Menunggangi Cawali yang Bertarung Melawan Irjen ( Purn) Machfud Arifin
Baca Juga: Jika Terpilih lagi Cakades Petahana
SURABAYAPAGI.COM, Surabaya – Dana bertarung tiap cawali di Pilkada Surabaya 2020 kali ini makin sulit diprediksi. Semula, satu bakal calon Walikota ditaksir membutuhkan biaya minimal Rp 50 Miliar. Tapi saat ada pandemi, biaya sebesar ini bisa membengkak sampai 25% dan berkurang. Ini tergantung tim suksesnya. Melihat pertarungan pemilukada ini bakal ramai, terutama hadirnya penantang Irjen Pol (Purn) Machfud Arifin, bisa jadi ada cawali yang “ditunggangi” bos berdana besar. Calon pemberi dana besar ini belum diketahui namanya.
Demikian temuan tim wartawan Surabaya Pagi, menyusup ke tim sukses Eri Cahyadi, Whisnu, Irjen (Purn) Machfud Arifin (MA) dan Armudji. Dari cawali dan cawawali ini harta terbesar dimiliki Ir. Armudji, sebesar Rp 22,7 miliar, disusul Whisnu Rp 16 miliar, MA sekitar Rp 5,7 m dan Eri Cahyadi Rp 3 miliar. Selain melakukan penyusupan, wartawan Surabaya Pagi, melakukan klarifikasi ke mantan cawali dan pengamat politik Unair.
Semakin Besar
Pakar Politik, Universitas Negeri Sunan Ampel Surabaya, Dr. Andi Suwarko, M. Si mensinyalir dana yang dibutuhkan akan semakin besar dari Rp 50 miliar. Apalagi ada penundaan pilkada seperti saat ini.
"Biaya untuk operasional tim sukses, biaya untuk alat peraga kampanye, merawat dukungan pemilih, masker dan handsanitizer untuk para saksi semua semakin besar biayanya, termasuk juga biaya yang harus dikeluarkan KPU bersumber pada APBN/APBD," ungkapnya kepada Surabaya Pagi, Rabu (26/8/2020).
Pada masa pandemi seperti saat ini, nampaknya para Calon Walikota juga harus menambah kebutuhan yang sebelumnya tidak ada pada masa Pilkada sebelumnya. Hal ini, menurut Andi akan menambah kebutuhan dengan kisaran angka yang bisa naik sekitar 25%.
"Harus ada biaya rapid test, pengadaan masker, handsanitizer, bahkan APD untuk daerah zona merah dan hitam. Kisaran angka itu setidaknya bertambah sampai 25% dari Pilkada dimasa non pandemi," jelasnya.
Timses Mulai Kalkulasi
Terpisah, Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kelembagaan FISIP Universitas Negeri Sunan Ampel Surabaya, Dr. Abd. Chalik, M.Ag., membenarkan bila angka untuk kebutuhan dana dalam tahapan pencalonan sesuai dengan angka yang digambarkan. "Iya benar untuk calon iya, artinya bahwa mau tidak mau sekarang menghitung berapa jumlah TPS lalu menghitung jumlah saksi dari masing-masing calon itu, lalu DPT itu sudah bisa dihitung," terangnya.
Untuk menentukan besaran angka yang dibutuhkan, Chalik memaparkan bila para Calon Walikota harus menghitung berapa jumlah DPT dan partai pengusung.
"Menghitung jumlah DPT, lalu menghitung partai pengusung. Bila semakin sedikit parpol yang mendukung maka semakin sedikit kontribusi dari parpol yang mendukung. Lalu luas wilayah, tingkat heterogenitas di wilayah tsb. Sby ini sangat heterogen, artinya masyarakat sby itu biaya oprasional pengganti kerja seringkali lebih besar dibandingkan tempat lain," paparnya.
Menurutnya, bila hanya sekedar menghitung jumlah para saksi di setiap masing-masing TPS, maka dapat menghabiskan dana sekitar Rp 4,8 M. Belum termasuk persiapan yang lain.
Baca Juga: Anak Risma, Tagih Janji ke Wali Kota Eri Cahyadi
"Bila dihitung singkat untuk saksi saja bisa menghabiskan Rp 4,8 M saja. Selain itu proses tahapan yang dilalui masing-masing calon tentu saja itu sudah sekian uang. Artinya nilai yang dilaporkan di KPU itu bisa jadi lebih besar dari nilai yang tidak dilaporkan. Untuk wilayah kota Surabaya, katakanlah dengan pendudukan 3,5 juta dengan DPT 2 juta maka itu masuk akal," pungkasnya.
Harus Lebih Efisien
Sedangkan, menurut pengamat politik asal Universitas Airlangga, Fahrul Muzaqqi para kandidat kepala daerah harus lebih efisien mengelola penggunaan dana Pilkada sehingga bisa berhemat ditengah kondisi pandemi Covid-19 ini.
"Jika dilihat diatas kertas, harusnya para kandidat kepala daerah ini memikirkan cara agar bisa lebih efisien mengelola penggunaan dana, karena kan kebanyakan di kondisi ini aktivitasnya dilakukan secara daring," ujar Fahrul kepada Surabaya Pagi, Rabu (26/8/2020).
Menurutnya, cara yang efisien dalam proses kampanye ditengah pandemi Covid-19 ini juga bergantung kepada kemampuan dari kandidat kepala daerah tersebut sendiri.
"Untuk caranya sendiri bisa dilakukan dengan banyak hal, seperti bisa melalui media massa ataupun media sosial. Itu bisa menjadi pertimbangan, tapi tergantung kemampuan kandidatnya," jelasnya.
Namun, salah satu staf pengajar ilmu politik di Unair tersebut mengatakan hal terpenting yang harus diperhatikan para kandidat kepala daerah ini adalah faktor keamanan sehingga tidak menimbulkan masalah baru saat proses Pilkada. "Yang terpenting adalah prosesnya berjalan aman, tidak menimbulkan klaster Covid-19 baru, dan yang penting pesannya bisa sampai ke masyarakat," pungkasnya.
Baca Juga: Peluang Capres Perempuan di Pilpres 2024, Fifty-fifty
Kekayaan Para Calon
Sementara itu, sejumlah kandidat cawali-cawawali yang ikut Pilwali Surabaya, kekayaanya tak sampai ratusan miliar. Baik Whisnu Sakti Buana (Wakil Walikota Surabaya) dan Armuji (Anggota DPRD Jatim), yang keduanya mendaftar Pilwali melalui PDIP. Sedang Eri Cahyadi (Kepala Bappeko) dan Hendro Gunawan (Sekkota) yang disebut-sebut calon yang diajukan Tri Rismaharini, kekayannya malah di bawah dua politisi PDIP itu.
Merujuk Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) di kpk.go.id, Rabu (26/8/2020), harta Armudji, paling tinggi dibanding kandidat lainnya, baik Whisnu Sakti Buana, maupun Eri Cahyadi. Armuji, melaporkan total harta kekayaannya pada 31 Desember 2019 saat sebagai anggota DPRD Jawa Timur, sebesar Rp Rp.22.772.153.630. Sementara Whisnu melaporkan harta kekayaannya pada 31 Desember 2018, dengan total kekayaan Rp Rp.16.346.629.369.
Meski begitu, Whisnu Sakti Buana juga memiliki banyak pengalaman. Baik di DPRD Surabaya dan DPRD Jatim. Pria akrab disapa WS ini juga pernah dua periode menjadi Ketua DPC PDIP Surabaya. Saat ini, Whisnu Sakti menjabat Wakil Walikota Surabaya, mendampingi Tri Rismaharini.
Kekayaan paling kecil dimiliki Eri Cahyadi. Alumni ITS ini melaporkan LHKP per 31 Desember 2019 tercatat Rp 3.055.021.744. Meski modal finansialnya paling kecil, tapi usianya yang terbilang paling muda, dinilai bisa mengget suara kalangan milineal Surabaya yang tak dimiliki kandidat lain.
Sementara, pensiunan Kapolda Jatim Irjen Pol (Purn) Machfud Arifin, menurut data LHKPN KPK, hanya bisa terdeteksi pada 22 Mei 2014, saat masih menjadi Kapolda Kalimantan Selatan, sebesar Rp.5.707.795.262. Sedangkan, hingga tahun 2019 sendiri, LHKPN Machfud Arifin, tidak terdeteksi di laman LHKPN kpk.go.id. adt/byt/cr1/ana/rmc
Editor : Moch Ilham