ditengah pandemi Virus Corona (Covid-19) tanpa koordinasi dengan instansi lain. Ini kebijakan yang salah. Kritik ini karena asimilasi tanpa koordinasi telah memicu tindakan kejahatan jalanan yang terus meningkat. Bahkan, dari catatan Surabaya Pagi, dalam dua minggu terakhir, terjadi 12 aksi kejahatan jalanan 3C (Curas, Curat, dan curanmor) di wilayah hukum Polrestabes Surabaya. Kasus tersebut diantaranya 1 curat, 3 curas 3 curanmor. Dari 12 aksi kejahatan itu, 4 diantaranya dilakukan oleh napi yang baru saja mendapat asimilasi dari Kemenkumham. Narapidana yang dibebaskan itu terdiri dari begal, jambret, ranmor dan sejenisnya. Sementara, dari data yang dikeluarkan Bareskrim Mabes Polri, dalam dua minggu, sebanyak 28 narapidana asimilasi yang melakukan kejahatannya lagi. Dosen yang marah itu I Wayan Titip Sulaksana, Pemerhati Hukum Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Sapta Aprilianto, Pengajar Hukum Pidana Universitas Airlangga Surabaya, dan Joko Sumaryanto, kriminolog dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Bayangkara Surabaya. Ketiganya dimintai pendapat Surabaya Pagi, terkait policy Kemenkumham yang melepaskan 35.000 narapidana dengan alasan virus corona. “Saya kritik sangat keras kebijakan itu. Karena itu menyangkut sosial ekonomi masyarakat Indonesia. Seharusnya dipikirkan secara matang dalam mengambil kebijakan dikarenakan takut dengan pandemi corona. Pemerintah Indonesia meniru Negara Swiss, Belanda yang negara lebih maju hal itu masyarakatnya berstatus pengangguran masih mendapatkan dana, hal itu tidak bisa diterapkan di Negara Indonesia,” kritik Wayan Titip, Rabu (22/4/2020). Jangan Keluar rumah Menurutnya, ditengah pandemi Virus Corona (Covid-19) narapidana yang sulit untuk mencari pekerjaan atau tidak memiliki pekerjaan, urusannya dengan perut lapar maka satu-satunya jalan agar tak mengulangi kejahatannya dengan mencari celah di lingkup masyarakat, tidak harus dikeluarkan. “Karena sudah cari pekerjaan susah. Mereka para napi, untuk urusan perut, akhirnya mengulangi kejahatannya lagi,” tambah Wayan. Melihat kondisi itu, Wayan Titip meminta kepada masyarakat juga berhati-hati dan diharapkan tidak keluar rumah. Pasalnya, menurut Wayan, makin banyaknya penjambretan atau kejahatan di jalanan, membuat warga berpikir ulang keluar rumah. “Sebetulnya ada positifnya, masyarakat tidak berani keluar. Bisa memutus mata rantai Covid-19. Tetapi tidak hanya begitu saja, pemerintah melalui kepolisian dan Kemenkumham, juga harus mempuunyai solusi untuk napi-napi yang sudah dapat asimilasi, tidak mengulangi perbuatan kejahatannya,” jelasnya. Harusnya ada Solusi Jadi, pertama, Pemerintah seharusnya sudah mempunyai solusi menyediakan lapangan pekerjaan dengan membebaskan 35.000 narapidana umum, bukan hanya dengan pelepasan, pengarahan kepada narapidana supaya dirumah. Hal itu bisa memicu untuk merencanakan tindakan kejahatan untuk mengumpulkan temen seperjuangan saat dilapas selanjutnya melakukan aksi dengan memanfaatkan moment Corona. Kedua, penjara merupakan Perguruan Tinggi Kejahatan di dalam penjara. “Kenapa saya bilang begitu, karena banyak napi di dalam saling belajar satu sama lain, untuk mengasah ketrampilannya secara professional. Hal itu tempat untuk berbagi ilmu dengan narapidana yang baru dengan membekali ketrampilan saat ada di dalam penjara,” beber Wayan Titip. Program asimilasi yang diberikan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, nampaknya juga terjadi memicu kejahatan oleh mantan narapidana yang bebas akibat dari program tersebut. Lebih Tegas Sapta Aprilianto selaku Pengajar Hukum Pidana Universitas Airlangga Surabaya, memaparkan terkait bebasnya narapidana atas asumsi pencegahan Covid - 19. Menurutnya, para narapidana dapat ditindak lebih tegas bila terbukti melakukan tindak kejahatan atau biasa disebut sebagai residivis. "Dia dapat di tindak kembali selama perbuatannya dapat di buktikan yang nantinya akan disebut sebagai residivis atau pengulangan tindak kejahatan" ujar Antok, sapaan Sapta, dosen muda FH Unair. Terkait kebijakan pembebasan, Sapta Aprilianto menuturkan jangan hanya pemberi kebijakan tanpa berpikir komprehensip. Keselamatan orang Banyak "Untuk siapa yang dibebaskan dan kejahatan yang seperti apa yang boleh dibebaskan, maka itu hanya pemberi kebijakan yang tahu. Ada ketentuannya, bila dia sudah menjalani masa hukumannya dan dia selama menjalani hukuman itu memiliki sikap yang baik, dan tentu juga dilihat kualitas kejahatannya. Maka dia bisa mendapatkan program asimilasi ini" lanjutnya. Ia berharap bila para narapidana yang mendapat program asimilasi merupakan orang-orang yang dinilai tepat sasaran agar tidak meresahkan masyarakat kembali, terutama status mereka yang mendapat ruang tersendiri di masyarakat. "Bila dari sisi kesehatan ini bukan pilihan, jadi ini sebuah keharusan untuk keselamatan orang banyak.Tentu kita semua berharap bahwa penerima program ini tepat sasaran. Jadi tidak menciderai rasa keadilan di masyarakat, karena mereka ini kan ada di dalam LP kan bukan karena tiba-tiba ada, tapi konsekuensi dari perbuatan yang dilakukan dan meresahkan masyarakat dan menimbulkan pelanggaran hak orang lain" jelasnya. Dengan keadaan seperti saat ini, sebaiknya langkah-langkah yang diambil dengan memilih mereka-mereka yang benar-benar dipikirkan pantas untuk diberikan program asimilasi ini. "Jangan karena jumlahnya dikurangi saja maka sekian puluh dibebaskan, melainkan dilihat dulu siapa yang pantas dibebaskan agar tidak semakin meresahkan masyarakat. Karena lebih berbahaya membebaskan yang meresahkan di masyarakat dalam situasi seperti sekarang ini" keluhnya. Turut Prihatin Terpisah, Joko Sumaryanto, kriminolog dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Bayangkara Surabaya juga ikut prihatin atas kebijakan program asimilasi tersebut. "Kebijakan yang dikeluarkan oleh Menteri Hukum dan HAM untuk memberikan asimilasi dan kebijakan untuk mengeluarkan para napi, yang mungkin tindak pidana ringan. Mestinya kebijakan itu harus berkoordinasi dengan departemen lain. Sehingga ketika berniat baik untuk memutus rantai Covid - 19 yang ada di lapas dilakukan dengan memberikan kebijakan asimilasi yang menjadi gayung bersambut" ungkapnya. Joko Sumaryanto menambahkan para narapidana yang keluar dari lapas seharusnya ditangani oleh departemen sosial dan perlu dilakukan pencatatan bahwa mereka adalah pelaku tindak kejahatan. "Ketika mereka berada diluar lapas langsung ditangani oleh departemen sosial, perlu dicatat bahwa mereka yang keluar dari program itu mereka ada para pelaku kejahatan. Ketika mereka ada diluar maka ini yang tidak diperkirakan oleh Menkum HAM" imbuhnya. npat/byt/tyn

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU