Politik Devide et Impera, Jelang Oktober 2023

author surabayapagi.com

- Pewarta

Senin, 10 Jul 2023 20:34 WIB

Politik Devide et Impera, Jelang Oktober 2023

i

H. Raditya M Khadaffi

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Jelang pendaftaran capres-cawapres, Oktober 2024, saya amati telah terjadi tarik menarik antar parpol. Ini untuk menentukan nama cawapres bagi Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan.

Pilihan bakal cawapres tiga bakal capres, bulan-bulan jelang Oktober 2023, menjadi tolak ukur kekuatan tiga pasangan capres-cawapres yang akan mendaftar ke KPU.

Baca Juga: Emil Dardak, Si Genius, Bisa Menteri, Bisa Tetap Wagub

Saya ikuti dari berbagai media mulai muncul gejala politik adu domba.

Partai Demokrat, misalnya, mendesak Anies segera mengumumkan nama bakal cawapresnya.

Partai pimpinan AHY, anak Susilo Bambang Yudhoyono, menginginkan Anies mendeklarasikan cawapresnya pada Juni ini.

Kepala Badan Komunikasi Strategis DPP Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra menyebut desakan untuk mengumumkan cawapres itu bertujuan agar KPP mampu menyiapkan strategi pemenangan Anies lewat kedua belah pasang. Salah satunya dengan mendongkrak elektabilitas. Bila tidak, Partai Demokrat akan pilih opsi lain.

Padahal, wakil Partai Demokrat sudah masuk dalam Tim 8 Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP). Sudirman Said, jubir Anies sudah bilang cawapres Anies sudah selesai dipilih. Ia mengatakan sosok tersebut menurutnya akan diputuskan dan diumumkan Anies secara langsung.

Lalu, PDI Perjuangan (PDIP) yang membuka peluang kerja sama dengan hubungi petinggi Demokrat. Padahal PDIP tahu, Demokrat sudah bergabung dukung Anies, bareng PKS dan NasDem.

Usaha PDIP ini kabarnya untuk membuka peluang kerja sama. Berakal sehatkah alasan yang disampaikan petinggi PDIP.  Pertanyaan akal sehat saya apakah itu

bukan sebuah manuver politik PDIP menghadapi Prabowo Subianto dan Anies Baswedan di tahun 2024.

Juga Anies Baswedan  melontarkan kritikan terhadap pembangunan jalan yang dilakukan selama masa kepemimpinan Presiden RI Joko Widodo.

Kritik Anies disampaikannya dalam perayaan Milad ke-21 Partai Keadilan Sejahtera di Istora Senayan, Jakarta, beberapa saat lalu.

Menurut Anies, Jokowi kalah dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ihwal pembangunan jalan. Eks gubernur DKI Jakarta itu bilang kalau Jokowi memang membangun 63% jalan tol yang ada di Indonesia, tepatnya 1.569 km dari 2.499 km tol yang ada.

Membandingkan sebuah kebijakan antar dua presiden semacam ini tak ubahnya politik pecah belah untuk rebut kekuasaan tahun 2024.

Praktis politik devide et impera telah digulirkan oleh tiga bakal capres dan partai pendukungnya jelang pendaftaran Capres-cawapres Oktober 2023 nanti.

 

***

 

Secara historis, hampir semua WNI yang belajar sejarah mengerti politik adu domba. Ini dikenal sejak zaman penjajahan Belanda.

Saat itu, sebagai penjajah, Belanda menamakannya dengan sebutan devide et impera.

Diajarkan oleh guru sejarah, praktik ini adalah sebuah strategi yang digunakan oleh pemerintah kerajaan Belanda untuk memobilisasi kepentingan politik, ekonomi hingga militer dengan memecah belah suatu kelompok, komunitas hingga kekuasaan wilayah yang dijajah.

Diajarkan juga, devide et impera tidak sekadar strategi perang, namun lebih menjadi strategi politik yang mengkombinasikan seluruh pengetahuan yang dibutuhkan.

Sampai kini, politik adu domba saya catat telah menelurkan berbagai varian perluasan taktik termasuk dalam rasisme, regionalisme, dan fanatisme religius.

Padahal politik divide et impera merupakan kombinasi strategi orang belanda dalam hal politik, militer, dan ekonomi. Tujuannya jelas untuk mendapatkan dan menjaga kekuasaan. Modusnya memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil, agar mudah ditaklukkan. Dalam konteks lain, saya ikuti politik pecah belah juga untuk mencegah kelompok-kelompok tertentu untuk bersatu menjadi sebuah kelompok besar yang lebih kuat. Misal Jokowi, kini kuasai menguasai 60,69% atau 349 kursi di DPR. Mereka terdiri atas PDIP, Golkar, PKB, Nasdem, PAN dan PPP.

Pemahaman saya, Devide et impera arti  harfiahnya adalah "pecah dan berkuasa". Mengapa politisi kita masih ada yang pungut strategi politik Belanda, penjajah negara kita tiga setengah abad?

Saya pelajari buku "Mohamad Isa - Pejuang Kemerdekaan yang Visioner" (2016) karya Feris Yuarsa. Ia memberi contoh politik devide et impera yang diterapkan di Indonesia bisa dilihat di Sumatera.

Belanda, saat itu mengawalinya dengan membentuk Gerakan Daerah Istimewa Sumatra Selatan (GDISS). Ini untuk mendirikan Negara Sumatera Selatan yang mengusung semboyan "Sumatera Selatan untuk Sumatera Selatan".

Badan tersebut dibentuk dua bulan setelah Agresi Militer 1.  Otak di belakang aksi itu adalah Dr HJ van Mook.

Baca Juga: Bisnis Susu akan Dimudahkan Prabowo

Ia mengembuskan isu separatis dan menghasut bahwa warga Palembang tidak suka dipimpin orang Jawa, Sumatera Utara, atau Sumatera Tengah.

Sejarahnya, strategi ini dipopulerkan oleh Julius Caesar dalam upaya membangun Kekaisaran Romawi.

Dan cara melakukan devide et impera adalah menimbulkan perpecahan di suatu wilayah, sehingga mudah untuk dikuasai.

Hasutan Van Mook kemudian termakan oleh sebagian kecil warga Palembang yang diiming-imingi dengan berbagai kewenangan dan kekuasaan.

Dikutip dari Kompas Stori, contoh politik devide et impera lainnya adalah di Perang Makassar saat VOC menaklukkan Kesultanan Gowa dan kota Makassar pada 1669.

Konflik Kerajaan Mataram juga berbuah kesuksesan politik adu domba, karena melemahkan posisi kerajaan itu sampai terbagi menjadi empat.

Demikian juga perang Saparua, Perang Padri, Perang Diponegoro atau Perang Jawa, Perang Aceh, Perang Banjar, dan Perang Jagaraga . Perang perang lokal ini contoh politik devide et impera yang diterapkan di Indonesia.

Oleh karena menjadi strategi Belanda yang paling berhasil dalam menghadapi perlawanan dari penguasa lokal bangsa Indonesia, politik devide et impera mendapat perhatian khusus oleh Pemerintah Kerajaan Belanda.

Belanda ingin melakukan pencegahan kelompok – kelompok kecil untuk bersatu membentuk kelompok besar yang lebih kuat. Bahkan politik adu domba pada abad – 17 juga digemari VOC. Tentu untuk menguasai suatu daerah. Tercatat, dengan cara ini, Belanda yang bahkan jumlahnya jauh lebih sedikit dari pribumi bisa menguasai wilayah nusantara.

Maklum secara antropologi, negara Indonesia adalah negara heterogen dengan adat budaya, agama, suku dan ras. Inilah yang memudahkan bangsa Belanda untuk melakukan politik adu domba. Dalam memecah belah, Belanda menggunakan aksi isu atau provokasi, propaganda, desas – desus, bahkan fitnah kepada kekuasaan yang ada dengan disusupi permusuhan besar.

 

***

 

Praktik-praktik politik memecah belah ini dalam pelaksanaannya mengangkat satu pemimpin untuk dijadikan calon pemimpin tandingan yang telah ada. Antara lain menentang suatu kekuasaan baik yang berada di pemerintahan maupun yang ada di masyarakat. Akhirnya akan lahir dua pihak di dalam satu badan, baik di masyarakat maupun kerajaan. Dan kelomlok yang tidak masuk dipinggirkan.

Baca Juga: "Memeras" Uang Rakyat

Saat itu, Belanda  memunculkan isu – isu ketidakpercayaan terhadap pemimpin yang lama agar suatu kerajaan menjadi tidak solid. Bahkan terkadang ada bumbu – bumbu permusuhan dalam tubuh keluarga kerajaan yang pantas menduduki singgasana kerajaan diluar garis keturunan raja.

Teknik yang digunakan Belanda dalam memecah belah adalah agitasi, propaganda, desas – desus dan bahkan fitnah.

Praktik menentang suatu kekuasaan era Jokowi kini dilakukan Anies Baswedan. Ia menentang kebijakan Jokowi, yang membuka keran ekspor pasir laut. Ekpor ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 tahun 2023.

Anies mengingatkan  saat ini Indonesia tengah dilanda krisis iklim.  Dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak sejalan dengan solusi dalam menghadapi krisis iklim tersebut.

Anies, juga tolak pemberian subsidi kendaraan listrik. Anies mengatakan mobil listrik bukan menggantikan mobil yang ada sebelumnya. Namun malah akan menambah jumlah kemacetan yang ada di jalanan.

Dalam Milad PKS ke-21 di Istora Senayan, Anies juga menyinggung pembangunan jalan, penegakan hukum, hingga rangkap jabatan di era Jokowi.

Dia menyindir pejabat publik di era Jokowi ada yang merangkap pengusaha. Menurutnya, hal tersebut terjadi jika institusi politik bersifat inklusif.

Menurut Anies, seharusnya pejabat tak boleh merangkap sebagai pengusaha. Bila hal itu terjadi, pejabat akan membuat aturan yang akan mereka jalani sendiri. Anies juga soroti keberpihakan pada investor.

Ia berpendapat seharusnya perekonomian negara tak condong ke investor raksasa.

Menurut Anies, negara harus menyediakan perekonomian yang memberi kesempatan setara. Misalnya, pembangunan infrastruktur yang mendukung pelaku usaha menengah ke bawah.

Sebaliknya, Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetio Edi Marsudi, mengkritik kinerja Gubernur Anies Baswedan yang dia anggap mengacak-acak hasil kerja Pemerintah DKI era Jokowi

Pras mencontohkan, kebijakan Anies terkait penataan Tanah Abang, dicabutnya pagar pembatas di Monas, hingga diperbolehkannya motor melintas di Jalan MH. Thamrin dan Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta.

Kini, Jakarta International Stadium (JIS), stadion kebanggaan mantan gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan ingin direnovasi pemerintah dibawah Presiden Jokowi. Ini menurut saya salah satu bentuk politik adu domba terbuka di kalangan elite.

Praktik semacam ini mengingatkan kisah hasutan Van Mook kepada sebagian kecil warga Palembang yang diiming-imingi dengan berbagai kewenangan dan kekuasaan. ([email protected])

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU